Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG itu, terik matahari menyengat Jakarta. Namun Wawang tetap bersemangat menawarkan jasanya kepada pengunjung di Monas. Ia adalah satu dari puluhan fotografer keliling di lokasi Monas. Semangat Wawang kini semakin membubung berkat adanya pameran di dekat terowongan menuju loket pembayaran. ”Sejak ada pameran itu, pendapatan kami setiap hari meningkat hingga 20 persen,” ujarnya bungah.
Pameran foto yang dimaksud Wawang adalah karya fotografer muda Daniel Kampua. Pameran bertajuk Monas dan Kita itu menampilkan beragam pose unik para pengunjung yang dipandu oleh fotogafer keliling. Foto itu bisa menampilkan kesan seolah-olah pengunjung bisa bermain-main dengan puncak tugu Monas. Ada foto seorang anak yang tampak bisa meraih emas di puncak Monas, hingga foto seorang lelaki gondrong yang pura-pura menyulut rokok dari api Monas. Rupanya gaya unik ini memancing keinginan pengunjung untuk memiliki foto dengan pose tersebut.
Namun kegembiraan Wawang tak hanya pada larisnya order. ”Saya paling suka pada teks di samping foto. Buat saya, teks itu memberikan penghargaan bagi kami, para fotogafer keliling,” katanya bangga. Pameran itu memang didedikasikan bagi mereka. Selain menyuguhkan pose unik, Daniel berhasil mengumpulkan semua fotografer di kawasan tersebut untuk foto bersama. Sebuah momen yang belum pernah terjadi, karena sehari-hari antara tukang foto keliling di Monas terjadi persaingan.
Karya Danie menjadi salah satu dari serangkaian karya ”Situs Spesifik” dalam Jakarta Biennale XIII 2009, yang digelar pada Januari lalu. Ardi Yunanto, kurator program ini, mengungkapkan kali ini mereka mengajak seniman membincangkan ruang publik Jakarta yang semakin sedikit. ”Kami juga ingin mengajak mereka membuka ruang baru, baik secara fisik maupun dalam tataran ide,” ujar Ardi.
Maka, seni pun tak lagi steril di ruang-ruang bergengsi. Salah satu seniman, Veronica Kusuma, memboyong pemutaran film gratis di sebuah bioskop di Senen. Senen pernah menjadi sebuah kawasan strategis. Lokasi ini juga pernah menjadi tempat berkumpul seniman Tanah Air macam Wim Umboh dan Misbach Jusa Biran. Khusus bioskop Senen, tempat ini pernah menggapai puncak kejayaan pada periode 1970 hingga 1980-an, tatkala film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Bioskop di kawasan itu kemudian meredup seiring dengan sekaratnya film Indonesia pada periode 1990. Kini, ketika layar lebar kembali bangkit, bioskop di kawasan itu seakan membeku pada satu waktu. ”Pengunjung pun tak hanya menonton film, tapi juga menjadikan lokasi itu sebagai tempat transaksi seksual,” kata mahasiswi tingkat akhir Kajian Media Fakultas Film IKJ itu.
Untuk mengembalikan fungsi bioskop sebagai sarana hiburan, Vero dan kawan-kawannya menyelenggarakan pemutaran dua film secara gratis pada pertengahan Januari lalu. Satu film komedi yang dibintangi Benyamin S. dan satu film horor yang dibintangi ratu horor Suzanna. Animo penonton membeludak. Penonton mencapai 210 orang, melampaui kapasitas kursi yang hanya 180 buah.
Penonton berasal dari beragam kalangan, mulai dari pedagang kaki lima, preman, hingga penjual seks komersial. ”Mereka bergembira dengan acara ini,” ujar Vero girang. Meski tanpa pendingin udara dan harus duduk di kursi yang mirip kursi Metromini, gairah penonton malam itu tetap membuncah. Film yang diputar terputus-putus karena kualitas seluloid yang buruk, tapi tak ada penonton yang hengkang. Mereka menonton hingga akhir pertunjukan.
Sebuah ruang publik pun tercipta melalui Biennale ini. Saleh Husein, Yusmario Farabi, dan Aprilia Apsari menciptakan taman baru yang tak ada dalam daftar pemerintah daerah. Ketiga seniman ini merancang dan ”meresmikan” sebuah taman yang berlokasi di bawah jembatan layang dekat Stasiun Tebet sebagai Taman Catur. Sehari-hari selama lima tahun terakhir taman di bawah jembatan layang itu itu memang menjadi tempat berkumpul warga bermain catur. Berkat warga, lokasi yang semula seram dan berbahaya itu berubah fungsi menjadi tempat mengasyikkan.
Saleh dan kawan-kawan berusaha menegaskan keberadaan taman catur tak resmi ini. Mereka melihat tak ada meja kursi yang nyaman untuk bermain catur di situ. Selama sebulan lebih mereka bertukar pikiran dengan warga. Kemudian timbul ide untuk membuat seperangkat meja-kursi bermain catur dan mural bergambar bidak di dinding bawah jembatan layang.
Meja-kursi itu dirancang untuk 16 orang dengan papan catur dicat pada meja. Tiap papan diberi jarak tertentu sehingga sembari bermain, warga tetap dapat meletakkan cangkir kopi. Kursi pun dirancang panjang, untuk menampung warga yang ikut menonton. Tapi, yang paling unik dari desain mereka adalah kaki meja yang dapat dibongkar pasang. ”Ini pesanan warga supaya bila terjadi penertiban oleh petugas, meja ini dapat diamankan,” kata Saleh tertawa.
Keresahan akan menjamurnya pusat belanja di Jakarta juga memancing ide kreatif di otak Ali Akbar. Pria yang pernah bekerja di industri periklanan ini melihat betapa tingginya hasrat belanja warga Ibu Kota. Maka ia pun membuat reklame iklan sale palsu dengan banderol merek Fakery. Tak puas membuat reklame yang kini bertengger di dinding jembatan penyeberangan depan Masjid Pondok Indah, ia juga menayangkan iklan sale palsu itu di jejaring perkawanan Facebook.
Hanya dalam dua pekan, gara-gara iklan ini, ia berhasil meraup 200 lebih teman. Hampir semua teman baru tersebut menyambut baik kehadiran brand palsu itu. Ada yang bertanya di mana produk ini dijual, hingga perusahaan humas yang tertarik bekerja sama. Sejatinya, reklame itu hendak ia pasang di depan dua pusat belanja prestisius di kawasan Senayan. Sayang, birokrasi Jakarta yang njlimet membatalkan niatnya. ”Padahal saya ingin memperlihatkan bahwa warga membeli sesuatu yang sebenarnya enggak mereka butuhkan, dari realitas palsu” tuturnya.
Tingginya angka kriminalitas di kota ini juga membuat geram para seniman. Ami and The Popo merupakan dua anak muda yang kerap melewati jalan T.B. Simatupang, di kawasan Jakarta Selatan. Mereka pernah menjadi saksi mata pembegalan motor pada suatu malam di lokasi tersebut. Mereka pun putar otak membuat sistem peringatan.
Di tiga kawasan rawan, mereka lalu memasang poster wetpaste bergambar pengendara motor yang dikejar pistol atau tangan raksasa. Sayang, karena lokasi yang kerap terkena air, poster mereka kini rusak. Ide memberi peringatan pada warga juga muncul dalam karya kelompok bernama Caterpaper. Mereka sering melihat tukang ban atau begal di jalan-jalan tertentu di Jakarta menebarkan paku untuk meraup mangsa. Untuk memperingatkan warga atas perilaku kriminal ini, mereka menyamar jadi petugas PU dan kemudian memasang rambu di jalan tertentu di Jakarta. Rambu itu bertulisan: Rawan Paku.
Akan halnya melihat kemacetan parah, Ismiaji Cahyono melancarkan gagasan untuk membuat billboard besar warna kuning di perempatan Grogol. Dalam billboard itu ada tulisan: Grogol adalah....? Mohon isi dan sms ke 0899123456. Itu adalah nomor ponselnya. Ia berharap warga yang melewati jalan itu memberi arti pada Grogol melalui pesan pendek ke nomor ponselnya.
Begitu banyak masalah di kota ini. Bahkan butuh waktu hingga tiga pekan bagi seniman yang terlibat untuk membincangkan problema kota. Hasilnya kini ada yang bermanfaat langsung bagi publik.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo