Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tentang Identitas, Tentang Kita

Aditya Ahmad, yang baru saja memperoleh trofi Singa Emas dalam Festival Film Venesia, adalah singa baru yang melangkah maju di arena perfilman Indonesia.

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Adegan dalam film Kado

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di balik pecahan kaca jendela sekolah, Isfi (Isfira Febiana) dan rekan-rekannya menyaksikan seorang kawan yang mereka tunggu. Di antara asap rokok yang keluar dari bibir gerombolan anak sekolah menengah atas itu, Isfi ikut dalam obrolan “jantan” mereka: apakah Ricky masih perawan, apa perlu mereka memperkenalkannya ke daerah lampu merah, dan seterusnya.

Ketika akhirnya Ricky datang, Isfi menghampirinya dan meminjam sepeda motor. “Mau ketemu Nita, ya?” Isfi mengangguk. Dia menjemput kawannya, Nita (Anita Aqshary Thamrin), untuk kemudian “belajar” di kamar dan menginap. Tapi tunggu dulu, bagaimana penampilan Isfi—berseragam celana abu-abu dan kemeja; berambut cepak—bisa lolos dari pengamatan mata elang ayah Nita? Sebelum masuk ke rumah, Nita “memberikan perangkat” yang menyelimuti seluruh tubuh Isfi, kecuali wajahnya tentu saja.

Film pendek ini hanya berdurasi 15 menit, tapi memberikan ledakan. Dinamit itu meledak di Festival Film Venesia ke-75, yang mengganjar sutradara Aditya Ahmad dengan trofi Singa Emas dalam seksi kompetisi film pendek (Orizzonti Corti). Ini sebuah peristiwa yang istimewa dan merupakan kado tidak hanya bagi Aditya Ahmad dan Miles Films, tapi juga bagi perfilman Indonesia serta masyarakat Indonesia yang saat ini senantiasa cemas akan identitasnya.

Bakat Aditya Ahmad terpancar sejak ia berhasil meringkus perhatian juri dan penonton festival melalui film pendek Sepatu Baru (2013). Menampilkan pemain baru Isfira Febiana, Sepatu Baru, yang juga berdurasi 15 menit, adalah sebuah kisah sederhana yang ceria tentang penantian matahari di antara derasnya hujan. Kemampuan Aditya bercerita dengan gambar itulah yang membuatnya mendapat pujian bertubi-tubi dari tingkat lokal dalam XXI Short Film Festival di Jakarta hingga level internasional dengan penghargaan Special Mention di Berlin serta Seoul.

Tampaknya Isfi bisa saja dikatakan sebagai muse atau sumber inspirasi Aditya. Setelah keberhasilannya bersama Sepatu Baru, Aditya “bersekolah” di bawah naungan Miles Films dengan beberapa kali menjadi asisten sutradara Riri Riza dan membuat sejumlah produksi kecil. Produser Mira Lesmana mengungkapkan, Aditya sangat dibebaskan untuk membuat film layar lebar atau film pendek. Tapi saat itu Aditya “berubah-ubah rencananya dan sempat kepingin menjadi pelaut” karena merasa tak yakin akan cita-citanya.

Saat bertemu lagi dengan Isfi lima tahun setelah pembuatan film Sepatu Baru, Aditya mengamati betapa “maskulin penampilan Isfi”. Keduanya pun berbincang-bincang. Mendengar cerita kesulitan Isfi di sekolah karena lebih suka mengenakan celana panjang daripada rok, Aditya merasa kisah itu adalah berlian yang perlu diasah menjadi film pendek. Mira Lesmana dan Riri Riza langsung setuju tanpa mengubah sedikit pun skenario yang disusun Aditya.

Dengan pengambilan gambar sedikit demi sedikit, “Karena saya juga sibuk dengan tugas film lain,” demikian alasan Aditya, film akhirnya selesai. Hasilnya memang sebuah berlian yang bersinar. Cerita Isfi, yang tampil dengan namanya sendiri, fiktif, tapi menjadi sebuah temuan baru. Dia meluncur mulus menggambarkan dirinya sebagai “androgini”, lelaki di antara gerombolan lelaki yang akan menjelma menjadi perempuan jika terpaksa. Ada kejutan, ada humor, ada berbagai bagian yang menyentuh, tapi ada juga yang menyedihkan. Aditya menyodorkan kisah bahwa, meski masyarakat Bugis pada masa lampau mengenal lima gender, sosok seperti Isfi kini digerus oleh konservatisme. Sosok itu akan dianggap aneh dan menentang kodrat. Aditya merasa tidak nyaman terhadap dikotomi yang ketat itu. “Mengapa seseorang harus masuk ke satu kategori?”

Hampir semua pemeran, yang disebut “non-aktor”, menurut saya, justru menjadi pemain yang indah. Anita Aqshary Thamrin, satu-satunya kawan yang memahami Isfi, juga layak diperhatikan penampilannya: tulus, jujur, dan mengharukan.

Kehebatan susunan cerita ini adalah Aditya bisa memerikan sesuatu yang kompleks hanya dalam 15 menit. Dan cerita kompleks itu justru kuat secara visual karena Aditya menyajikan beberapa kejutan di setiap kelok. Seandainya ditulis dalam teks fiksi, meski bisa sama kuat, kisah itu pasti tak akan bisa menyajikan daya kejut yang sama.

Pada akhir cerita, ketika Isfi bersama segerombolan lelaki berdesakan di dalam mobil seperti ikan sarden di dalam kaleng, kita bisa melihat perubahan wajah Isfi, terutama ketika kawan-kawannya menggoda waria di pinggir jalan. Wajah yang semula bersinar penuh tawa—karena dia merasa sedang menjadi diri sendiri—perlahan kehilangan cahaya dan redup. Murung.

Aditya, setelah film ini, lupakanlah cita-citamu menjadi pelaut.

Leila S. Chudori


KADO

Sutradara: Aditya Ahmad

Skenario: Aditya Ahmad

Pemain: Isfira Febiana, Anita Aqshary Thamrin

Produksi: Miles Films

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus