Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tawa Pahit Si Tukang Recok

Kartunis Meksiko, El Fisgon, menggambarkan muramnya globalisasi lewat komik. Menggabungkan sarkasme Rius dan ketekunan Noam Chomsky.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menghadapi Globalisasi: Kiat Gombal buat Pengusaha Kecil Pengarang: El Fisgon Penerbit: Margin Kiri, 2005 Tebal: 200 hal + xii

Nama lengkapnya Rafael Barajas Duran. Tapi publik Meksiko lebih mengenalnya sebagai El Fisgon alias si Tukang Recok. Ia telah menerbitkan tujuh buku, mendirikan dua majalah humor, dan menjadi ilustrator sejumlah buku anak-anak. Ia juga kartunis politik terkemuka, dan sehari-hari bekerja di La Jornada, harian kiri paling kredibel di Meksiko.

Dengan latar belakang itu, bisa ditebak seperti apa penggambarannya tentang globalisasi. Yang jelas, ia berseberangan dengan Thomas Friedman, wartawan Amerika penulis buku The World is Flat. Sementara Friedman selalu melihat dari sisi yang cerah, El Fisgon dari sisi muram.

Seluruh cerita dilihat dari sudut pandang tokoh Charro Machoro, pebisnis kecil yang gagal melulu. Ia akhirnya nekat melintasi gurun Arizona untuk menemui dukun finansial tersohor: Cassandra Carerra. Tapi bukan jimat yang didapat. Carerra malah memberinya pelajaran sejarah ekonomi dari masa pra-kapitalis sampai era konglomerasi global.

Di tangan El Fisgon, sejarah yang panjang dan kompleks itu disarikan dengan gamblang lewat gambar dan kata-kata sederhana. Sering kali menimbulkan tawa pahit. Seperti Eduardo del Rio alias Rius yang membuat komik politik Marx for Beginners, El Fisgon gemar menggunakan teknik kolase. Ilustrasi, etsa, cukilan kayu dari abad lampau dicomot, difotokopi, dan disandingkan dengan kartun-kartun kontemporer. Tokoh-tokoh atau peristiwa nyata dari masa lalu bisa berdialog dengan persoalan zaman sekarang.

Membaca komik El Fisgon juga seperti membaca sejarah yang berulang. Dulu, Inggris menggempur Cina ketika pemerintah Cina berusaha menghentikan kartel obat biusnya (hlm. 26). Kini, dengan berdebar-debar kita menunggu apa yang akan terjadi ketika Evo Morales, seorang petani koka, terpilih menjadi presiden di Bolivia. Bagi kaum Indian Aymara dan Quechea—penduduk asli Bolivia—jauh sebelum koka digunakan untuk membuat kokain, daun koka biasa mereka kunyah untuk obat pelangsing.

Mengkonsumsi daun koka dan teh tradisi sehari-hari petani Bolivia. Maka, kebijakan Amerika yang disebut ”Plan Dignidad” (Dignity Plan), yang bertujuan mengurangi produksi koka sampai titik nol, mereka lihat sebagai serangan terhadap cara hidup petani dan penduduk asli Bolivia.

El Fisgon juga menunjukkan perang sebagai alat kaum neo-liberal di Amerika untuk menguasai sumber daya alam di negara-negara lain. Salah satu penyuplai minyak potensial Amerika adalah Kazakhstan—punya cadangan minyak berlimpah dan belum dikeduk. Untuk mengalirkan minyak dari sana, diperlukan pipa. Dan kalau Anda tak mau pipa tersebut melewati Rusia, salurannya harus dibuat melalui Afganistan.

El Fisgon menunjukkan kemunafikan itu. Ia menampilkan dua gambar pejuang mujahidin yang menenteng senapan Kalashnikov di tangan kiri dan tangan kanannya berlumuran darah. Dua gambar itu sama persis. Yang satu ia tulisi: Sekutu AS di Afganistan. Yang lain: Seteru AS di Afganistan. Dan di bagian atas ia menulis dengan huruf-huruf besar: Temukan Bedanya! (hlm. 164).

Satu lagi yang menarik, El Fisgon juga terbukti periset yang tekun. Bak Noam Chomsky dalam bukunya Profit over People, ia mengutip data-data Bank Dunia yang menggambarkan merosotnya taraf hidup masyarakat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin akibat globalisasi.

Tahun 1990, 242 juta orang di Sub-Sahara Afrika hidup dengan kurang dari dua dolar sehari. Pada 2002, 302 juta rakyat hidup dengan kurang dari sedolar sehari. Dan menurut angka paling baru, 78 persen rakyat hidup dengan kurang dari dua dolar sehari (hlm. 126).

Begitu buruknya globalisasi, tak mengherankan bila El Fisgon justru memuji sikap ngotot Uni Eropa yang tak mau membuka pasar pertaniannya dalam perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ia menyebut sikap itu sebuah kebijakan pro-rakyat (hlm. 191).

Padahal sikap Uni Eropa justru dikecam negara-negara miskin di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dan nyaris membuat sidang WTO di Hong Kong dua pekan lalu mengalami jalan buntu. Sampai di sini kita tak tahu di mana El Fisgon akan berpihak.

Nugroho Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus