Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film yang diangkat dari kisah nyata Mohamedou Ould Slahi asal Mauritania, Afrika Barat.
Slahi dituduh sebagai teroris selepas peristiwa serangan 11 September 2001 di Amerika.
Slahi ditahan di Guantanamo selama 14 tahun tanpa dakwaan jelas.
BEGITU tragedi 9 September 2001, yang dikenal sebagai peristiwa 9/11, merangsek Amerika Serikat, negara itu langsung mendefinisikan ulang karakter dan posisinya di dunia. Tragedi tersebut membuat Amerika Serikat dan Inggris menjadi negara yang agresif, ganas, dan murka. Serangan teroris ini bukan hanya meruntuhkan menara kembar di New York dan merusak Pentagon serta mematikan ribuan nyawa. Bagi Amerika yang selama ini merasa digdaya, hal tersebut adalah penghinaan terbesar di abad baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyerbuan ke Afganistan, Irak, dan perburuan terhadap siapa saja yang tampak berwajah dan bernama Timur Tengah menjadikan Amerika negara yang mengerikan pada tahun-tahun pertama pasca-serangan teroris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, nama Mohamedou Ould Slahi, seorang lelaki asal Mauritania, adalah salah satu dari serombongan nama orang yang diburu. Menurut “informan”, yang banyak disiksa dulu, Slahi sangat berperan mengurus para teroris. Indikasinya, salah satu teroris yang merebut kursi pilot itu kenal dengannya. Indikasi lain: “Mengapa Usamah bin Ladin menghubungi teleponmu?”
Tahar Rahim dalam The Mauritian. STX Films
November 2001, nasib Slahi ditentukan. Dia ditahan, dibawa dari Mauritania ke Guantanamo, dan selanjutnya mengalami interogasi serta siksaan tak berkesudahan. Kisah Slahi inilah yang kemudian diangkat dalam film The Mauritanian.
Film The Mauritanian diangkat dari buku memoar karya Mohamedou Ould Slahi yang menggebrak dunia dan diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing. Buku ini, juga laporan investigatif The New Yorker, menguak apa yang terjadi di dalam penjara Guantánamo Amerika yang terletak di Kuba. Pengungkapan ini menjadi salah satu skandal besar Amerika. Sebagian besar dari kita tentu sudah membaca berita tentang Slahi yang ditangkap, disiksa, dan ditahan selama 14 tahun di Guantánamo tanpa kejelasan tuduhan atau “kesalahannya”.
Di dalam film, persis seperti yang juga diungkap The New Yorker, adalah Ramzi bin al-Shibh yang menunjuk nama Slahi sebagai yang bertanggung jawab merekrut orang-orang untuk Al-Qaidah. Ketika Slahi pindah ke Jerman, menurut analisis intel Amerika, konon dialah yang merekrut banyak orang. Tiga di antaranya terbukti pembajak dan teroris di pesawat tragedi 9/11.
Slahi berkeras tidak terlibat dalam penyerangan September 2001. Dia memang pernah dilatih di Afganistan untuk melawan invasi Soviet. Slahi (diperankan dengan baik oleh Tahar Rahim) memang pernah bertemu satu kali dengan Ramzi, tapi dia sama sekali tak ada urusan dengan tragedi 9/11.
Jodie Foster dalam The Mauritian. STX Films
Adalah pengacara senior Nancy Hollander (Jodie Foster) yang tertarik menjadi pembela Slahi. Bersama pengacara junior Teri Duncan (Shailene Woodley), dia melakukan riset sedalam mungkin dengan segala keterbatasan, karena dokumen terpenting proses interogasi para tahanan saat itu dinyatakan dokumen classified. Muncul pula tokoh Letnan Kolonel Stuart Couch (Benedict Cumberbatch) yang menjadi jaksa dalam kasus ini.
Pada paruh pertama film The Mauritanian, kita menyaksikan dua orang Amerika yang berlawanan, si idealis Nancy Hollander—Jodie Foster yang memperoleh penghargaan Golden Globe 2021 untuk perannya ini—melawan jaksa yang semula sangat ingin Slahi divonis hukuman mati.
Tentu saja sebaiknya Anda menyaksikan sendiri perjuangan sang pengacara Hollander maupun jaksa Couch untuk memperoleh catatan proses interogasi. Meski kita tahu bahwa Slahi akhirnya dibebaskan setelah 14 tahun, film ini jelas sangat mengkritik sikap dan pendirian negara Barat selepas tragedi 11 September 2001 yang menganggap siapa saja yang bernama Timur Tengah harus dicurigai.
Sutradara Macdonald jelas percaya bahwa Slahi tak bersalah dan terlibat dalam peristiwa September 2001. Slahi mengaku siksaan-siksaan berat dan ancaman bahwa ibunya akan dijebloskan ke Guantánamo adalah teknik interogasi yang tak dapat bisa diterima. Jaksa dan pengacara pun akhirnya menganggap kasus ini tidak layak diteruskan.
Sikap kritis sutradara Kevin Macdonald tentang keangkuhan Amerika ini, yang makin parah di masa pemerintahan Trump, adalah salah satu alasan film ini menjadi penting untuk mengimbangi film beraroma heroik macam Zero Dark Thirty (Kathryn Bigelow, 2012).
Benedict Cumberbatch dalam The Mauritinian. STX Films
Adegan-adegan siksaan dalam film ini terlalu berat untuk disaksikan, terutama adegan realis yang dicampur-baur dengan aroma surealis (saat para penyiksa mengenakan topeng berwajah binatang). Di satu bagian, Macdonald ingin memperlihatkan adegan siksaan yang begitu nyata dan nyaris membuat penonton merasa trauma menyaksikan metode kebrutalan para penyiksa. Di sisi lain, dia memutuskan agar siksaan itu perlu dibuat seperti adegan mimpi buruk.
Bagaimanapun film The Mauritanian bisa dianggap sebagai salah satu tanda penting bagaimana sebuah negara yang dianggap pemuja demokrasi itu ternyata menggunakan metode yang sama—mungkin lebih keji—dengan negara-negara diktator di negara-negara berkembang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo