Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selewat siang, empang yang mengepung rumah Rudi Suwandi bergeliat hidup. Ratusan ikan lele berebut sisa irisan ikan cue yang ditebar pria 40 tahun ini. Satu ember pa kan tandas dalam sekejap. Rudi pun ber alih ke empang lain, yang juga dise saki ikan berkumis itu. Cuaca panas dengan suhu sekitar 30 derajat Celsius tak dihiraukannya.
Suasana tadi bukan di pedesaan Parung, Bogor, yang kesohor sebagai sentra ikan lele. Tak ada pemandangan gunung, hamparan kolam luas, ataupun rimbunan pepohonan hijau. Aktivitas Rudi ada di perkampungan padat penduduk tak jauh dari jantung Ibu Kota, yaitu Kampung Kapuk, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. ”Tak ada pilihan, sepanjang tahun kampung kami banjir permanen,” kata Rudi, Kepala Rukun Tetangga 10/01.
Rudi bukan satu-satunya warga yang beternak lele. Ada seratusan keluarga yang bertahan hidup di area seluas empat hektare itu. Pertengahan Juni lalu, Tempo menyambangi Kampung Ka puk, tidak jauh dari pemu kiman elite Pantai Indah Kapuk. Sekilas tak ada bedanya kampung yang dikenal sebagai kampung terapung ini dengan kawasan padat penduduk lain di Ibu Kota. Semua rumah berimpitan rapat. Sebagian besar bangunan terbuat dari kayu.
Memasuki Kampung Kapuk, jalan sempit selebar dua sepeda motor dibangun tinggi mengular bak jembatan. Di kanan dan kiri jalan terpampang tanah kosong seluas dua lapangan sepak bola yang telah berubah menjadi rawa. Lahan itu dulu merupakan petilasan leluhur warga Kapuk. Kini air permanen setinggi dua meter telah menenggelamkannya. ”Inilah kawasan tertinggi Kapuk dulu,” kata Djuhri, 51 tahun, tokoh masyarakat setempat.
Terhitung sejak 1988, kawasan pergudangan, pabrik, dan permukiman mewah berlomba didirikan di sekitar Kapuk tanpa sistem drainase yang memadai. Kampung Kapuk pun dike lilingi hutan beton. Akibatnya, musibah banjir, kenaikan muka laut, dan penurunan muka tanah di kawasan Kapuk kian parah. Air di Kampung Kapuk terperangkap, enggan mengalir ke Teluk Jakarta, yang berjarak hanya sekitar dua kilometer. Tapi warga di ka wasan elite tak mengalami apa yang dirasakan warga Kapuk. Warga yang membeli rumah dari pengembang tinggal menikmati lahan yang ditinggikan, dilengkapi polder dan pompa air menuju laut, agar terbebas dari banjir.
Sungguh berbeda ratusan warga Ka puk yang tidak berdaya. Saban tahun mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk meninggikan bangunan. Rumah panggung laiknya kampung terapung di Kalimantan pun bermuncul an. Adapun sebagian rumah lain di biarkan tenggelam tak berpenghuni. Nah, bagian bawah rumah atau kerangka rumah warga yang ditinggalkan penghu ninya itulah yang disulap warga menjadi kolam lele. ”Ibaratnya, dulu atap, kini jadi lantainya,” kata Djuhri.
Tengok saja empang milik Rudi yang memanfaatkan rumah milik tetangganya, Haji Untung, seluas 100 meter persegi. Gratis tanpa sewa. Untung memilih pindah ke Tangerang lantaran tak kerasan tempat kelahirannya tergenang air permanen. Kini kamar rumah Untung menjadi tempat favo rit ikan bernama Latin Clarias batrachus itu. Jaring keramba berukuran 3 x 5 meter ditanam di atas ruang rumah yang tergenang itu. Sebelum menjadi kolam, genangan air di setiap rumah dipenuhi sampah, berbau busuk, dan kotor. ”Satu rumah sampahnya mencapai dua truk,” kata Rudi.
Tidak jauh dari Kampung Kapuk, dipisahkan Jalan Kapuk Raya, ada pemandangan serupa. Tepatnya di RT 06/02, Kapuk Muara, Jakarta Utara. Rumah sama-sama panggung. Beda nya, tak ada kolam lele. Kerangka rumah tanpa genting masih terlihat di bawah rumah-rumah penduduk. Air bah permanen dan sampah menjadi sahabat warga. Elisah, 42 tahun, terpaksa betah tinggal di kampung halamannya ini. ”Kalaupun tanah dijual, belum tentu dapat rumah lagi,” katanya.
Wajah Kampung Kapuk menjadi bukti penataan tata ruang kota yang merugikan rakyat kecil. Ancaman air pasang dan penurunan muka tanah di kawasan pesisir utara Jakarta telah menenggelamkan daerah yang dikenal sebagai persawahan dan tambak di Teluk Jakarta itu.
Pakar meteorologi Institut Teknologi Bandung, Armi Susandi, pernah berkata sebagian Jakarta bakal tenggelam pada 2050. Penelitian aspek osea nografi, sistem informasi geologi, meteorologi, perubahan iklim, dan dampak perubahan sosial pada 2006 menghitung total kerugian warga Ibu kota mencapai Rp 37 triliun per hari. Penyebabnya, permukaan air laut di Teluk Jakarta naik 5,7 sentimeter setiap tahun dan muka air tanah menurun 0,8 sentimeter per tahun. ”Lebih tinggi dari rata-rata kenaikan seluruh kawasan pesisir di dunia, yang mencapai 16 milimeter,” katanya.
Anggota Badan Regulator Air Jakarta, Firdaus Ali, berpendapat tidak perlu menunggu puluhan tahun lagi. ”Saat ini sudah terjadi,” kata dosen Universitas Indonesia ini. Jika tidak dikendalikan, 60 persen wilayah Jakarta bakal berada di bawah permukaan laut. Ancaman Jakarta tenggelam permanen sudah di pelupuk mata. Kampung Kapuk adalah bukti yang tak terbantahkan.
Djuhri tak habis pikir kenapa tanah kelahirannya di Kapuk tenggelam hampir dua meter. Padahal, dua dasawarsa silam, warga pesisir pantai utara Jakarta yang terkena rob rutin justru mengungsi ke rumah Djuhri yang kini sudah diuruk tanah. ”Salah siapa?” kata Djuhri. Yang jelas, sejak pembangunan kawasan pergudangan dan reklamasi Pantai Indah Kapuk, perlahan dan pasti kampungnya terus dilanda banjir permanen.
Investigasi majalah Tempo pada April 2002 mencatat daya tahan kawasan Kapuk menghadapi luapan air merosot tajam. Kawasan rawa dan tambak itu semula menjadi tampon (tempat air) untuk daerah aliran sungai sepanjang Kali Pesanggrahan dan Kali Angke. Menurut perhitungan Wahana Lingkungan Hidup, daya serap Kapuk sebelum ada Pantai Indah Kapuk mencapai sembilan juta meter kubik, tapi kemudian terus berkurang hingga tinggal sepertiganya.
Akibatnya, air yang mestinya meresap di Kapuk terpaksa meluber ke wilayah lain. Kelebihan ini akan dituangkan ke Cengkareng Drain sehingga, ”Beban kanal kian berat,” kata Marco Kusumawijaya, pakar tata kota. Bahwa Pantai Indah Kapuk bukan satu-satunya penyebab turunnya kemampuan kanal, itu tidak keliru. Tapi juga tak bisa dibantah, perumahan mewah ini memaksa Cengkareng Drain mengalami penuaan dini.
Juru bicara Pantai Indah Kapuk, Kosasih Wirahadikusuma, membantah keras. ”Ngaco kalau PIK penyebab banjir di kawasan Kapuk,” kata bekas Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI ini. Sebaliknya, kata Kosasih, Pantai Indah Kapuk telah merestorasi 17,8 hektare lahan untuk menyerap air.
Apa pun penyebab Kampung Kapuk tenggelam, sebagian warga Kapuk tetap bertahan. ”Moto kami mengubah bencana menjadi berkah,” kata Djuhri. Sejak 2007, Djuhri, Rudi, dan ratusan warga Kapuk lainnya mulai membudidaya kan lele agar masyarakat tidak membuang sampah di lahan yang tergenang. Selain menjaga kesehatan lingkungan, hasil panen lele bisa menambah pemasukan warga yang bermata pencarian buruh pabrik. ”Lele tak bisa hidup jika air tercemar,” kata Djuhri.
Petang pun datang. Rudi kembali memberikan pakan kepada ribuan ekor lele di empangnya. Sambil me nerawang, ia berpikir. Andaikan wak tu bisa berputar kembali, Rudi men dambakan kampung halamannya seperti dulu: asri, permai, dan terbebas dari banjir. ”Siapa mau sih tanah kelahirannya tenggelam?” katanya.
Rudy Prasetyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo