Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandangan Ahmad Subarkah, 45 tahun, menera wang jauh. Sembari meng isap rokok kreteknya, ia berujar, ”Masak sih?” Ahmad salah satu nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Ia masygul tak percaya ketika Tempo menceritakan bahwa laut sekitar Pluit akan direklamasi dan dijadikan pulau hunian. ”Kami mau ke mana lagi,” tutur Ahmad sembari menyemburkan asap.
Menurut Ahmad, tanpa reklamasi pun nelayan sudah tergusur dari laut Jakarta. Pencemaran dan minimnya hasil tangkapan di perairan Ibu Kota ini membuat nelayan harus melaut lebih jauh. ”Hasil tangkapan juga kadang tidak memuaskan,” keluh Ahmad. ”Sering tekor.” Reklamasi akan menggilas bagan terapung, sero, dan alat tangkapan lain yang ditanam di laut dangkal.
Muara Angke dikenal penduduk Jakarta sebagai kampung nelayan karena di sana terdapat tempat pelelang an ikan, pelabuhan ikan, serta tempat makan ikan bakar. Namun tidak serta- merta nasib nelayan di belahan barat pantai Jakarta itu lebih bagus. Menurut Ahmad, dari hasil sekali melaut selama tiga hari, ia biasanya hanya me ngantongi uang Rp 50 ribu. ”Itu sudah lumayan,” ujarnya.
Biasanya, untuk biaya melaut, sekelompok nelayan menghabiskan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta untuk perbekalan. Di antaranya solar 50 liter, be ras, rokok, dan bensin untuk genset penerangan. Jarak wilayah tangkapan juga semakin ke tengah laut karena tercemarnya laut Jakarta. Sedangkan hasilnya sangat minim.
Kisah sedih nelayan ini sudah menjadi cerita umum. Di beberapa perkampungan nelayan lainnya juga ditemukan cerita serupa. Di sebelah timur Pelabuhan Tanjung Priok, Kelurahan Kalibaru, para nelayan juga hidup miskin. ”Kehidupan mereka amat-sangat menyedihkan,” kata Fhilys Sudiyanto, salah seorang warga Kalibaru.
Menurut Sudiyanto, buruknya kualitas laut Jakarta membuat biota laut semacam ikan tidak lagi hidup di sana. Konsekuensinya, nelayan harus melaut lebih jauh lagi. Ini berarti biaya yang dikeluarkan semakin besar. ”Warga (nelayan) masih awam soal limbah ini,” kata Sudiyanto, yang juga anggota Dewan Kelurahan Kalibaru.
Nelayan memang selalu berada dalam posisi lemah. Mereka kerap menjadi korban kebijakan pemerintah yang tidak pro-nelayan atau rakyat kecil. Pemerintah Jakarta saat ini merencanakan kawasan pesisir Jakarta dijadikan kawasan komersial, baik untuk hunian maupun industri. Terlebih lagi, dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) diberikan pemerintah kepada pengusaha besar.
Menurut Sekretaris Jenderal Koali si Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik, hak itu akan membuat hidup nelayan semakin termarginalkan dan terpinggirkan. Pemilik HP3 dipastikan akan menggunakan hak mereka agar wilayah pesisir bisa menghasilkan duit. ”HP3 sudah sama seperti HPH (hak pengusahaan hutan). Warga sekitarnya pasti akan tergusur,” ujar Riza.
Sejatinya, kebijakan yang tidak pro-nelayan ini sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Ketika itu, perusahaan dagang VOC membuat kebijakan bahwa Pelabuhan Sunda Kelapa bukan lagi untuk mendukung industri perikanan. VOC menginginkan pelabuhan menjadi pendukung bisnis utamanya, yakni perdagangan, terutama rempah-rempah.
Akibatnya, warga pribumi tergusur dari kawasan pesisir Batavia. Belanda bahkan membagi-bagi kawasan pesisir untuk kelompok-kelompok yang berbakti dan berjasa kepada VOC. Ketika itu di Jakarta tak berkembang perkampungan nelayan, melainkan komunitas nomaden yang bergantung pada jasa baik penguasa pesisir tadi.
Hingga Republik Indonesia berdiri, kebijakan yang berhubungan dengan pesisir dan nelayan belum banyak berubah. Bahkan, ketika memasuki periode industrialisasi, kondisi nelayan makin memprihatinkan. Konversi ribuan hektare hutan bakau di pesisir menjadi kawasan permukiman, industri, pergudangan, dan aktivitas ekonomi lain membuat ekosistem laut Jakarta terganggu.
Salah seorang nelayan asal Marunda Kepu bernama Tiarom mewakili kisah tersebut. Menurut Tiarom, kampung dia awalnya ada di wilayah Marunda yang kini berdiri Kawasan Berikat Nusantara. Pada 1985, ia bersama ra tusan penduduk desanya digusur pemerintah dan menempati Marunda Kepu hingga sekarang. ”Ketika itu umur saya 10 tahun,” ujar ayah tiga anak ini.
Nasib Tiarom sebagai nelayan yang tergusur oleh industrialisasi tidak menjadi lebih baik. Pencemaran laut oleh industri berat membuat ikan hilang dari perairan Jakarta. ”Pemerintah selalu menuding limbah dari rumah tangga. Padahal tidak mungkin limbah rumah tangga membunuh ikan,” kata pria 45 tahun itu.
Sebelum era industri membuang limbah ke laut, kata Tiarom, ia masih bisa menangkap bangau di perairan dangkal. Ia menceritakan bagaimana masa kecilnya ia menangkap bangau dengan berada dalam air dan bersembunyi di bawah selembar daun. ”Sekarang anak saya sudah tidak mungkin melakukan itu,” ujarnya lirih.
Tempo merasakan ”racun” air laut Jakarta ketika menyusuri perairan pantai pada akhir Juni lalu. Bermula dari Marunda, memasuki kawasan Ci lincing dan Kalibaru, air terlihat keruh. Bahkan, ketika berada di dekat salah satu muara sungai, bau menye ngat dari air laut memaksa menutup hi dung. Lebih ke barat, tampak sebaran sampah yang mengapung di perairan sekitar Angke dan Pluit.
Selain oleh industrialisasi, nelayan Jakarta didesak oleh air laut. Abra si membuat kampung nelayan bergeser ke daratan. Marunda Kepu, misalnya, tadinya berada satu kilometer ke arah laut dari posisinya yang sekarang. Hilangnya hutan bakau membuat abrasi semakin menjadi-jadi. Pada 1960-an, hutan bakau Jakarta tercatat sekitar 1.344 hektare. ”Sekarang jumlahnya kurang dari 200 hektare,” kata Riza.
Nahasnya nasib nelayan yang rata-rata berpendidikan rendah—SD hingga SMA—harus kalah dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Se bagian dari mereka berganti profesi menjadi buruh pabrik, buruh bangunan, buruh angkut hasil laut, bahkan menjadi pemulung. ”Jumlah nelayan Jakarta berkurang 10 kali lipat,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.
Menurut Fadel, saat ini jumlah nela yan di Jakarta sekitar 15 ribu. Mereka tersebar antara lain di Muara Baru, Muara Angke, Kalibaru, Cilincing, dan Marunda. Selain beralih profesi, sebagian nelayan bergeser ke Bekasi di timur dan Tangerang di barat. ”Nela yan di Jakarta ini memang kasihan. Pemerintah daerah tidak memberikan perhatian,” kata Fadel.
Salah satu buktinya, kata Fadel, adalah dihapusnya dinas perikanan dari instansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Digabung dengan dinas lain seperti peternakan,” ujarnya. Fadel memperkirakan, suatu saat nanti profesi atau mata pencarian sebagai nelayan hilang dari pesisir Ibu Kota Jakarta.
Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo