MASA MENJELANG REVOLUSI. KRATON DAN KEHIDUPAN POLITIK DI SURAKARTA, 1912-1942 Penulis: George D. Larson. Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1990, 344 halaman PERIODE sejarah yang disebut zaman pergerakan nasional (1908-1942) tidak banyak diteliti. Karena itu, setiap buku mengenai waktu itu sangat menggembirakan khususnya mengenai daerah. Hanya ada beberapa buku tentang pergerakan di daerah, antara lain buku A Reid (Blood of the People) mengenai revolusi di Aceh dan Sumatera Utara, yang juga menyangkut zaman pergerakan. Karya Larson ini sangat mendetail dan kaya akan bahan-bahan perkembangan pergerakan dan politik di dunia keraton Surakarta. Kalau ada kritik terhadapnya, hal itu bukan karena kita mengurangi penghargaan terhadap karya tersebut. Fakta-fakta dan detail zaman tersebut terlalu banyak disajikan demikian saja, tanpa melihat isu-isu lebih dalam, memberi latar belakang budaya, atau mempertajam analisa dan saling hubungan. Dalam dekade-dekade terakhir kolonialisme Belanda, keraton- keraton Surakarta, baik Kesunanan maupun Mangkunegaran, memiliki raja-raja yang agak istimewa. Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939) adalah raja yang paling lama menduduki takhta di dalam sejarah Jawa. Beliau besar secara fisik maupun dalam pandangan orang Jawa sezamannya, dan dijuluki Ingkang Wicaksono (Yang Bijaksana). Mangkunegoro VII juga seorang yang mencolok dan berkarisma. Beliau adalah pelindung kesenian, pandai bergaul, dan menaruh perhatian khusus pada bahasa dan kesusastraan Jawa. Dengan singkat, beliau adalah salah satu tiang bagi kebangkitan kebudayaan Jawa. Sebelum menjadi kepala istana Mangkunegara, beliau menjadi anggota Budi Utomo, pernah di Nederland dan berpengalaman luas. Dia harus melepaskan kedudukannya dalam Budi Utomo setelah menjadi M.N. Pada periode ini, Belanda makin mengurangi dan membatasi kekuasaan para raja. Kekuasaan mereka atas politik tanah dibatasi dengan Agrarische Regeling. Kekuasaan residen untuk mencampuri wewenang para raja diperluas, bahkan sampai mengenai keuangan dan keluarga keraton. Kontrak politik yang harus ditandatangani seorang raja baru dengan Hindia Belanda, dan terjadi di Yogyakarta antara Sultan H.B. VIII (1921) dan Belanda, dilihat sebagai pengurangan yang sangat luas terhadap kekuasaan Sultan. Di Kesunanan ada kekhawatiran bahwa kalau harus ada kontrak baru, hal yang sama akan terjadi di Surakarta. Bahkan ada kekhawatiran bahwa Belanda akan menghapus daerah kerajaan Jawa seperti yang mereka lakukan dengan Banten dan Cirebon (awal abad XIX) dan Madura (abadbad XX). Dengan singkat, kesunanan tidak puas dengan Belanda. Dengan latar belakang ini muncul pergerakan nasional Budi Utomo, Sarekat Islam, dan lain-lain. Dari awal, terjadi hubungan saling merayu, khususnya antara Budi Utomo/SI dan keraton. Ada beberapa pangeran seperti Hadiwijoyo dan Kusumo Yudo yang aktif dalam organisasi pergerakan ini. Ada juga tekanan terhadap sunan untuk melarang aktivitas para pangeran ke dalam pergerakan. Di sini, terkadang Larson agak membingungkan. Di beberapa tempat ia menyebut keterlibatan beberapa pangeran dalam pergerakan sebagai politik keraton. Tapi disebutkannya juga bahwa yang terlibat hanya beberapa pangeran yang berpen- didikan seperti Hadiwijoyo dan Kusumo Yudo. Jadi, belum tentu ini merupakan politik keraton. Lalu apa politik keraton sebenarnya pada periode ini? Kalau memang ada semacam politik dari Ingkang Wicaksono yang merayu pergerakan, yang saya ragukan, jelas ini karena ketakutan pada kemungkinan pengurangan kekuasaan oleh Belanda atau bahkan dihapuskannya lembaga kesunanan. Ancaman ini mendorong keraton mencari dukungan rakyat. Hal ini lumrah. Rakyat memang diwakili oleh pergerakan, dan pergerakan menjadi alternatif bagi kekuasaan Belanda. Justru ini yang dicari oleh pergerakan dalam rayuan dengan keraton, yakni legitimasi di mata rakyat. Pada zaman yang sama ada rencana keraton untuk mencaplok daerah Mangkunegara, dan pergerakan ini dipakai untuk tujuan-tujuan tersebut. Dilihat dari sudut ini, kalau memang ada rayuan Kesunanan terhadap pergerakan, jelas ini hanya untuk tujuan dinastik kuno, yakni mencaplok daerah M.N. dan tidak demi pergerakan itu sendiri serta tujuan-tujuannya. Sebenarnya tokoh-tokoh yang paling riil dalam karya Larson mengenai keraton pada zaman pergerakan adalah yang antikeraton, seperti Tjipto Mangunkusumo dan Haji Misbach. Mereka melihat keraton sebagai lembaga yang sudah kedulawarsa dan sebaiknya dihapuskan. Para politikus radikal ini membawa kita pada fenomena Sarekat Rakyat/Merah dan puncak radikalisme pergerakan di Solo. Ada pemogokan, ada agitasi antikeraton dari rakyat atau unsur-unsur rakyat, dan banyak tindakan radikal lainnya oleh golongan ini. Bahkan ada pelemparan bom ke iringan seorang gubernur jenderal yang mengunjungi daerah kerajaan, yang sampai kini tidak diketahui siapa pelakunya. Yang penting untuk dicatat adalah penerjemahan buku ini oleh sejarawan terkenal Dr. A.B. Lapian. Terjemahan A.B. Lapian ini sangat bagus, hingga terbaca sebagai aslinya. Hanya ada satu catatan. Mengapa istilah perdana menteri atau patih diterjemahkan sebagai wazir? Mungkinkah ini karena aslinya memakai istilah vizier? Penggunaan istilah "wasir" untuk "patih" menjadikan kesunanan, Mangkunegaraan, atau kesultanan kedengaran seperti Kerajaan Langkat atau Johor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini