Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI teras Galeri Nasional, tampak sebuah instalasi menggabungkan yang lampau dan kontemporer. Lajur-lajur seng selebar 25 sentimeter membentuk pola bujur sangkar dan persegi panjang yang berisi air. Pada dinding tertempel fotokopi besar etsa-etsa lama bergambar kapal VOC di Nusantara. Di atas air itu mengambang kapal mainan anak-anak yang diberi figur para penguasa Jakarta: Jan Pieter Zoen, Mega, Gus Dur, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Dua pompa akuarium kecil membuat air mengalir, menyebabkan kapal bisa bergerak, berputar-putar, dan bertabrak-tabrakan.
”Instalasi ini ibaratnya kanal-kanal Belanda,” kata Iswanto Hartono. Ia sehari-hari arsitek yang mengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia melihat, dari zaman Jan Pieter Zoen Coen sampai SBY tidak ada kebijakan yang saling menyambung untuk mengatur negeri ini. ”Maka saya buat kapal-kapal berputar-putar di tempat,” katanya. Iswanto melihat peran VOC sering dilihat terlalu negatif. Orang lupa bahwa VOC selama 200 tahun mampu menjadi megakorporasi pertama di dunia ”Bayangkan, mereka memiliki perusahaan sampai daerah terpencil seperti Mongol,” kata seniman yang baru saja melakukan residensi di Tokyo ini.
Pernyataan Iswanto tentang VOC mungkin mengernyitkan dahi sejara-wan. Tapi, dipandang dari sudut seni rupa, karyanya memang terasa cocok diletakkan di depan untuk Biennale XIII. Perhelatan internasional yang menelan biaya sekitar Rp 2 miliar ini terbagi dua program besar: pameran outdoor yang dikuratori Ardi Yunanto, dan pameran indoor di Galeri Nasional serta Grand Indonesia yang dikuratori Agung Hujatnikajenong. ”Kami mengundang para perupa Asia Tenggara untuk merefleksikan kotanya,” kata Agung. Ia juga mengundang seniman Eropa-Amerika yang pernah melakukan art residence di Asia Tenggara.
Dari Indonesia hanya sedikit yang merefleksikan sejarah. Selain Iswanto, ada Jompet (Kuswidananto), yang menghadirkan sosok prajurit keraton. Anak Yogya ini menggantung elemen kostum prajurit: topi, sepatu, tambur, senjata. Kekuatan karya berjudul Java’s Machine Phantasmagoria ini terletak pada kemampuan Jompet meramu unsur elektrik. Ia membuat stick dapat memukul sendiri. Bunyi tambur dan genderang menyayat. Suaranya seperti suatu defile kekalahan. Karya ini dilengkapi video yang menampilkan seorang lelaki telanjang dada melakukan gerakan di tanur-tanur pabrik.
Kebetulan dua sosok yang berbicara tentang sejarah lewat seni rupa ini termasuk yang terkuat dalam Biennale XIII. Selain mereka, ada aneka rupa karya menggunakan materi sehari-hari seperti capture adegan televisi, foto, iklan, video, dan stiker. Mereka mempersoalkan tema identitas nasional sampai alienasi. Karya Wimo Ambala Bayang Belanda Sudah Dekat, misalnya, menampilkan foto anak-anak sekolah berjilbab, mbok-mbok di sawah, perempuan di pusat kebugaran, orang berkostum ala robot Godzilla—semua dalam posisi siap melakukan perang-perangan, menenteng senjata plastik. Sebuah parodi mengenai kemerdekaan.
Di tengah hall utama Tintin Wulia menyuguhkan pajangan paspor berbagai negara, dari Uganda, Bolivia, Uruguay, sampai Capo Verdi. Karya ini mengingatkan makin ketatnya peraturan melewati imigrasi sebuah bandara, termasuk ancaman deportasi. Karya ini sesungguhnya bisa lebih mengena bila Tintin juga menampilkan halaman paspor dengan stempel berbagai problem imigrasi seperti cap kunjungan kedaluwarsa atau imigran ilegal. Sayang, halaman-halaman itu dibiarkan kosong.
Dari Malaysia, Roslisham Ismail menampilkan sebuah karya yang belum berani dipamerkan di Kuala Lumpur. Ia memermak film Hang Tuah karya P. Ramle. Film itu dipotong-potong, diganti dengan ucapan berbahasa Mandarin, dan diselang-selingi animasi. ”Hang Tuah itu di Malaysia sungguh-sungguh dianggap pahlawan,” katanya. Menurut Roslisham, pada 1990 di negerinya ada debat besar lewat Internet. Seseorang telah menafsirkan bahwa Hang Tuah berasal dari Cina. Video Roslisham ini menampilkan Hang Tuah sesungguhnya serdadu Cheng Ho yang ditempatkan di Malaka. ”Ini versi saya. Soalnya, lucu melihat orang Malaysia mengaku-aku Hang Tuah, sementara ada kemungkinan dia bukan asli Malaysia.”
Dari Filipina, perupa David Grass menampilkan lukisan pria-pria bertato. Segera kita bisa menduga imajinasinya ia dapat dari jalanan di Manila. ”Ya, saya banyak bertemu dengan geng tato kelompok skateboard di Manila,” katanya kepada Tempo. Akan halnya Vincent Leong, perupa Singapura, menempelkan sebuah sablon batik satu dinding penuh yang bila kita cermati motifnya tak lazim. Sejak dihubungi kurator, Vincent datang ke Indonesia melakukan riset tentang berbagai ikon lokal. Ia memasang gambar Borobudur, barong, garuda, bajaj, wayang dengan rambut ala Mohawk dengan tangan mengacungkan jari tengah. ”Ini simbol anarkisme,” katanya.
Beberapa karya kurang tertangkap gagasannya, karena kurang unsur penjelasan. Misalnya karya Takuro Kotaka. Seniman Jepang ini menampilkan foto-foto dia pada saat di Pulau Siberut. Ia ingin menyindir orang Jepang, yang terlalu tertutup terhadap kebudayaan asing. Di sana ia memakai pakaian seperti sumo dan sehari-hari berbicara bahasa Jepang. Hingga ia diisolasi penduduk. Tapi kita tak bisa mengenali problem itu semata-mata dari foto, dan ini membuat seorang pengunjung mengeluh, ”Apa maksudnya foto ini?”
Hal demikian juga terjadi bila melihat sebuah video karya seniman Inggris Phil Collins (lihat boks ”Dunia Tak Akan Mendengar”). Kita melihat bergantian anak-anak muda menyanyikan sebuah lagu di karaoke. Itu saja. Padahal Phil Collins adalah seniman nomine Turner Art Prize 2006, penghargaan seni rupa kontemporer bergengsi di Inggris. Video itu bagian seri proyek Bogota, Istanbul, Jakarta. Anak-anak itu sesungguhnya tengah menyanyikan lagu band Inggris The Smith. ”Phil melakukan riset, negara-negara manakah di dunia yang memiliki fans The Smith yang besar. Dan ternyata salah satunya Indonesia,” kata Ade Darmawan, Direktur Program Biennale 2009.
Tema tentang kota kini memang menjadi tren utama dalam pameran seni rupa dunia. Beberapa bienale besar dunia mengangkat persoalan urban. Biennale ke-7 Shanghai pada 2008, misalnya, mengusung tema Trans LocalMotion. Tema ini nanti akan dipertajam pada Mei 2010, tatkala Shanghai menggelar Shanghai World Exposition dengan tag line Better City, Better Life.
Ketika mendengar bahwa Biennale Jakarta 2009 bertema kota, pikiran yang terbayang adalah para perupa bakal merefleksikan problem utama Jakarta. Sebagai kota, Jakarta memiliki problem umum yang dimiliki metropolitan lain, di samping problem khusus seperti kemacetan, air bersih, banjir, sampah, urbanisasi. Bienale ini kuratorial, tapi tidak mengangkat tema spesifik demikian. Itu mungkin yang membuat kita tak merasakan adanya benang merah utama yang mengikat.
Biasanya tren pameran bertema urban ditandai dengan adanya karya yang memberikan peluang partisipasi pengunjung. Dalam pameran ini memang ada beberapa karya yang meminta respons balik pengunjung, tapi terasa cenderung main-main. Karya Reza Azung, misalnya. Ia menempelkan e-mail pribadinya kepada para kurator dunia yang pernah dikenalnya di Yokohama Triennale, GwangJu Biennale. Dengan nekat ia memperkenalkan proyek terbarunya dan berharap mereka mengapresiasinya. Salah satu suratnya ditujukan ke kurator terkenal dunia saat ini, Hou Hanru, di San Francisco Art Institute.
Hi, Hanru… this is my first e-mail to you and wishes that this email didn’t go to your junk box.... Ia menyediakan lembaran fotokopian g-mail yang boleh diisi oleh siapa pun. Sayang sekali, tak ada pengunjung yang menanggapi dengan serius. Seorang pengunjung, misalnya, mengisi dengan: Dear Curator.… Sejujur-jujurnya surat ini untuk cowok gw….
Tempelan kertas di dinding yang boleh diisi siapa pun dalam karya Indra Ameng dan Keke Tumbuan juga mengalami nasib sama. Mereka berdua menyediakan ruangan tempat istirahat. Pengunjung boleh duduk, bisa main halma atau catur, sembari membaca buku diari Keke dan Ameng. Lucu melihat ada komentar pengunjung: Seni= Pusing! Soleh. Tulisan lain: ”Sumpah, gue nggak ngerti.
Juga ketika melihat karya Victoria Cattoni, dari Inggris, berjudul Redressing The Veil. Ia menampilkan foto wanita-wanita berjilbab. Ia ingin tahu apakah hipotesis populer di Barat bahwa jilbab memasung kebebasan itu benar. Ia menaruh sebuah buku yang meminta penonton menjawab pertanyaannya Apa perasaan Anda terhadap keharusan untuk menutup aurat? Bila kita tengok, ada pengunjung yang menulis: Karena saya ingin masuk surga!
Selain di Galeri Nasional, hajatan Biennale 2009 juga diselenggarakan di Grand Indonesia, salah satu mal termewah di Jakarta. Dan di antara yang cocok dipamerkan di sini ialah karya Wiyoga Muhardanto. Ia menampilkan mobil dari plywood sebesar ukuran aslinya. Seluruh badan mobil, termasuk kacanya, dicat abu-abu. Namun sayang lokasi pameran di lower ground. Tentunya akan lebih menarik—dilihat dari banyak reaksi pengunjung—bila pameran diadakan di tempat strategis yang biasa digunakan untuk memamerkan mobil.
Juga ketika melihat karya Donna Leong, perupa Singapura yang menampilkan ratusan foto boneka. Boneka itu kusam. Sebetulnya menarik bila foto boneka ini disandingkan dengan boneka Barbie mahal yang dijual di Grand Indonesia. ”Saya terinspirasi Sidney Gulick, pendeta yang pada 1940-an mengumpulkan 12.739 boneka dari Amerika dan dibawa untuk persahabatan ke Jepang,” katanya. Menurut Donna, dahulu di Jepang Friendship Dolls ini sangat populer. Namun, setelah bom Hiroshima, boneka itu dianggap sebagai simbol musuh. Donna sengaja mencari kembali di Amerika model boneka itu. Instalasinya itu dipamerkan di Jepang. ”Banyak ternyata orang Jepang yang tak mengetahui cerita boneka itu,” katanya kepada Tempo.
Yang justru terlihat benar menyentuh problem kota adalah karya sekitar billboard yang dikuratori Ardi Yunanto. Adanya program billboard menjadikan bienale kali ini memiliki kekhasan tersendiri. Persoalan spanduk dan billboard di Jakarta yang centang-perenang memang mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya. Apalagi menjelang pemilihan umum begini. Kita melihat di mana-mana secara semrawut dipasang spanduk dan baliho dengan foto diri calon anggota DPR/DPRD. Tidak ada undang-undang yang melarang pemasangan di tempat umum. Industri teknologi cetak digital membuat kini siapa saja bisa membuat spanduk, billboard, baliho, ukuran bermeter-meter dengan cepat.
Program pemasangan billboard Biennale bukan dengan tujuan kampanye, melainkan menyadarkan masyarakat. Angki Purbandono, misalnya, di depan Sarinah memasang billboard besar bergambar wanita berkebaya. Ia ingin mempertanyakan apakah selama ini orang mengenal sosok Sarinah. ”Untuk lokasi, kami bekerja sama dengan pengusaha reklame Jakarta,” kata Ardi.
Namun sayang ada beberapa karya yang tersendat-sendat izin pemasangannya. Cecil Mariani, misalnya, ingin memasang baliho Ghost of The Past at Menteng Park di Taman Menteng. Ia menampilkan foto lama stadion Persija bersanding dengan foto Taman Menteng. Karya ini mengingatkan bahwa di atas taman ini terkubur stadion yang melahirkan beberapa pemain sepak bola nasional. Baliho ini baru terpasang pada 12 Februari ini, padahal seharusnya sejak awal Januari. Pihak panitia, menurut Ardi, telah mengantongi surat dukungan dari Dinas Kebudayaan Jakarta. Surat itu adalah bekal bahwa pemasangan untuk keperluan kesenian bisa gratis, meski kenyataan menunjukkan bahwa surat itu tidak sakti. Panitia tetap harus membayar retribusi selayaknya memasang papan reklame. ”Selama 10 hari kami harus membayar ke DKI Rp 3 juta,” katanya.
Karya yang tak bisa terealisasi adalah karya Ari Dina Krestyawan. Ia ingin menampilkan sebuah running text di jembatan depan Gedung Jaya di Jalan Thamrin. Biasanya teks tersebut berisi iklan. Running text itu kini memang disewa Pro Excel. Namun sesungguhnya pada jam-jam tertentu pemerintah punya jatah yang jarang mereka pakai. ”Kami bermaksud meminjam waktu slot pemerintah,” kata Ardi Yunanto.
Ternyata tidak diizinkan. Padahal, bila diperbolehkan, itu pasti bisa menyuguhkan hiburan bagi warga Jakarta. Bayangkan bila Anda berada di kemacetan Thamrin menengok ke jembatan, melihat ada teks ini: Jagung Manis Bangkok asli Bogor Mas Kartono Rp 2.000 di Pengkolan Depan McDonald’s. Atau: Kalo lapar dan butuh makanan segera, bakpao depan Jakarta Theater bisa jadi pilihan murah dan mengenyangkan. Tentu Anda tersenyum. Jakarta butuh hal iseng tapi jenaka seperti ini.
Seno Joko Suyono, Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo