Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebelum dan setelah tragedi bintaro

Sosok kereta api dan stasiunnya bagai sisa-sisa masa lampau. stasiun belum berubah sejak zaman kolonial. perkembangan kereta api di sini tertinggal. musibah bintaro dapat diambil hikmahnya.

31 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naik Kereta Api, tut... tut... tut..., siapa endak turut. Ke Bandung..., Surabaya.... Murah, aman, dan romantis, seperti tergambar dalam lagu kanak-kanak yang ngepop tahun lima puluhan, kereta api memang sarana angkutan umum yang populer. Dan penting. Lihat stasiunnya di berbagai kota besar di Sumatera dan Jawa. Seperti di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Arsitektur stasiun dibuat dalam gaya Eropa -- kala itu, jauh lebih megah dibanding terminal bandar udara sekalipun. Bangunan yang anggun, peron dengan manusia yang lalu lalang, tak gerah dan panas, rel yang mengguratkan garis silangsiur, alam desa yang melintas cepat di luar jendela, merupakan pengalaman khas bagi para penumpang kereta api. Banyak kisah yang terjalin dan dijalin di antara rangkaian gerbong dan peluit panjang, dari masa ke masa. Si "Kuda Besi" mulai mendengus di Indonesia lebih dari seratus tahun lalu. Bermula di Semarang, tepatnya 17 Juni 1864. Dan kereta api dinyatakan sah sebagai milik republik mulai 28 September 1945. Sampai usianya 42 tahun kini, sosok kereta api nyaris bagai sisa masa lampau. Sehingga, hampir tak banyak lagi yang bisa dijanjikan oleh alat angkutan ini, misalnya, dibanding kendaraan bermotor, yang beroleh ragam kemajuan di jalan raya yang makin canggih. Tak heran bila untuk melakukan perjalanan dengan kereta api dewasa ini, orang memerlukan tenaga, kesabaran, dan keberanian ekstra. Terlebih-lebih pada saat menjelang Lebaran dan tahun baru. Sampai rasanya martabat manusia terpaksa mengalah, semata-mata untuk bisa berebut sepetak tapak tempat mencecahkan kaki, agar bisa sampai di tujuan. Lebih gawat lagi, sudah dirasa cukup jika bisa nemplok di dinding gerbong. Memang, dibanding dengan angkutan bermotor di jalan raya, jalur angkutan kereta api terbilang lebih aman. Menurut data Ditlantas Polda Metro Jaya, misalnya, pada tahun 1986 terjadi 5.122 kecelakaan lalu lintas, 458 orang mati saat itu juga. Dan angka itu untuk tahun ini cenderung meningkat. Catatan sampai Juli lalu saja menunjukkan 451 nyawa sudah melayang sia-sia di jalanan. Bila akhirnya di jalur besi yang kaku itu sang maut tiba-tiba menyergap, orang memang sejenak terkesiap. Tapi musibah niscaya mengandung hikmah, kata orang. "Tragedi Bintaro", misalnya, jelas mencerminkan betapa kereta api merupakan bagian hajat hidup masyarakat -- dalam skala luas. Sekaligus juga mengisyaratkan masih hidupnya sikap setiakawan di masyarakat kita. Dan ini unsur peradaban yang, syukurlah, belum luntur, seperti sering dicemaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus