Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara anonim petugas visa itu seperti mengusut masa lalunya. Lelaki itu bernama Iwan Chandra. Ia berniat ke San Diego mengikuti kursus keuangan. Namun yang ditanya adalah silsilah ketionghoaannya.
Lakon Goenawan Mohamad ini bercerita tentang orang-orang yang sedang antre di depan loket permohonan visa di Kedutaan Amerika Serikat. Tapi tafsir Teater Satu Lampung sangat berbeda jauh dengan pementasan Teater Lungid Solo. Oleh Teater Lungid, naskah ini ditampilkan lucu, harfiah. Yaitu, sekelompok warga yang memang sudah sering bepergian ke luar negeri tapi tetap kelihatan gaya ndeso-nya.
Sementara Teater Satu Lampung mengeduk sampai jauh ke persoalan identitas. Cara menghadirkan jauh dari realis. Pertunjukan Lungid penuh gerak spontan, gerak sehari-hari. Sedangkan di tangan Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu, panggung menjadi pentas permenungan. Para aktor sering menampilkan solilokui. Musik elektronik yang mengiringi pun minimalis repetitif. Meski ada celotehan-celotehan yang mengundang tawa, nada dasar pertunjukan suram puitik.
Selain Iwan Chandra, para pemohon visa lain ada Dumilah, perempuan kaya setengah baya yang ingin menengok cucunya di Honolulu, atau Emile, perempuan yang amat merindukan Kota Detroit. Pada pementasan Lungid, figur-figur itu menjadi sosok kocak penuh pelesetan. Yang ingin ditonjolkan adalah kekampungan mereka. Di pentas Lungid kita tertawa mendengar Dumilah yang ingin menengok anaknya di Hawaii. Suami anaknya bernama Omar, asli Honolulu, bukan Arab. Di pentas Iswadi seolah itu adalah bagian dari bayangan trauma terorisme.
Tatkala mereka bersama-sama mengisi formulir, terlihat pertanyaan-pertanyaan tentang riwayat hidup menjadi persoalan tersendiri. Dumilah mendadak teringat perselingkuhannya berpuluh tahun silam ketika harus mengisi nama suaminya. ”Mengapa harus kutuliskan nama suamiku?” Juga kisah lelaki gagap yang kehilangan ayahnya.
Adegan suara petugas anonim adalah bagian yang paling berhasil. Di situ kita seolah sedikit mencicipi suasana interogasi ala penulis Kafka. Satu per satu diverifikasi ekstrahati-hati. Di situ yang tersaji bukan hanya sikap paranoid pemerintah Amerika Serikat tapi juga menyajikan bahwa Indonesia sebuah negeri yang menyembunyikan banyak persoalan. Saat giliran Iwan Candra diberondong pertanyaan, di belakang disajikan ilustrasi pas foto hitam-putih keluarganya.
”Saya ingin menekankan asal-usul setiap orang yang tak jelas,” kata Iswadi. Di tangan Iswadi, naskah Visa walhasil bukan hanya menyajikan problem Amerika yang paranoid, tapi problem ”politik dan sosial” di sini. Memang menarik. Iswadi secara cerdas mampu menghadirkan esensi naskah Goenawan yang berlapis-lapis ke atas panggung.
Namun Iswadi juga menghilangkan kemungkinan yang ada, yaitu komedi. Visa adalah satu-satunya naskah Goenawan yang memiliki potensi humor tinggi. Humor adalah hal langka dalam tulisan Goenawan. Ketika mendengar bahwa Teater Satu Lampung bakal mementaskan naskah ini, yang terbayang mereka akan memanggungkan ala mereka mementaskan naskah mereka sendiri, Aruk, yang renyah, lucu, tapi getir.
Namun, tak disangka, Iswadi menyuguhkan naskah Visa dengan gaya Nostalgia Sebuah Kota, naskah mereka yang memang penuh permenungan dan eksperimen gerak mematung. Akibatnya nada dasar pementasan Visa sama dengan nada dasar drama Goenawan lain: Tan Malaka, Surti, atau suasana Catatan Pinggir. Pementasan Iswadi berhasil, bahkan lebih berhasil daripada pentas Lungid. Namun ia tidak menghadirkan Goenawan yang lain.
Seno Joko Suyono, Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo