Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
*) Wartawan
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
LAGU wajib Bagimu Negeri ciptaan Kusbini itu telah menjadi sejarah. Terilis dalam untaian nada syahdu, syair Bagimu Negeri telah mewakili sentimen banyak orang dari generasi ke generasi di negeri ini—andai saja dugaan ini keliru—dalam menarasikan sikap nasionalisme.
Namun siapa yang peduli bahwa teks Bagimu Negeri memiliki persoalan bahasa? Problem kebahasaan yang terbuka untuk diperdebatkan adalah penggunaan kata ”padamu”. Lirik itu menjadi benar bila ditulis ”Kepadamu negeri...” dan seterusnya.
”Padamu” pada lirik lagu tersebut tidak baku. Mungkin, bagi penciptanya dan banyak orang, lirik itu dianggap sama maknanya bila ”Padamu” diganti ”Kepadamu”. Hanya sedikit kalangan yang bisa mengatakan bahwa secara semantik penggunaan ”pada” dan ”kepada” akan selalu menghasilkan makna kalimat yang berbeda.
Bagimu Negeri adalah pernyataan sumpah setia bersama anak bangsa untuk berbakti dan mengabdi kepada Ibu Pertiwi, Indonesia. Artinya, ada dua pihak di sana, yakni anak-anak bangsa (kami) dan Ibu Pertiwi (negeri). Negeri adalah lawan bicara ”kami”. Pemaknaan kalimat seperti ini dipertegas lirik ”Bagimu negeri jiwa raga kami”.
Kata yang tepat untuk mendeskripsikan dialog (imajiner) kebangsaan itu adalah ”kepada”, bukan ”pada”. Bila hal itu dikaitkan dengan setting pada saat lagu tersebut dicipta, yakni dalam rangka merebut kemerdekaan, tafsiran seperti itu menemukan konteksnya. Warga bangsa ditagih kesetiaan dan pengabdian mereka kepada Ibu Pertiwi. Bagimu Negeri adalah representasi dari ikrar warga bangsa yang dimaksud.
Mestikah lirik Bagimu Negeri dilihat dari kacamata sastra? Kalimat sastra memang sering ”menerobos” aturan berbahasa tertentu dengan tujuan-tujuan estetika. Tapi gaya penulisan sastra tidak akan ceroboh mengorbankan prinsip semantik. Justru demi makna tertentu yang hendak dikedepankan, untaian kata-kata dalam karya sastra dibikin sedemikian rupa agar terbaca indah dan sarat pesan moral.
Modus pemakaian kata ”pada dan ”kepada” secara sembrono dalam bahasa tulis dan lisan amat banyak. Kecekakan pengetahuan berbahasa sering menjadi penyebab kekeliruan tersebut. ”Pada” dan ”kepada” sering digunakan pengguna bahasa secara bergantian, seolah-olah kedua kata tersebut memiliki fungsi dan implikasi makna yang sama, seperti pada kalimat berikut: ”Saya bertanggung jawab pada direktur”. Kalimat yang benar adalah ”Saya bertanggung jawab kepada direktur”.
Fakta yang lebih menyedihkan adalah praktek kekeliruan berbahasa yang dilakukan orang-orang terpelajar. Mereka cermat ketika menerapkan preposisi on dan to dalam kalimat berbahasa Inggris, tapi sering ”terpeleset” ketika menggunakan ”pada” dan ”kepada” dalam bahasa Indonesia. Bacalah novel-novel terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dalam kumpulan cerpen Ernest Hemingway, Salju Kilimanjaro, tertulis: ”…Aku akan selamanya sayang padamu. Apakah kau tak sayang padaku?” (halaman 9). Anehnya, penggunaan preposisi ”pada” dan ”kepada” secara benar dan keliru bisa terjadi dalam satu alinea, seperti pada The Secret Life of Bees karya Sue Monk Kidd: ”…’Saya istri petugas di pos polisi,’ ujarku kepada perempuan yang menjawab telponku…. ’Jadi, tolong sampaikan padanya untuk datang secepatnya...’” (halaman 63).
Andrea Hirata, master lulusan universitas ternama di Prancis, dalam Maryamah Karpov (halaman 130), menulis: ”Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit riskan.” Dan masih banyak tulisan yang memiliki kesalahan serupa itu.
Bahasa nasional tidak pernah benar-benar dicintai masyarakat di negeri ini. Kekeliruan penerjemah dan ketakjelian penulis di atas tidak bisa dilihat sebagai kealpaan belaka. Sebab, karya mereka dibaca masyarakat luas.
Bagaimana dengan lirik Bagimu Negeri yang keliru itu? Memperbaiki syair lagu itu hampir tidak mungkin dilakukan. Namun mempertahankan lirik itu sebagaimana aslinya berarti kita membiarkan kesalahan berbahasa terjadi secara terus-menerus dan meluas mengingat lagu itu telah memasuki area bawah sadar bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo