Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Sang Martir Musik

Dari musik klasik, Idris Sardi terpaksa banting setir ke pop. Situasi musik di Tanah Air tidak mampu menampung kreativitas dan bakatnya yang luar biasa.

5 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR dua abad lalu, dunia musik klasik di Indonesia melahirkan sebuah fenomena yang sangat menarik, yaitu munculnya istilah slave orchestra. Para pembesar dan tuan tanah kolonial Belanda, terutama di wilayah Jawa Barat, pada masa itu memiliki kelompok budak yang terlatih memainkan musik klasik dalam bentuk orkestra. Kelompok budak ini berasal dari pelbagai latar belakang etnis di Indonesia. Keterampilan mereka memainkan musik klasik sangat menonjol sehingga harga seorang budak pada masa itu ditentukan oleh seberapa terampil ia memainkan alat musik Barat.

Fenomena ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia, dari pelbagai latar belakang etnis mana pun, memiliki bakat yang luar biasa dalam memainkan musik klasik Barat. Setelah 200 tahun periode slave orchestra berakhir, bakat para pemusik kita tidak pernah berkurang. Pada awal masa kemerdekaan, negara kita bahkan mendirikan sekolah musik klasik di Yogyakarta dengan guru-guru yang didatangkan langsung dari Eropa Timur.

Idris Sardi, yang kita kenal sebagai maestro biola, merupakan produk dari sekolah musik klasik ini. Kakeknya adalah salah seorang anggota kelompok orkes gesek Kesultanan Yogyakarta, yang dipimpin Walter Spies, dirigen dan pelukis yang kemudian hijrah ke Bali.

Bakat Idris sebagai seorang pemusik berada di atas rata-rata pemusik klasik di Indonesia. Mungkin hanya beberapa gelintir orang di negeri ini yang memiliki bakat seperti dia. Dengan kata lain, Idris adalah seorang jenius dalam bermain biola. Kedalaman ekspresi jiwa yang terpancar dalam kualitas nada-nada gesekan biolanya sulit dicari bandingannya.

Yang menjadi masalah, seusai periode kolonial, kehidupan musik klasik di Indonesia kehilangan gairah. Pendidikan musik klasik di Tanah Air pada masa-masa awal kemerdekaan tampaknya hanya diperlukan untuk melatih seseorang terampil memainkan alat musik Barat yang diperlukan buat jenis musik lain. Sedangkan kehidupan musik klasik itu sendiri telah redup.

Faktor inilah yang membuat Idris Sardi banting setir ke dunia musik pop pada 1960-an. Dengan kemampuan teknis dan musikal Idris yang luar biasa, dunia musik pop tentu saja tidak memberi tantangan yang berarti. Dalam setiap pembicaraan dengan saya, ia selalu mengangkat tema kehidupan musik klasik.

Semakin antusias Idris membicarakan dunia musik klasik, semakin tampak kerinduannya yang sangat kuat untuk menjadi seorang solois biola klasik sebagaimana halnya maestro biola di negara lain. Seandainya dunia musik di Indonesia mampu mengangkat kehidupan musik klasik seperti halnya di negara Asia lain, Idris Sardi pasti akan berdiri sejajar dengan maestro biola seperti Chung Kyung-wha (Korea), Itzhak Perlman (Israel), dan Midori (Jepang).

Kehidupan musik Barat di Indonesia yang hingga saat ini masih bersifat medioker telah menjadikan Idris sebagai martir. Inilah yang membuat kepergian sang maestro pada 28 April lalu membuat kita terenyak dan sadar akan ketertinggalan dunia musik Indonesia dibandingkan dengan negara lain di Asia. Selain Idris Sardi, sebenarnya masih ada martir lain di negeri ini, seperti Amir Pasaribu, Elfa Secoria, Jazeed Djamin, dan Harry Roesli.

Mereka merupakan maestro musik Indonesia yang terjebak dalam situasi di Tanah Air yang tidak mampu menampung kreativitas dan bakat luar biasa mereka. Walhasil, kejeniusan mereka tidak membuat negeri ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan kepada dunia internasional. Andaikan mereka mendapat kesempatan maksimal, keharuman nama mereka akan sama nilainya dengan miliaran rupiah yang dikeluarkan negara untuk membangun citra bangsa di luar negeri.

Hal inilah yang tidak dapat dilihat oleh pelbagai rezim yang memerintah. Karena masalah ini, beberapa pemusik Indonesia yang memiliki kapasitas sebesar Idris Sardi akhirnya memilih tinggal di negara orang. Kepergian sang maestro semestinya membuka mata kita semua bahwa peran seorang seniman jenius bagi negara akan sangat besar jika mereka mendapat kesempatan maksimal untuk mengembangkan bakat dan kreativitasnya.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki tanggung jawab penting bagi pengembangan kualitas kehidupan musik di Indonesia. Saya berharap mereka dapat berperan lebih besar dalam mengangkat kehidupan musik Indonesia ke taraf yang lebih baik.

Jika para jenius dari generasi pemusik yang akan datang mendapat kesempatan maksimal, kita tidak perlu lagi repot-repot mematenkan produk budaya kita atau dengan mudah dapat diserbu oleh budaya musik picisan seperti K-Pop.

Franki Raden (Komponis)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus