Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jejak Aborigin di Tanah Ubud

Karya-karya pelukis Bali, Made Budhiana, dan pelukis Australia, Donald Friend, disandingkan dalam satu galeri di Ubud. Kehidupan suku Aborigin telah mengubah gaya lukisan Budhiana.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesosok tubuh telanjang terbaring di atas tanah kering. Debu beterbangan di sekitarnya. Tapi ia tampak santai dan menikmati kondisinya. Dia adalah seorang Aborigin yang ditemui Made Budhiana ketika terlibat di Art Camp, Darwin, Australia, pada 1990. Keadaan lelaki itu memberi guncangan batin yang mempengaruhi cara Budhiana menghayati lingkungan dan seni rupa.

Pelukis abstrak Bali berusia 52 tahun itu lantas mengabadikannya dalam sebuah lukisan yang kini dipajang di Made Budhiana and Donald Friend Gallery di Lod Tunduh, Ubud, Bali. Galeri ini didirikan Colin McDonald, kolektor dan pengacara Australia, dan diresmikan pada 28 Mei lalu.

Pengacara Negeri Kanguru itu dikenal sebagai pembela hak-hak asasi suku Aborigin dan populer karena membela Scott Rush, salah satu terpidana Bali Nine, sebutan bagi sembilan orang Australia yang sebagian sempat divonis hukuman mati karena menyelundupkan heroin di Bali. Rush akhirnya mendapat pengurangan hukuman menjadi penjara seumur hidup.

Colin pula yang dulu membawa Budhiana menggelar pameran tunggal pertamanya di luar negeri, yakni di Darwin Museum, pada 1989, yang kemudian berujung pada undangan mengikuti perkemahan seni di Darwin. ”Acara perkemahan itu telah mengubah gaya lukisan saya,” kata Budhiana.

Seri lukisan yang Budhiana hasilkan dari ajang perkemahan itu tampak jelas menunjukkan kondisi hutan yang kering-kerontang, garis-garis hitam seperti arang, serta kehidupan masyarakat Aborigin yang terasing dari peradaban. Saat itu Darwin masih terhitung sebagai kota yang sepi, apalagi letak perkemahan seni itu di Kakadu, yang berada di dalam hutan. Menurut Budhiana, kesunyian dan kesendirian benar-benar terasa di sana, bahkan melampaui suasana saat Nyepi di Bali. Keheningan itu kian mencekam dengan adanya gua-gua yang menyimpan warisan gambar-gambar purba di dindingnya.

Pengalaman itu membuat Budhiana berkesimpulan bahwa kesadaran harus diperoleh lewat penemuan pribadi pada kenyataan di lingkungannya, bukan dengan pengetahuan dari buku atau dari cerita orang lain. Hanya dengan cara itulah, kata dia, seorang seniman akan mampu mengekspresikannya dalam karya dengan karakter individual yang kuat. Selama di Kakadu, dia merasa betapa alam sangatlah berkuasa dan energinya mencengkeram apa pun yang ada di dalamnya. Padahal, sebelum tiba di Darwin, dia membayangkannya sebagai kota yang sibuk seperti di film-film Barat.

Tentang kuasa alam, layaknya perupa Bali lain, Budhiana sebenarnya sudah dibekali tradisi dan keyakinan akan hal tersebut. Di masa kuliah, dia bahkan menjadikan rerajahan Bali sebagai media simbolik untuk karya-karyanya. Rerajahan itu umumnya digunakan sebagai sugesti untuk mentransformasikan kekuatan alam dalam pengobatan.

Rerajahan biasanya dibuat dalam ukuran kecil di bagian tubuh, seperti telapak tangan, dengan warna-warna kelam. Tapi, dalam lukisannya, Budhiana membuatnya dalam ukuran besar dan jauh lebih ekspresif. Kesan dekoratif dan ritmis berubah menjadi garis dan sapuan tanpa bentuk. Namun ia tetap mempertahankan suasana magis serta kehadiran dunia lain, seperti pada karya Tiga Rajah (1985), yang saat itu berhasil meraih penghargaan bergengsi Pratisara Affandi Adhikarya untuk kategori lukisan nonrealis.

Meski demikian, Budhiana merasa rerajahan tetaplah pengetahuan yang ditanamkan oleh komunitasnya. Maka, sepulang dari Australia, dia makin menegaskan gaya abstrak impresionistiknya. Sejumlah karyanya yang juga dipajang di galeri baru ini menunjukkan pelepasan diri Budhiana dari simbol-simbol tradisi dan bentuk-bentuk yang telah baku. Dia melihat keindahan senyatanya berserakan dalam kehidupan, bergantung pada kemampuan untuk melihatnya dengan cara yang berbeda. Dia mengaku selalu kagum akan pilihan seorang kanak-kanak yang melihat dunia sebagai ruang bermain. Mereka selalu penuh dengan semangat melakukan penjelajahan, kurang peduli pada batasan-batasan, dan menganggap semua hal sebagai permainan. Dalam kacamata mereka, status dan pandangan orang lain bukanlah hal yang penting, tapi kepuasan dan kegembiraanlah yang menjadi ukuran utama.

Kehadiran galeri ini bagi Budhiana adalah sebuah penghargaan atas proses yang sudah dilaluinya. ”Saya percaya Colin bukan sekadar seorang kolektor dan pedagang di pasar seni rupa,” ujar alumnus Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta itu. Hal itu terlihat dari kesediaan Colin memberikan akses langsung ke pelukis bagi orang-orang yang ingin mengoleksi karyanya. Colin juga sempat mengajak Budhiana berkunjung ke Australia dan menunjukkan kecintaan kepada seni rupa dengan memperlihatkan kantor pengacaranya yang dipenuhi koleksi lukisan.

Budhiana mulai mengenal Colin pada 1985, ketika salah satu karyanya yang dipajang di Museum Rudana, Ubud, menarik hati sang kolektor. Namun Budhiana enggan melepas lukisannya, yang ditawar seharga Rp 750 ribu, karena sudah mematok harga Rp 1,5 juta. Dua tahun kemudian, lukisan itu dilepas Budhiana setelah ia melihat kegigihan Colin untuk memilikinya. Keduanya kemudian menjadi sahabat.

Colin mengaku mengagumi karya Budhiana karena mencerminkan adanya pertukaran budaya serta sikap toleransi. ”Galeri ini untuk memberi penghormatan pada nilai-nilai itu,” ujar pencinta seni yang setiap bulan bolak-balik Denpasar-Darwin ini. Dia percaya akan pentingnya seni yang melampaui batas-batas kebudayaan sehingga menciptakan toleransi dan sikap saling mengerti. Galeri itu sendiri merupakan bagian dari vila pribadinya yang diberi nama Pandan Harum di atas tanah seluas 25 are. Galeri itu juga menyediakan ruangan bagi seniman yang ingin berkarya dan tinggal sementara di kawasan tersebut.

Selain memajang karya Budhiana di ruangan berukuran 14 x 6 meter, galeri ini menyimpan karya Donald Friend di ruangan terpisah seluas 10 x 4 meter. Berbanding terbalik dengan Budhiana, pelukis yang lahir di Sydney, Australia, pada 1915 itu dikenal sangat terpengaruh oleh Bali. Dia tinggal di kawasan Sanur, Denpasar, pada 1966-1979 dan meninggal pada 1989. ”Friend menemukan inspirasinya pada otentisitas kebudayaan Bali,” kata maestro lukis Bali, Nyoman Gunarsa, yang diberi kehormatan membuka galeri itu.

Gaya lukisan Friend cenderung figuratif, tapi menampilkan kesan mendalam. Dia tidak sekadar memindahkan obyek ke atas kanvas, tapi menampilkan dunia batin dari modelnya. Ini sering dimunculkan dengan berbagai coret-moret yang ditambahkannya pada lukisan itu. Friend juga seorang pelukis dekoratif yang menggali keunikan aneka kebudayaan dan lingkungan alam dalam sketsa-sketsanya. Dalam buku Birds of Bali, misalnya, dia menampilkan aneka burung di Pulau Dewata lengkap dengan cerita-cerita mengenainya. Ada juga buku yang khusus menampilkan sketsanya tentang sensualitas dan hubungan seks yang menegaskan keliaran imajinasinya.

Gunarsa berharap karya-karya Friend, yang dikenal sebagai pelukis figur terbaik di Australia, akan menginspirasi perupa muda Bali. ”Ini melengkapi keberadaan Ubud sebagai daerah tujuan para seniman,” ujarnya. Ubud sendiri berasal dari kata ubad, yang secara artistik bisa diartikan sebagai tempat mengobati stres dan mencari inspirasi bagi kedamaian.

Rofiqi Hasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus