Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Para Fan The Smith

16 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rubber ring, rubber ring, rubber ring….

MEREKA semua menyanyi, menari, bergoyang-goyang. Tak satu pun menggunakan make-up. Beberapa berkacamata tebal. Seorang remaja pria menggunakan jaket jins, menutupi kaus bergambar The Smith yang sudah lusuh di dalamnya. Dua perempuan muda, salah satunya berjilbab, memakai kaus oblong dengan gambar film pop Lock, Stock and Two Smoking Barrels.

Tapi yang paling mempesona adalah seorang gadis ber-tank top hitam yang semakin lama semakin kerasukan ketika mengulang-ulang bagian ref dari lagu berjudul Rubber Ring itu. Polahnya menggila di depan kamera dengan suara yang lebih mirip teriakan, peluh bercucuran, rambut kusut masai dan terengah-engah. Inilah proyek video art seniman Inggris Phil Collins (bukan Phil Collins dari Genesis). Karya Collins berjudul Dunia Tak Akan Mendengar menjadi salah satu yang ditampilkan di pameran Jakarta Biennale di Galeri Nasional yang dibuka pekan lalu.

Pada 2006, Collins datang ke Indonesia untuk mencari fan The Smith. Sebelumnya ia telah melakukan hal sama, merekam di sebuah karaoke fan The Smith di Bogota , Kolombia, dan Istanbul, Turki. Gadis ber-tank top hitam tadi salah satu fan band indie rock asal Inggris itu di Jakarta. Ia dipilih Collins untuk menyanyikan lagu-lagu yang ada di album The World Won’t Listen, karya The Smith pada 1987. Bersama dua rekamannya di Istanbul dan Bogota, Collins telah menayangkan karaoke fan The Smith dari Indonesia ini di Dallas Museum of Art di Texas, Amerika Serikat.

Phil Collins, nomine Turner Prize 2006, adalah seniman kontemporer populer di Inggris. Kini tinggal di Berlin, Collins sering membuat karya video dari berbagai tempat di dunia yang merepresentasikan situasi tegang, perubahan, atau konflik. Obyek video Collins terutama kaum remaja. Collins tertarik memotret kaum remaja ketika mengekspresikan diri seluas-luasnya. Pada 2002, misalnya, ia merekam gambar remaja di Bagdad, Irak. Dua tahun kemudian ia merekam video dansa kaum remaja yang berlangsung maraton selama tujuh jam di Ramallah, Palestina.

Menurut Indra Ameng, ko-produser untuk proyeknya di Jakarta dan Bandung, ia pertama kali bertemu Phil Collins dalam Istanbul Biennale. Keduanya lantas berdialog tentang kemungkinan Collins melakukan proyeknya di Jakarta. Ia tahu, penggemar The Smith mencakup banyak kalangan di Tanah Air: mulai dari pencinta heavy metal hingga pop. Namun, sebagai benang merah, lagu The Smith sungguh populer di kalangan remaja yang merasa dirinya aneh dan terasing. ”Datang saja, fan-nya The Smith banyak di Indonesia,” kata Ameng saat itu.

Dan benar saja, ketika Collins melawat sejenak pada akhir 2006, ia terperangah dengan begitu populernya Steven Patrick Morrissey, vokalis dan dedengkot The Smith, di kalangan anak-anak muda Jakarta dan Bandung. Mereka fasih menyanyikan lagu-lagunya, meniru cengkok British dan menyalin lenggak-lenggok Morrissey di panggung. Collins lantas melakukan residensi di Ruang Rupa, kelompok seniman urban di Jakarta. Selama dua bulan Ameng dan teman-temannya di Ruang Rupa membantu menyebarkan informasi lewat brosur dan radio: ”Kepada mereka yang pemalu, mis-fit, tertarik menjadi orang lain untuk sehari? Ayo, karaoke lagu The Smith! Tanpa bayaran.”

Sekitar seratus orang di Jakarta mendaftar. Dari Bandung separuhnya. Collins datang beberapa bulan kemudian untuk pengambilan gambar. Ia membawa sendiri lima lembar gambar dinding raksasa sebagai latar, antara lain gambar Grand Canyon dan padang rumput dengan bunga daisy. Musik minus one (tanpa vokal) yang digunakan sudah direkam di Bogota oleh para pemusik Kolombia. Sound recordist-nya adalah Adam Kubik, yang kini gitaris band Koil, dan pengambil gambar Anggun Priambodo. Makanan dan minuman dihidangkan: bir dan makanan ringan memenuhi studio. Beberapa ”penyanyi”—dengan tanda kutip—melakukan aksinya separuh mabuk. ”Dibanding Istanbul dan Bogota, anak-anak Jakarta butuh pemanasan lama, tapi saat nyanyi paling heboh dan gokil,” kata Phill Collins melalui surat elektronik kepada Tempo.

Dan jadilah sebuah rekaman menggelitik tentang perjalanan musik populer yang dipisahkan oleh jarak ribuan kilometer dan perbedaan dua generasi itu. Bisa jadi, para remaja Jakarta dan Bandung ini meniru, tapi sungguh tak ada yang palsu dari penampilan mereka. Tak ada demam panggung, tak ada malu-malu. Bagi mereka yang pemalu bahkan lagu-lagu The Smith bisa menjadi sebuah katarsis.

Do you love me, like you used to
Oh, rubber ring, rubber ring, rubber ring….

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus