Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerumunan manusia di depan kedai itu kian ramai di pengujung petang hari. Anak-anak muda, dalam baju gamis yang melambai-lambai, terlibat tawar-menawar seru dengan seorang pedagang minyak wangi dan sajadah. Ada yang berminat serius, ada yang bolak-balik mematut barang kendati kantong tak mampu. Di lapak sebelah, satu tengkulak VCD bajakan menawarkan dagangan dengan teriakan, mengatasi bunyi hiruk-pikuk kaki lima di kawasan perbelanjaan Saadoon?di pusat Kota Bagdad.
Perang telah meratakan sebagian besar kota ini. Toh, perang tak cukup berdaya untuk memadamkan kesenangan penduduk mencuci mata di pusat-pusat kaki lima pada sore hari. Bagi mereka yang gemar mengudap, silakan menjajal aneka makanan. Bunyi penggoreng beradu, aroma kopi yang harum, dan bujukan para pedagang membikin ingatan melayang ke Tanah Air. Sekilas, ini mirip dengan suasana kaki lima di Pasar Jatinegara atau Pasar Minggu yang riuh.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Hah? Apa ada tentara yang mengamuk atau pencopet yang dikejar massa? Astaga, ternyata wartawan TEMPO yang menjadi sasaran. Beberapa begundal muda menatap wartawan mingguan ini dengan mata bernyala-nyala, lalu menguarkan hardikan mengguntur, "Kamu dari mana? Kok, mirip orang Korea?" Bila tak dijawab, mereka tak segan menyeret lengan kita dan menginterogasi isi dompet. Kelakuan bandit-bandit lokal ini langsung mengecutkan hati siapa pun yang ingin menikmati suasana pasar rakyat.
Empat belas bulan, TEMPO datang-pergi ke kota ini: Maret hingga pertengahan April tahun silam, Desember lalu ketika mantan presiden Saddam Hussein ditangkap, dan pada Juni kemarin, saat pemerintahan sementara Amerika menyerahkan kedaulatan kepada Irak. Walau desingan peluru selalu mewarnai liputan TEMPO, Bagdad tetap meninggalkan kenangan-kenangan yang menyenangkan.
Ibu kota Irak ini bukanlah kota yang sulit digauli. Wartawan asing dengan mudah bertandang ke rumah penduduk di gang-gang, bercanda dengan bekas pejuang, menonton sepak bola antarpemuda di ujung kampung, atau meriung bersama penjual barang loakan di pasar kaget Batawin. Suara tawa adalah barang murah yang mudah dipetik di mana saja.
Tamu dan pelancong "wajib dimuliakan"?begitulah istilah penduduk setempat?bahkan ketika hari-hari perang mulai menggelapkan Bagdad. "Ayo, mampir ke rumah, mumpung ibu saya masak kebab," kata Mohaned, anak seorang diplomat Irak pro-Saddam, kepada TEMPO. Pemuda ini begitu luwes bergaul karena pernah mengenyam studi ke Australia.
Tujuh bulan silam, Bagdad yang menghangatkan hati itu masih terlihat. Penduduk kota ramai menangkring di depan televisi. Yang tidak punya TV nebeng menonton di tempat tetangga. Di layar kaca, mereka menyaksikan bekas pemimpin Irak itu dibekuk, digocoh, oleh tentara Amerika. Komentar-komentar mereka yang emosional dengan mudah bisa dikutip. Tapi entah apa yang sudah terjadi ketika TEMPO menginjak kembali negeri itu Juni lalu. Hawa amarah, curiga, dan permusuhan sudah meruap sejak jauh di perbatasan.
Begini ceritanya. Sekitar 80 kilometer menjelang perbatasan Irak-Suriah, TEMPO memutuskan berhenti untuk mengisi perut bersama sopir mobil sewaan. Di dalam kedai kebab itu ada empat pria muda yang duduk satu meja. Ketika disalami, alih-alih menjawab, mereka membalas dengan pelototan seperti ingin menelan mentah-mentah.
Setelah memesan makanan dan membayar harga sesuai dengan tarif, TEMPO pergi ke kamar kecil. Saat TEMPO kembali ke tempat duduk, bukan suguhan kebab lezat yang menanti, melainkan tarikan tangan sopir yang menyeret wartawan mingguan ini ke mobil. Beberapa menit kemudian, dia tancap gas dengan kecepatan penuh ke jalan bebas hambatan, seakan dikejar rombongan hantu belau.
Dengan bahasa Inggris yang patah-patah, si sopir berupaya menerangkan sikapnya. "Kalau tidak cepat-cepat kutarik, kamu sudah disandera mujahidin pro-Saddam," katanya. Dia melanjutkan, "Ketika kamu di kamar kecil, mereka sudah berunding dan siap menodongkan senjata begitu kamu duduk." TEMPO balik bertanya, "Bukankah saya seorang muslim dari Indonesia?" Ahmad, nama sopir itu, cuma berkomentar lirih, "Mereka cuma mau tebusan. Mau Islam, Cina, Kristen, bahkan ateis, tetap saja mereka culik."
Kisah di perbatasan terus berlanjut, bahkan lebih seru, ketika mobil sudah mencapai tujuan: Bagdad (lihat Kota Lama yang Tak Lagi Ramah). Satu petang, di pusat perdagangan Shorja, di kawasan Bab al-Muadham. Karena trotoar penuh sesak, para pengunjung sampai harus berjalan di badan jalan. Tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti 10 meter di depan TEMPO yang tengah menyusuri jalan dengan santai. Dari dalam mobil, empat pemuda melotot ke arah wartawan yang kebetulan bermata agak sipit dan bertampang "amat Melayu" ini.
Dua pemuda bergegas turun, seperti hendak mengapit TEMPO. Melihat mimik tak bersahabat, si wartawan segera menyeberang jalan dan mencegat taksi. Wusss?! Taksi langsung tancap gas, menghilang di keramaian Jalan Al-Rasyid. Selamatlah si wartawan, setidaknya untuk sesaat.
Di taksi, kenang-kenangan akan Bagdad pada tujuh bulan silam mengalir begitu saja. Sekali waktu, di tengah liputan, ada pemeriksaan mendadak di sebuah kawasan di Bagdad. Semua orang, apalagi warga asing, yang hendak melewati kawasan itu wajib menyetorkan tanda identitas. Saat TEMPO menyodorkan paspor, seorang petugas mengintip dan bertanya siapa wanita berkerudung dan anak kecil yang ada dalam foto di saku dompet. "Ini anak dan istri saya di Indonesia," jawab TEMPO. Si petugas mengangguk-angguk sembari tersenyum lebar, mengacungkan jempol, dan membiarkan si wartawan lewat tanpa banyak cincong.
Tapi keramahan khas Bagdad yang pernah dikecap para pengunjung Bagdad pada waktu-waktu dulu seperti ditelan oleh lorong waktu. Perang, konflik bersenjata, kemiskinan, dan penderitaan telah mengalihkan wajah kota ini. Di bawah hawa bulan Juni yang panas mendidih, rupa Bagdad yang pernah amat indah itu terlihat boyak-boyak. Banyak reruntuhan bangunan. Semuanya akibat perang (lihat Topeng Vs. Topeng) dan bom bunuh diri.
Ammar bin Daud, alumni Universitas Bagdad yang tengah membawa TEMPO berkeliling, seolah tidak peduli dengan reruntuhan itu. Dia membawa TEMPO ke salah satu lokasi di tengah kota, lalu berkata, "Ini patung Saadoon, yang menjadi salah satu simbol terbesar kota ini." Di Jalan Saadoon, patung tokoh itu tegak berdiri. Melegenda pada era Irak modern, nama asli tokoh Irak itu adalah Abdul Muhsin al-Saadoon. Dia lahir di Nasiriyah pada 1889. Selepas Perang Dunia I, dia diangkat menjadi menteri kehakiman.
Pada 1922, dia menjadi menteri dalam negeri, lalu menjabat perdana menteri selama empat periode berturut-turut. Tujuh tahun kemudian, terjadi perbedaan pandangan amat kontras antara dia dan penguasa kolonial Inggris. Sejarah mencatat, tak lama setelah konflik itu pecah, Saadoon meninggal dengan cara yang amat mengenaskan: bunuh diri.
Semua kisah itu dituturkan Ammar bin Daud dengan sukarela, tanpa meminta tambahan ongkos?sesuatu yang luar biasa untuk ukuran Bagdad saat ini. Mengapa? Sejumlah kenalan asing di Bagdad bercerita bahwa tren baru para sopir taksi saat ini adalah memeras penumpang dengan cara tak menerapkan argometer. TEMPO mengalaminya saat bepergian dari Bundaran Firdaus ke markas pasukan koalisi di kawasan Al-Rasyid.
Mula-mula si sopir sepakat dengan bayaran 4.000 dinar (setara dengan Rp 24 ribu). Begitu sampai tujuan, dia minta dibayar dua kali lipat. Hah? "Jalanan macet, menghabiskan banyak bahan bakar," dengan enteng dia menyodorkan alasan. Sungguh celaka bagi para warga asing. Sebagian besar dari mereka masih mengandalkan taksi dalam bepergian. "Omongan mereka tak bisa dipegang," kata Ruslan Rahman, fotografer asal Singapura yang meliput di Bagdad sejak dua bulan silam.
Kecemasan Ruslan tak hanya di situ. Karena pernah ikut patroli pasukan koalisi, dia harus ekstra-hati-hati. "Siapa tahu para pengacau dan pengebom itu menganggap saya mata-mata asing," katanya. Harus diakui, Bagdad sekarang jauh berbeda dari Bagdad yang dulu: kini ibu negeri yang pernah menjadi salah satu puncak peradaban dunia itu tak lain dari sebuah kota tua yang murung, penuh amarah, dan rajin dijamah oleh kematian.
Duta Besar Korea Selatan di Bagdad, Im Hong-Jae, menggambarkan masyarakat Bagdad seperti kembali hidup di zaman kegelapan. Padahal sebuah keluarga Jerman yang pernah mengunjungi kota itu nun jauh sebelum masa perang mengaku Bagdad adalah kota favorit mereka. Pernah keluarga itu sampai tercengang-cengang oleh keramahan penduduk setempat. "Masa, kita disuruh makan kurma gratis di pasar, terus dibekali beberapa ons," ujar Klaus Baumann, warga Jerman yang pernah bolak-balik berlibur di sana.
Jangankan Tuan Baumann, wartawan asing yang rata-rata sudah kenyang mendengar desingan peluru saban hari saja begitu pusing oleh "metamorfosis" Bagdad ini. Kotanya memang bocel, tapi kenapa penduduknya jadi begitu pemarah dan curiga? Seolah mereka kehilangan pegangan keyakinan dan norma peradaban. "Rakyat sudah tak punya pilihan karena terlalu ditekan oleh penderitaan," Abu Ibrahim, seorang kontraktor dari masa Saddam, mencoba menjelaskan situasi tersebut.
Padahal, hampir 13 abad silam, lahan yang terbentang di tepian Tigris dan Eufrat ini dilahirkan dengan arti nama yang luhur: Gift of God, kota yang dianugerahkan Tuhan. Khalifah Abu Jafar al-Mansour mendirikan kota ini sebagai basis pemerintahan Dinasti Abasiyah, yang memancarkan kesohoran pada zaman kejayaan Islam. Tapi perang berkepanjangan telah melumat anugerah dari langit itu menjadi kawasan yang nyaris tak lagi dikenali jejak kearifan dan kemuliaannya.
Sekitar 4.000 tahun silam, Irak pernah berjaya di bawah Kerajaan Akkadia. Seluruh Jazirah Arab berada di bawah ketiaknya. Ia menjadi kerajaan Arab terbesar pertama. Kekuasaannya membentang dari Iran, Anatolia, hingga Suriah. Pada zaman Babilonia, Raja Hammurabi bahkan pernah menitahkan kodifikasi prinsip-prinsip hukum. Kodifikasi inilah yang dianggap sukses menciptakan keteraturan sistem sosial di masyarakat.
Dalam babak masa yang lain, kegelapan datang menyelimuti negeri itu ketika Hulago?cucu Genghis Khan dari Mongolia?pada 1258 menyapu bersih seluruh peradaban Irak. Mereka menumpas nyawa, membakar seluruh kota, dan memusnahkan buku dan artefak bersejarah.
Maka, ketika pasukan koalisi menyerang Irak pada Maret tahun lalu, Menteri Penerangan Said Sahaf menyamakan Amerika dengan bangsa Mongol. Dalam setiap konferensi pers yang juga dihadiri TEMPO, Sahaf selalu mengatakan, "Amerika bak Hulago, yang menghabiskan peradaban Irak." Dan benar, tak lama setelah Saddam tumbang, penjarahan dan kekacauan merambah seluruh negeri. Pembunuhan dan penculikan menjadi cerita pagi dan petang. Bom meledak di mana-mana.
Pada Rabu pekan silam, 68 warga Irak tewas oleh bom bunuh diri?sekadar contoh kekerasan yang terus bergulir. Suasana itu pula yang mewarnai upacara penyerahan kedaulatan dari pemerintahan koalisi kepada Perdana Menteri Iyad Allawi dan Presiden Ghazi Yawer. Bom meledak tak jauh dari istana tempat upacara dilangsungkan. Pendek kata, pembunuhan terjadi dalam hitungan hari dan jam. Ditengarai, bekas-bekas anggota pasukan Saddam pun keluar dari lubang persembunyian (lihat Dan Garda Pun Kembali) dan beraksi kembali.
Belakangan, Perdana Menteri Allawi membentuk Direktorat Keamanan Umum Kementerian Dalam Negeri demi menghabiskan milisi pengebom dan penembak misterius. "Kami akan menumpas para pengacau itu," kata Iyad Allawi. Presiden Yawer mendukung kebijakan Allawi dengan meneken status darurat militer di sejumlah kota yang dianggap rawan.
Apa pun rencana Iyad Allawi untuk memandu Irak ke masa depan, Bagdad akan tetap menjadi barometer?sebuah kota yang kian pengap oleh perang yang tak kunjung usai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo