AUSTRALIA DI MATA INDONESIA: KUMPULAN ARTIKEL PERS INDONESIA 1973-1988 Redaksi: P. Kitley, R. Chauvel, dan D. Reeve Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1989, 467 halaman BAHWA tujuan ketiga penyunting kumpulan artikel pers ini baik dan patut dipuji, tak dapat disangkal. Bertolak dari pendapat "bahwa ada faedahnya melestarikan seleksi tulisan pers Indonesia mengenai Australia dalam suatu bentuk yang mudah diperoleh", Philip Kitley (bekas atase kebudayaan Kedutaan Besar Australia). Dr. Richard Chauvel (dosen Pengkajian Australia di Universitas Indonesia), dan Dr. David Reeve (bekas dosen Pengkajian Australia yang men- dahului Chauvel di UI), menyusun lebih dari 90 artikel dari media cetak Indonesia mulai 1973 sampai pertengahan 1988. Terbagi dalam sepuluh kategori, pokok karya ini meliputi, antara lain, catatan kunjungan turis, analisa politik dan kebijaksanaan pertahanan, tanggapan pers Indonesia terhadap liputan Indonesia dalam media Australia, diplomasi bintang film Rebecca Gilling, keadaan kaum aborigin, dan hubungan tradisional dengan Kepulauan Nusantara. Mutu tulisan masing-masing berbeda jauh. Dari coret-coretan perjalanan almarhum Nugroho Notosusanto yang bersifat kesan sepintas lalu saja (Intisari, 1973). sampai analisa yang matang tentang politik intern Partai Buruh karya Jakob Oetama (Kompas, 1983), misalnya Perbandingan kedua contoh ini, yang waktu termuatnya terpisah sepuluh tahun, menunjukkan betapa jauh berkembang mutu reportase pers Indonesia selama periode yang terjangkau ini, serta makin canggih dan mendalam analisanya. Dari yang dangkal sampai yang mengagumkan, dari yang lucu sampai yang berapi-api, semuanya ada dalam kumpulan yang sangat beraneka ragam ini. Bibit usaha ini berkembang dari keperluan bahan pelajaran buat mahasiswa UI yang mengambil mata kuliah Pengkajian Australia. Lalu juga untuk menyediakan bahan pokok bagi siapa pun yang berminat membaca apa yang ditulis orang Indonesia tentang Australia. Kini buku ini akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk pembaca Australia atas biaya Lembaga Australia-Indonesia, aparat Departemen Luar Negeri Australia. Dari segi pengajar Pengkajian Australia, ketiadaan bahan dalam bahasa Indonesia yang aktuil dan relevan jelas merupakan halangan besar di ruang kuliah. Setahu saya, belum terbit satu pun studi ilmiah lengkap tentang Australia dalam bahasa Indonesia. Sedangkan tulisan lepas dalam pers biasanya bersifat kesan yang berdasarkan pengalaman pribadi yang singkat. Hampir tiada wartawan Indonesia yang menetap dalam periode panjang di Australia. Jarang juga ada sarjana Indonesia yang mengadakan penelitian terperinci di sana. Semoga kelak akan muncul terbitan berdasarkan penelitian yang dilakukan sarjana Indonesia di Australia, ataupun terje- mahan studi yang sudah ada dalam bahasa Inggris. Sampai munculnya karya berbobot begitu, ada peluang untuk buku kumpulan begini. Walaupun berguna, buku ini tentu tak luput dari kekurangan. Sebagian besar merupakan akibat tak terelakkan dari pen- dekatan yang diambil para penyunting: buku ini terbit berkat bantuan Kedutaan Australia, yang tentu tidak ingin terbitan ini mengguncangkan hubungan antara kedua pemerintah. Ini tidak berarti tulisan yang kritis terhadap pemerintah Australia tidak masuk. Banyak juga yang masuk, antara lain dari Angkatan Bersenjata. Tapi yang lebih langka tampaknya kritik terhadap Indonesia, mungkin karena dianggap penyunting "tidak sopan" atau "tidak pada tempatnya" dalam suatu buku yang disponsori oleh pemerintah sahabat dan dilengkapi oleh sambutan duta besar Australia. Sayang juga, tidak ada kata pengantar penyunting pada kesepuluh bagian masing-masing, sehingga kadang-kadang latar belakang peristiwa atau pandangan yang lebih luas tidak menyatupadukan artikel yang menyusul. Kasus yang paling menunjukkan kekurangan-kekurangan koleksi ini adalah Bagian Keempat, "Kasus David Jenkins". Heboh ini terjadi setelah wartawan kawakan Australia David Jenkins menulis dalam harian The Sydney Morning Herald (10 April 1986) tentang keadaan finansial Kepala Negara beserta orang-orang yang dekat dengannya. Oleh para penyunting, kasus ini dipertimbangkan sebagai salah satu kejadian terpenting dalam periode sejarah hubungan Australia-Indonesia yang terjangkau dalam koleksinya. Bagian ini mengambil sekitar seperlima dari buku ini. Ada tajuk rencana, ada kritik terhadap Jenkins, tapi tak ada satu pun dan tulisan-tulisan tersebut yang menyebut apa sebetulnya yang ditulis Jenkins. Barangkali bisa kita tebak kenapa, dan memaklumi juga bahwa kumpulan artikel sejenis ini tidak bisa bersikap lain. Maklumlah, keadaan pers "bebas dan bertanggung jawab". Kalau wartawan dituduh "menghiina Kepala Negara" siapa kiranya yang bisa membelanya? Sayang, penyunting juga tidak mengisi latar belakang atau perkembangan selanjutnya. Mungkin masih belum waktunya untuk membicarakan kejadian ini secara terbuka. Barangkali tidak relevan hal-hal seperti reputasi Jenkins sebagai wartawan, berdasarkan laporan persnya serta pengalamannya bertahun-tahun di Indonesia dan Asia, dan sebagai peneliti yang monografnya tentang ABRI diterbitkan Universitas Cornell AS. Tapi saya sayangkan bahwa penyunting tidak menempatkan informasi lebih lengkap ini di depan para pembacanya. Buku ini merupakan sumbangan yang berguna. Mendengarkan kembali suara pers masa lalu memang bermanfaat. Tapi yang perlu juga sekarang adalah karya yang memberi ruangan bagi suara yang belum boleh berbicara, yang pendapatnya mungkin menantang arus. David T. Hill Dosen Pengkaji Asia Tenggara Universitas Murdoch, Australia Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini