Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teater Kubur: Macet

Teater Kubur menyajikan karya baru, Instalasi Macet, di Djakarta Teater Platform. Dari riset terhadap kawasan banjir Kampung Apung, Cengkareng.

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pementasan Instalasi Macet oleh Teater Kubur di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 14 September lalu. -Tempo/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNSUR air beberapa kali menjadi metafora dalam pentas yang merefleksikan soal banjir tersebut. Dalam sebuah adegan, aktor-aktor mengucurkan air dari stoples plastik yang bocor. Air membasahi lantai, tapi tak menggenang. Dalam adegan lain, para aktor tiba-tiba membenamkan kepala ke stoples. Lalu mulut mereka menyemburkan air.

Pertunjukan terbaru Teater Kubur berjudul Instalasi Macet itu memperbolehkan  penonton ikut duduk di panggung prosenium Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Konsep ini mengandaikan adanya interaksi intim antara aktor dan penonton. Sejak kemunculannya lewat repertoar Sirkus Anjing (1989), Teater Kubur senantiasa menempatkan diri sebagai  “anak haram” dari modernisasi kota. Pentas-pentasnya menampilkan ekspresi tubuh dan permainan kata-kata dari sebuah subkultur yang bertahan dan resistan terhadap kekerasan  pembangunan.

Pentas “anak haram” kali ini bertolak dari riset terhadap  Kampung Apung di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Kampung ini hampir 30 tahun mengalami banjir permanen. Pada 1970-an, kala bernama Kampung Kapuk Teko, situasi kampung ini masih normal. Masalah datang saat pada 1980-an sejumlah pabrik mulai didirikan. Sawah perkampungan hilang. Lokasi pembangunan pabrik yang rata-rata lebih tinggi lambat-laun membuat wilayah kampung menjadi ibarat mangkuk. Sejak peristiwa banjir 1996, kampung ini tak pernah kering. Meski sudah musim kemarau, selalu saja ada air menggenang. Teater Kubur melakukan observasi selama  dua bulan di RT 11 RW 01 Kampung Apung.

Skenografi itu berupa instalasi batang-batang paralon dan tiga tong. Mulanya kita melihat aktor menumbuk sesuatu di dalam tong. Lalu mereka menjinjing meja-meja kayu dan kemudian menyilangkan papan-papan balok di atas meja. Sedikit kita melihat bagaimana kayu-kayu dipalangkan silang-menyilang vertikal membentuk konfigurasi. Bagian ini agak tergesa-gesa. Andai adegan saling silang digali lebih dalam, komposisinya secara visual pasti membetot mata.   

Kayu kemudian menjadi papan injakan. Langsung bisa ditebak bahwa permainan akan berkisar pada seputar ekspresi tubuh yang mencari kemungkinan antara berdiri di atas atau di sela-sela, atau merunduk di bawah palang kayu. Pada titik ini, yang menjadi energi utama adalah kemampuan kerja sama “grouping” atau “ansambel” para aktor yang variatif. Unsur grouping memang menjadi kekuatan Teater Kubur. Sepanjang pertunjukan, penyutradaraan Dindon W.S. biasanya mampu menyajikan energi komunalitas dengan tempo dan ritme intens yang menekan.

Persoalannya, grouping dalam pentas 14 September lalu ini masih seperti mencari-cari. Letak balok kayu yang tidak terlalu tinggi dari lantai membuat perasaan miris tak muncul tatkala menyaksikan para aktor bermain di atasnya. Adegan antara meniti dan terjepit balok-balok bisa diprediksi komposisinya. Tak ada sebuah akrobat, sirkus “kampung” yang “membahayakan” keseimbangan tubuh. Sahut-sahutan “mini-kata” bunyi katak antaraktor pung, pung, pung yang disambut tek, ko… juga belum menyatu benar dengan tubuh aktor. Sebagai representasi komunitas yang terancam, dialektika eksplorasi tubuh dan properti aktor belum cukup rinci. Masih banyak imaji yang belum digarap. Di Kampung Apung, misalnya, dikatakan permakaman juga terendam. Nisan-nisan bisa saja menjadi bagian dari properti. 

Aktor-aktor lama Teater Kubur, yakni Usamah, Yardim Ada, Victor, Parulian, Zazila, dan Hendra Setiawan, masih menjadi andalan. Mereka sudah malang-melintang bersama kelompok teater ini sampai ke Jepang dan India. Beberapa yang pernah terlibat dalam Sirkus Anjing mungkin tak lagi memiliki stamina seperti dulu. Dua pemain yang baru adalah Kamila (putri sutradara Dindon W.S.) dan Andi Febrian. Aktor perempuan selalu ditempatkan di luar grouping. Fungsi mereka adalah mendistorsi grouping. Tiba-tiba masuk, menggusah, mengibas-ibaskan kain; memelintir satu per satu leher aktor; menjaring kepala aktor dengan jala penangkap ikan atau memboreh tubuh aktor.   

Dindon terlihat ingin tampil artistik. Dalam sebuah adegan dimunculkan gelembung-gelembung sabun. Atau dari belakang dilakukan fogging yang dengan bias cahaya merah membentuk kabut tipis merah puitis. Muncul sosok dengan kepala mengandaikan susunan rumah kardus dengan belitan lampu di sekujur badannya. Ia seperti makhluk ganjil setengah robotik. Atau di panggung gelap kita menyaksikan pucuk-pucuk paralon menyala dan seolah-olah berjalan sendiri. Adegan para aktor bersama-sama menggotong tubuh yang dirambati tumbuhan mengandaikan sesosok mayat dipilih di ujung adegan.

Bagian akhir cukup menarik. Akhirnya terjawab mengapa penonton dibolehkan duduk di area prosenium. Tiba-tiba ada kru yang menyeruak ke tengah arena dan memotret instalasi kayu serta melakukan selfie. Ini menstimulus penonton ikut berswafoto di tengah arena permainan. Adegan ini menampilkan ironi betapa sering Kampung Apung menjadi “wisata bagi liputan-liputan jurnalistik”. ”Karya ini masih proses,” kata Dindon. Memang, bila katakanlah tiga bulan variasi grouping ditempa lagi, energi mungkin baru berkobar.

Seno Joko Suyono

Pementasan Instalasi Macet oleh Teater Kubur di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 14 September lalu. -Tempo/Nurdiansah

30 Menit Saling Tabrak

KELOMPOK “physical theater” MuDa dari Kyoto, Jepang, tidak datang full team. Hanya ada empat orang: Quick sang sutradara, aktor bernama Shun dan Haruka, serta manajer. Dua tahun lalu, kala tampil dalam penutupan Festival Teater Jakarta, mereka datang berlima. Kini, dalam Djakarta Teater Platform, mereka menyuguhkan karya Jolt dengan materi aktor atau penari lokal. Begitu tiba dari bandar udara,  14 September lalu, mereka langsung menuju Sanggar O di Bogor, Jawa Barat. Di situ workshop tengah berlangsung. Dari sembilan partisipan lokakarya, tidak ada satu pun yang memiliki latar physical theater.

MuDa terkenal sebagai kelompok teater tubuh yang mengeksplorasi tubrukan atau tabrakan badan. Pada hari pertama workshop, Quick sudah mengajarkan cara jatuh, berguling, dan menggelimpang serta menumbuk, mendorong, membanting, dan menyeruduk tubuh orang lain. “Tumpuannya bahu. Kita tidak ingin cedera,” kata Quick. Ia menjelaskan, jatuh dengan posisi bahu lebih dulu akan mengurangi rasa sakit dan posisi tubuh lebih enak dipandang. “Tatapan kita harus  ke lantai.”

Kemudian ia mengajarkan cara mengayunkan kepala ke kanan-kiri sekuat tenaga, yang diikuti rentetan gerakan badan seperti pegas turun-naik lalu ditarik cepat ke belakang dan diambrukkan ke lantai sekuat tenaga. “Tangan jangan terlalu bergerak-gerak. Harus keseluruhan badan,” ucap Quick, membenarkan gerak seorang partisipan. 

Lalu, setelah empat hari lokakarya yang penuh “memar”, para partisipan akhirnya naik pentas. Dari MuDa, hanya Shun yang ikut tampil. Di panggung, kita melihat samar-samar ada perangkat drum. Salee—dulu anggota Teater Studio Indonesia di Serang yang pernah magang di sarang MuDa di Kyoto—menabuh drum. Mula-mula kita melihat Shun dan Yusuf—partisipan dari Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta—beradu kepala, dorong-mendorong kepala.

Satu per satu pemain menghampiri, mengerubuti mereka dan kemudian saling tarik sendiri. Variasi pukulan drum Salee lumayan energetik meski kurang kalap. Bukan baru kali ini ada pertunjukan physical theater dengan iringan musik hanya dari drum. Beberapa tahun lalu, kelompok physical theater lain dari Jepang, Contact Gonzo, dalam Indonesian Dance Festival, juga melakukannya di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta. Contact Gonzo mengawali pertunjukan dengan adegan tampar-menampar di pipi, jotos-menjotos, dan kemudian terjang-menerjang. Adapun MuDa lebih condong pada adegan menghantamkan tubuh ke tubuh lain, mengempaskan tubuh ke lantai, serta seret-menyeret sekuat tenaga.

Jolt, menurut Quick, berarti pukulan melumpuhkan lawan. Satu serangan dengan kekuatan seluruh tubuh. “Hidup ini penuh empasan. Kita berulang kali jatuh, tapi kita harus bangun, bangun kembali,” tuturnya. Sembilan partisipan dan Shun terlihat saling menerjang, tumpang-menumpang, kerubut-mengerubut, tarik-menarik, terseret ke sana-kemari tanpa bisa dikontrol.

Pada akhir adegan, kesembilan partisipan menggerombol dan satu per satu menghantam tubuh Shun. Shun jatuh dan bangkit terus-menerus. Melihat adegan ini, kita seperti tengah menyaksikan seseorang yang dipersekusi secara massal oleh suatu kelompok anonim tanpa jelas apa kesalahannya. Setelah adegan tersebut, mereka bersama-sama mengayun-ayunkan tubuh dan mengambrukkan diri ke lantai.

Tentu saja kohesi ekspresi tubuh para partisipan tidak seenergetik penampilan satu tim komplet MuDa. Adegan tarik-menarik, tumbuk-menumbuk tubuh yang terseret ke sana-kemari, itu memang terasa chaotic, tapi belum menggumpal menjadi gelombang bersama-sama yang arkaik, bahwa manusia tanpa henti saling makan—Homo homini lupus. Sedikit demi sedikit pergumulan lepas, buyar, tidak menjadi serangkaian gelombang panjang terkam-menerkam yang memiliki irama. Tapi, sebagai hasil workshop, pertunjukan itu cukup mampu mencicipi metode MuDa. 

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus