Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ni Kadek Murtini bukan bintang film. Wajahnya biasa: agak bulat, tidak jelek, tidak juga secantik bintang sinetron. Barangkali yang tidak biasa adalah pertemuannya tiga tahun lalu dengan Filippo Sciascia, seniman Italia yang telah lama tinggal di Ubud, Bali. Ya, pertemuan yang berbuntut. Sekarang, selama Juli lalu, di Galeri Cemara, Jakarta, wajah Kadek terpampang dalam layar video dan puluhan kanvas. Pameran serupa juga sudah berlangsung di Bali dan Bandung.
Wajah Kadek tak hanya memenuhi layar video, tapi juga seluruh dinding lantai satu Galeri Cemara. Tampak sebuah kanvas memperlihatkan laptop dengan wajah Kadek memenuhi monitor. Kanvas-kanvas itu seperti potret yang membekukan semua adegan di dalam video, bahkan lengkap dengan beberapa efek visual. Seperti lukisan Kadek 31, yang membentuk wajah Kadek dengan bentuk kotak-kotak. Atau cahaya merah dan cropping di Kadek 29.
Filippo Sciascia, 32 tahun, pengelola Galeri Gaya Fusion di Ubud, merekam wajah Kadek dengan kamera statis. Ia meninggalkan kamera di depan wajah Kadek yang duduk tak bergerak. Awalnya, wanita berwajah bulat itu tampak jengah. Matanya tampak bergerak mengikuti kepalanya yang terus menoleh kiri-kanan. Lima menit sesudahnya, ia terlihat tenang. Gerakannya tampak rileks, dan matanya mulai berani menatap kamera.
Dilihat dari sudut obyek, tak ada hal menarik yang dilakukan Sciascia. Wajah Kadek diperlakukannya sebagai karya potret, suatu hal yang sudah dilakukan Stefan Moses, fotografer Jerman yang pernah berpameran di Goethe-Haus, Jakarta, November tahun lalu. Ketika itu Moses memajang potret orang-orang biasa di Jerman, bersanding bersama beberapa tokoh seperti Thomas Mann, Heinrich Böll, hingga Adorno. Potret-potret anonim ini merefleksikan keadaan sosial dan semangat Jerman yang direkamnya dalam beberapa dasawarsa. Ia memperlihatkan perjalanan sejarah dari wajah manusia.
Awamnya identitas Kadek sama sejalan dengan orang-orang yang ada di foto Moses. Namun, terlalu sederhana jika Sciascia menilai bahwa wajah Kadek mampu mewakili Bali secara keseluruhan. Dalam karya Moses, penonton bisa mengidentifikasi situasi Jerman pada suatu periode tertentu, lewat cara pose, pakaian, hingga ekspresi. Hal ini tak muncul dalam karya Sciascia, karena ia hanya merekam Kadek sebatas wajah.
Ketika obyek yang diangkat tak cukup kuat, di situlah penonton disuguhi karnaval teknik. Sciascia melakukannya dengan memindahkan teknologi video ke lukisan di atas kanvas. Ia seperti melawan sejarah realisme dalam seni rupa, ketika lukisan dalam fungsi sebagai perekam kenyataan diganti dengan fotografi. Dilihat dari presisi dalam merekam obyek, fotografi dan video memiliki keunggulan lebih ketimbang lukisan. Namun, ketika kemampuan ini memunculkan anggapan bahwa jenis seni ini tak lebih dari karya yang mengandalkan kekuatan teknis, muncul usaha untuk merekayasa tampilan realis itu.
Sciascia juga melakukannya. Ia memberikan efek tertentu dalam videonya, misalnya dalam warna, kecepatan, dan jumlah gambar dalam layar. Efek-efek ini berlanjut pada lukisan kanvasnya. Berbekal teknik realis yang cakap, pria kelahiran Palma di Montechiaro ini mencetak wajah Kadek senyata tampilan video, lengkap dengan perbesaran pixel dan efek lainnya. Mungkin kita akan bertanya, jika teknologi memungkinkan kita mencetak gambar dengan mesin, lantas untuk apa kerja payah Sciascia?
"Tujuanku sendiri untuk menciptakan hubungan antara gambar video dan lukisan, sekaligus mengintegrasikan media lama berupa warna-warna cat minyak dan media baru berupa video," ujar Sciascia kepada TEMPO. Dengan menghubungkannya, Sciascia ingin memperlihatkan kesamaan sistem kamera video dengan sistem mata manusia. Caranya, tentu saja membekukan adegan video ke dalam kanvas.
Konsep ini menjadikan sosok Kadek tak begitu penting. "Kadek bukanlah subyek dari proyek ini. Aku memilih kepala, wajah, karena bagian sensitif manusia ada pada mata, telinga, yang mana sistem tersebut juga ada di kamera video. Mata disebut lensa dan bagian telinga disebut mikrofon," ujar Sciascia, yang juga menggambar wajah-wajah terpilih saat singgah di negara asing.
Penempatan ini menjadikan karya Sciascia lebih menonjolkan teknik sebagai alat memaparkan konsep tentang hubungan media lama dan baru. Seperti halnya karya konseptual lainnya, penonton tidak diajak mengagumi obyek, namun mendiskusikan kembali definisi keindahan.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo