DI satu bagian ujung Kota New York, di sebuah gedung yang tak lebih besar dari bangunan sekitarnya, kapitalisme Amerika sedang pusing. Di Gedung New York Stock Exchange itu -- yang terletak di tengah Wall Street dan Broad Street -- sebuah pasar jutaan dolar tiap hari kerja berlangsung. Di sanalah perusahaan-perusahaan besar menjual sebagian sahamnya ke khalayak ramai. Di sana orang banyak, secara langsung ataupun melalui dana pensiun mereka, misalnya, ikut serta "memiliki" maskapai-maskapai raksasa. Dan di sana pula, melalui para pialang yang ahli maupun kurang ahli, orang memperjual-belikan saham mereka. Dengan saraf yang tegang. Apalagi pekan lalu. Mulai Rabu pekan lalu itu, harga saham (stocks) pelbagai perusahaan yang dijual di sana merosot tajam. Gaungnya lalu merambat ke seluruh dunia, dan memang tak dapat dielakkan, karena jual-beli saham -- dan juga perusahaan-perusahaan itu sendiri -- tak lagi tersekat di satu negara. Ketar-ketir timbul, karena kemerosotan itu bahkan jauh lebih tajam ketimbang peristiwa tahun 1929. Kerontokan tahun 1929 itu banyak dikatakan (meskipun tak seluruhnya tepat) sebagai pangkal lahirnya depresi ekonomi dunia, sebuah masa yang sering dinamakan "zaman meleset" itu. Di negeri tempat pasar bebas berlaku, nilai saham yang melorot bukan saja sebuah cerita angka-angka. Ini juga cerita tentang manusia: khususnya ratusan ribu orang yang tidur tak enak. Sebab mereka -- tak jarang dengan hanya menduga dan setengah berjudi nasib -- mempertaruhkan uan mereka di saham-saham itu. Jika mereka punya kesempatan ke New York, di Gedung Pasar Saham itu mereka bisa memijit sebuah tombol, untuk melihat bagaimana keadaan keuangan sebuah maskapai. Di negeri lain mungkin lain pula caranya: cukup dengan papan tulis. Atau mereka bisa menengok dari sebelah atas, ke bawah, ke lantai tempat para pialang, para pesuruh, dan para pencatat sibuk memperdagangkan saham-saham itu, sampai pukul 16.00, ketika seorang petugas khusus muncul dan membunyikkan bel tanda harus berakhirnya semua transaksi. Di ruang transaksi itu suasana bisa riuh-gemuruh. Ada yang berteriak-teriak di corong telepon. Ada yang sampai menggebrak meja, saking sibuknya cari pembeli. Ada juga yang jatuh duduk seraya mengelus jidat, lantaran putus asa. Atau panik, lesu, dan frustrasi, campur aduk. Itu pun sebuah kisah manusia, yang berharap, berikhtiar, berhasil, atau kecewa. Pekan lalu itu kecewa lebih banyak terdengar. Memang satu bab yang mencemaskan, yang mungkin pertanda buruk tapi mungkin juga bukan. (Lihat: Ekonomi & Bisnis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini