Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjelasan atas Laporan Keuangan TVRI
SEHUBUNGAN dengan adanya berita yang dirilis majalah Tempo nomor 36/XXXIV/31 Oktober-6 November 2005 dengan tajuk "Proyek Rugi Bernama TVRI", dengan ini kami menyampaikan beberapa informasi sebagai hak jawab kami terhadap tulisan tersebut di atas:
Laporan Keuangan TVRI tidak pernah dibuat berganda. Angka perolehan sebesar Rp 48 miliar adalah pendapatan operasional kantor pusat yang berasal dari berbagai kegiatan, termasuk pendapatan iklan dan data ini hanya digunakan secara internal di lingkungan TVRI, seperti disebutkan untuk memacu kinerja para kepala stasiun daerah.
Sedangkan angka pendapatan iklan sebesar Rp 31,570 miliar merupakan hasil pendekatan konservatif terhadap perkiraan pendapatan 2004 yang disampaikan pada Februari 2005 sebagai bahan laporan pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI. Perkiraan ini dibuat karena direksi TVRI belum menyelesaikan laporan keuangan konsolidasi mengingat banyak stasiun daerah yang belum menyelesaikan laporan keuangannya pada saat itu.
Sementara itu, angka pendapatan iklan sebesar Rp 33,632 miliar adalah laporan keuangan yang diterbitkan direksi TVRI pada akhir Maret 2005 dan disampaikan kepada Kementerian BUMN merupakan laporan keuangan konsolidasi dan inhouse unaudited (belum diaudit) yang resmi.
Perbedaan kedua laporan di atas adalah hal yang lazim di dunia keuangan dan pasar modal karena jangka waktu penerbitannya pun berbeda; keduanya adalah laporan unaudited.
Angka laporan pendapatan iklan 2004 audited (sudah diaudit) adalah Rp 33,632 miliar dan merupakan bagian dari angka pendapatan operasional TVRI pada 2004 audited sebesar Rp 108,15 miliar yang berasal dari Pendapatan Iuran Pesawat Televisi, Pendapatan Liputan Berita, Pendapatan Kerja Sama dengan pihak ketiga, Pendapatan Iklan, dan pendapatan lain-lain.
Dalam laporan keuangan 2004 tidak tercantum kontribusi TV swasta karena pendapatan itu terakhir dicatat sebagai pendapatan 2003 dan tahun sebelumnya, sesuai dengan prinsip akuntansi accrual basis yang membedakan pencatatan pendapatan dan piutang. Data iklan komersial bumper in dan bumper out serta teks berjalan tidak terdapat dalam laporan keuangan karena angka tersebut tidak material.
Perlu disampaikan pula bahwa Laporan Keuangan audited TVRI 2003 dan 2004 telah diterbitkan dengan opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) hasil audit Kantor Akuntan Publik Heriantono dan Rekan.
Opini wajar tanpa pengecualian ini merupakan prestasi dalam sejarah TVRI karena untuk pertama kalinya lembaga penyiaran ini memperoleh opini demikian dalam laporan keuangannya. Saat ini direksi sedang menyusun laporan keuangan penutup PT TVRI (Persero) karena segera akan beralih status menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI pada 2006.
Mengenai penggunaan dana PSO 2004, TVRI sudah diaudit oleh 2 (dua) lembaga pemeriksa pemerintah, yaitu BPK, yang hasilnya tertuang dalam laporan Nomor 98/5/III-X12/05 tanggal 10 Agustus 2005 dan BPKP Nomor LAP-3050/PW09/2/2005 tanggal 8 Juni 2005. Mengenai kerja sama iklan dengan PT Prima Media Antara (PMA) juga sudah dilakukan audit oleh BPKP dan laporan auditnya sudah diterbitkan dengan Nomor LAP-1522/PW09/5/2005 pada tanggal 2 Maret 2005.
Demikian kami sampaikan dan atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih.
MEITY S. INARAYManajer Humas TVRI
-Terima kasih atas tambahan penjelasannya. Hampir semua penjelasan Anda sama dengan penjelasan petinggi TVRI yang dimuat dalam tulisan Tempo edisi 31 Oktober-6 November 2005-Red.
Utang TVRI Tidak Rp 160 juta
TEMPO edisi 31 Oktober-6 November 2005 memuat tulisan Proyek Rugi Bernama TVRI. Pada artikel di halaman 78 itu, dimuat wawancara dengan Bapak Yazirwan Uyun selaku Direktur Utama TVRI. Ada pernyataan dalam wawancara itu yang tak sesuai dengan fakta dan ingin kami luruskan, yaitu:
Bahwa TVRI memang mempunyai utang kepada kami selaku pengelola kantin TVRI, tapi bukan Rp 160 juta seperti yang dikatakan oleh Direktur Utama TVRI Bapak Yazirwan Uyun. Utang yang tidak dibayar oleh TVRI sejak tahun 2000 hingga saat ini adalah sebesar Rp 1.636.889.195 (satu miliar enam ratus tiga puluh enam juta delapan ratus delapan puluh sembilan ribu seratus sembilan puluh lima rupiah). Demikian keterangan dari kami.
HERU RIANTO WIJOTOKantin TVRIJalan Gerbang Pemuda Senayan, Jakarta
Apa Kabar Kominfo dan KPI?
BULAN Mei 2005 yang lalu Departemen Komunikasi dan Informasi bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merekrut tenaga untuk Dewan Pengawas TVRI melalui iklan di media massa. Sebulan kemudian diumumkanlah calon tenaga yang lulus tes pertama (lebih-kurang 75 orang). Sampai sekarang tidak ada kabar berita kelanjutan dari pengumuman itu, yang kabarnya tinggal uji kelayakan oleh DPR.
Empat bulan cukup menjadi pertanyaan besar bagi kami yang telah datang memenuhi permintaan dua lembaga ini. Apa sebenarnya yang telah terjadi sehingga komunikasi dan informasi tidak berjalan lancar?
Terdapat berita dari komentar seorang anggota DPR bahwa calon yang masuk kurang memenuhi syarat. Ukurannya adalah calon yang lolos "bukan figur" yang dikenal publik. Saya pun mafhum, yang memberi komentar itu juga sebelum menjadi anggota DPR tidak dikenal publik. Lalu, ada kabar mengatakan, orang-orang Kominfo ingin "memaksakan orang-orangnya" masuk di Dewan Pengawas TVRI. Padahal anggota pengawas yang ingin dicari cuma lima orang, dan dua di antaranya dari pemerintah. Apakah arti ini semua? Bagi-bagi kursi? Perpolitikan primitif? Tidak bekerja dengan baik? Sebagai orang biasa yang mencalonkan diri untuk era reformasi, saya sangat menyayangkan apa yang sedang terjadi di Kominfo atau KPI.
Saya ingin mencatat saja dari apa yang terjadi beberapa tahun era reformasi, bahwa "orang terkenal" di DPR atau di KPU telah berbuat banyak untuk dirinya sendiri, dan orang "tidak terkenal" di Komisi Pemberantasan Korupsi telah cukup berbuat untuk negara ini.
Salah seorang calon anggota Dewan Pengawas TVRI
Pembangunan Menara di Cilandak
KAMI warga RT 16 RW 2 Kelurahan Cilandak Barat, Jakarta Selatan, menyatakan keberatan atas pembangunan menara telekomunikasi di sekitar permukiman kami. Surat-surat penolakan telah kami kirimkan kepada Gubernur DKI Sutiyoso beserta jajarannya hingga ke kelurahan. Namun, hingga hari ini pembangunan menara setinggi 40 meter di wilayah padat penduduk itu terus berlangsung.
Padahal, berdasarkan Keputusan Gubernur No. 101/2001 mengenai Ketentuan Pembangunan Menara Telekomunikasi di DKI Jakarta, wilayah tempat kami tinggal tidak termasuk dalam zona I, II, maupun III. Juga tidak ada persetujuan dari warga yang berhak, tanpa sepengetahuan RT, RW, maupun kelurahan. Kalaupun ada yang setuju, mereka hanya mengatasnamakan warga. Pemilik lahan yang menyewakan beserta keluarga besarnya termasuk warga yang setuju.
Atas dasar SK gubernur itu, ternyata pembangunan menara tersebut tidak memenuhi persyaratan. Maka, patut dipertanyakan mengapa menara tersebut terus dibangun. Apakah sudah sebegitu sewenang-wenangnya pihak penguasa dan pengusaha dalam menjalankan usahanya, hingga tak perlu lagi memperhitungkan kepentingan hajat hidup orang banyak? Kami meminta perhatian Gubernur DKI dan aparat terkait agar lebih mempertimbangkan kepentingan kami sebagai warga biasa.
Atas nama warga RT/RW 16/2Kelurahan Cilandak Barat, Jakarta
Ralat
Pada majalah Tempo edisi 21-27 November 2005, rubrik Ilmu dan Teknologi, halaman 61, tertulis "US$ 2.200 (Rp 2,2 juta) per miligram." Seharusnya tertulis "US$ 2.200 (Rp 22 juta) per miligram."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo