Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tentang Rambut Panjang Drupadi

Drupadi dipentaskan di Teater Jakarta. Bertolak dari relief di Candi Jago. Unsur rambut sebenarnya masih bisa dieksplorasi lebih jauh.

5 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Sri Astari, perupa, bentuk pintu gerbang surga itu seperti gelung. Gelung Jawa lengkap dengan tusuk konde dengan aneka bunga di pucuknya atau cunduk mentul. Dan instalasi gelung ciptaannya, yang diletakkan pas di titik tengah panggung, menjadi tempat klimaks yang menusuk saat adegan akhir drama tari Pulung Gelung Drupadi di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, dua pekan lalu. Perlahan Pandawa, yang semua mengenakan kain putih, masuk gerbang gelung. Pada saat bersamaan, Drupadi membasuh rambutnya yang panjang dengan darah Dursasana.

Pulung Gelung Drupadi, yang diproduseri Astari, sesungguhnya menjadi sebuah tafsir yang lain atas Drupadi. Tema Drupadi berulang kali dipentaskan dalam dunia seni pertunjukan kita. Koreografer Elly Luthan, misalnya, beberapa kali mengolah Drupadi. Ia bahkan menarikan sendiri sosok istri dari kelima Pandawa itu. Di kalangan teater, naskah Pandawa bermain dadu bukan sesuatu yang asing. Komposer Sapto Rahardjo (almarhum) bahkan pernah membuat komposisi Drupadi. Namun Astari dan kawan-kawan mengangkat sisi Drupadi yang belum tergarap, yaitu pada gelung-simbolitas kesucian rambut Drupadi.

Ide gelung tak datang tiba-tiba. Ini muncul dari Mitu M. Prie, arkeolog lulusan Universitas Indonesia pada 1984 yang banyak bergelut dengan aneka program berbasis kepurbakalaan. Ia pernah melakukan riset di Candi Jago. Sudah banyak penelitian dilakukan di Candi Jago, tapi harus diakui yang mengangkat tentang Drupadi jarang. Adegan Drupadi sendiri terdapat dalam relief Parthayadna di teras kedua candi, menyambung dengan relief Arjunawiwaha.

Candi Jago, kita tahu, adalah candi pendarmaan Wisnuwardhana. Di situ abu ayahanda Kertanegara, Raja Singosari, ditaburkan sebagai seorang sugata atau Buddhis. Di kaki candi yang terletak di Tumpang, Malang, itu terpahat relief fabel Tantri dan Kunjarakarna, kisah seorang raksasa yang ingin berinkarnasi menjadi manusia. Raksasa itu memohon kepada Vairochana, dewa tertinggi dalam sistem pantheon Buddha Mahayana, agar diperbolehkan menjenguk neraka. Lalu di teras ketiga terpahat relief Kresnayana.

Arsitektur Candi Jago mengalami perombakan besar-besaran pada zaman Majapahit saat pemerintahan Hayam Wuruk. Sosok Drupadi yang bergaya wayang diduga dibuat saat renovasi itu. "Memang relief Drupadi hanya ada di Candi Jago. Saya tak tahu mengapa," kata Profesor Dr Hariani Santiko, guru besar arkeologi UI. Bidang pahat relief Parthayadna sendiri selebar tiga jengkal, sedangkan relief lain hanya dua jengkal. "Kakawin Parthayadna itu panjang sekali. Tapi yang dipilih dipahatkan adalah adegan Drupadi. Tentu ini tidak sembarangan karena Candi Jago adalah candi ruwatan," ujar Mitu.

Bertolak dari relief Candi Jago, sesungguhnya penafsiran khas lokal terhadap Drupadi bisa menjadi tulang utama struktur dramaturgi. Dalam Mahabharata dikisahkan, saat Dursasana berusaha memblejeti Drupadi, kain yang dikenakan perempuan itu terulur terus-menerus tanpa putus. Sejatinya itu adalah pertolongan Kresna, Raja Dwarawati. Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, memiliki pengamatan menarik. Dia melihat yang muncul dalam tiga panil Parthayadna di Candi Jago itu menggambarkan kain sari Drupadi ditarik Dursasana hingga berputar seperti gasing. Drupadi telanjang. Ia lalu menjaga kehormatannya dengan menutup aurat atau tubuh dengan rambutnya yang panjang dan tebal atau asinjang rambut (berbusana rambut).

"Di relief itu Drupadi terlihat menutupi bagian payudaranya ketika kainnya ditarik Dursasana, tapi masih ada sampurnya," kata Hariani. Akan halnya menurut Dwi, Drupadi kemudian berbusana rambut. Tubuhnya ditutupi rambut. Ini mengingatkan kita bahwa, dalam sejarah lokal Jawa, ada juga kisah khas sosok perempuan telanjang yang hanya menutup badannya dengan rambut. Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggono, Raja Demak, misalnya, bertapa telanjang dan bersumpah tidak akan berpakaian. Dia menutupinya dengan rambut sebelum Arya Penangsang, yang membunuh suaminya, tewas.

Soal kesucian rambut karena menutupi ketelanjangan itu yang sesungguhnya bisa dieksplorasi menjadi kekuatan utama dramaturgi. Tapi, dalam drama tari berdurasi 1 jam 15 menit ini, unsur yang esensial dan khas dari Candi Jago itu malah kurang dominan. Memang set utama sudah menampilkan instalasi gelung. Tapi, andai dramaturgi secara berani menampilkan adegan-adegan imaji rambut panjang dalam koreografi-entah bagaimana caranya-dan fokusnya pada eksperimentasi rambut yang kudus, tentu pentas ini betul-betul menjadi tontonan lain.

Wasi Bantolo, sang sutradara, sepenuhnya menampilkan adegan demi adegan secara "normal". Dia tidak berani mengambil dan menciptakan adegan baru. Struktur adegan yang ditampilkannya sudah dikenal penonton. Adegan yang ditunggu-tunggu saat kain Drupadi terlepas, misalnya, tak mengejutkan. Dursasana menyambar rambut Drupadi dan kemudian menyambar kain yang melilit tubuh putri Raja Pancala itu. Tubuh Drupadi-diperankan Noviana Pertiwi-berputar dan hampir jatuh di pelukan Dursasana.

Toh, adegan pengocokan dadu-dadu yang disimbolkan dengan cara para penari berjumpalitan itu menarik. Bagian ini dibongkar-pasang cukup serius oleh Wasia dan Rahayu Supanggah, penata musik. "Bagaimana caranya agar adegan dadu ini menjadi dinamis dan hidup, ya, akhirnya begitu," ujar Rahayu. Secara umum, cara Wasi Bantolo menyusun blocking dan mengalirnya pergerakan adegan terlihat rapi. Tatkala tirai panggung yang bergambar relief Candi Jago perlahan-lahan tergulung ke atas, blocking para penari di panggung sudah mengenakkan. Sentuhan tata musik karya Rahayu Supanggah menjadi penolong pentas. Maestro dari Solo ini meracik musik pengiring dari gamelan, saksofon, slompret Ponorogo, hingga beras dan kacang di tampah menjadi bisa dinikmati.

Pementasan ini, bagaimanapun, terkesan tetap sebagai pertunjukan berbasis wayang wong yang dimodernkan. Apalagi Wasi memilih pendekatan prosaik daripada pendekatan puitik, yang berani mengambil angle sendiri seperti diutarakan tadi. Kecenderungan prosaik makin terasa saat Nungki Kusumastuti-sebagai Drupadi kedua-meluncurkan kalimat-kalimat mengenai ketelanjangan Drupadi dalam bahasa Indonesia, "Lakukanlah, kamu hanya bisa mempermalukanku, tetapi tak bisa menelanjangiku." Wasi Bantolo juga menyelipkan adegan humor Endah Laras yang menyinggung hajatan besar mencari pemimpin lewat pemilihan umum. "Ini Indonesia banget, ya, kalau di wayang ada adegan goro-goro," ujar Rahayu. Tapi, sungguh, selingan ini terasa klise karena banyolan-banyolan demikian kerap hadir di panggung lain, apalagi di televisi.

Lalu tiba-tiba, sret, dari atas diturunkan dua layar menampilkan video kemacetan Jakarta saat ratusan sepeda motor berdesakan di jalan Ibu Kota, semburan abu vulkanis entah di Merapi entah Sinabung, dan korban-korban banjir. Mungkin itu dimaksudkan sebagai simbol Drupadi, sang ibu bumi, berdukacita. Tapi sisipan itu seolah-olah dipaksakan. Semenjak munculnya drama-drama musikal, video mapping makin sering digunakan. Namun bila tidak digunakan dengan tepat malah bisa mengganggu mood. Untung pentas berakhir dengan adegan alegori Drupadi mengeramasi rambut tebalnya dengan darah Dursasana yang menyentuh.

Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti (Jakarta), Eko Widianto (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus