Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAVANESE PERFORMANCES ON AN INDONESIAN STAGE: CONTESTING CULTURE, EMBRACING CHANGE
Penulis: Barbara Hatley
Penerbit: ASAA Southeast Asian Publication Series, NUS Press, Singapore 2008
MEMBACA buku ini, kita seolah melihat sebuah gulungan lukisan yang terbuka pelan-pelan. Satu per satu Barbara Hatley, penulis buku ini, menyingkap kekayaan cerita dan latar sejarah seni pertunjukan yang selama ini jarang diteliti: ketoprak.
Guru besar yang kini mengepalai Studi Asia dan Indonesia di Universitas Tasmania, Australia, ini meneliti ketoprak untuk tesis doktornya. Selama 30 tahun ia tenggelam dalam penelitian teater rakyat. Dan untuk menuliskannya, dia menghabiskan waktu hampir 10 tahun.
Hasilnya? Javanese Performances on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change adalah perjalanan yang membawa kita ke jantung kebudayaan Jawa. Sepanjang buku terasa benar Hatley membuat pembacanya merasa nyaman oleh rasa percaya bahwa apa yang dia uraikan terjamin otentisitasnya.
Hatley memulainya dengan perkenalan dia pada Yogyakarta, pada 1970-an. Saat itu ia terpikat pada ketoprak, jenis teater rakyat berbahasa Jawa, yang ceritanya digali dari kisah-kisah sejarah dan dongeng lokal.
Menurut Hatley, ketoprak dan beberapa jenis teater lain yang dikenal sebagai kesenian tradisional Jawa tak pernah statis, tapi mengalami evolusi mengikuti dinamika kehidupan politik dan pergerakan zaman. Kesenian ini sempat menjauh, lalu mendekat kembali pada basis budaya dan komunitas penontonnya—yaitu rakyat dari kelas menengah ke bawah di Yogyakarta dan sekitarnya.
Cerita ketoprak biasanya diangkat dari teks-teks sejarah legendaris. Namun wujudnya berubah-ubah, bergantung pada pengelola dan pembuat pertunjukannya.
Ambillah contoh lakon Ki Ageng Mangir, pemimpin dari Dusun Mangir, yang menurut dongeng sejarah dipilih sendiri oleh rakyatnya. Konon, ia menolak mengakui kekuasaan Kerajaan Mataram. Alkisah sang Raja, Prabu Senopati, setelah mendengar kabar tak menyenangkan ini, mengirim delegasi kerajaannya ke Mangir untuk memastikan berita yang dia dengar. Utusan Raja malah diserang dan dipukul mundur. Kembalilah mereka melaporkan perlakuan ini kepada sang Prabu.
Senopati pun meminta nasihat Patih Ki Ageng Mandaraka, yang mengusulkan kiat yang tak konvensional. Sang Prabu diminta mengirim putrinya, Pembayun, ke Mangir, dalam samaran sebagai penari. Pembayun menuruti perintah ayahnya. Dan dia berhasil mencuri hati sang pemimpin yang tak sudi tunduk kepada kekuasaan Prabu. Pendek cerita, mereka menikah. Setelah beberapa lama, Pembayun membuka identitas sesungguhnya. Dia meminta sang suami menjumpai Prabu Senopati dan mengakuinya sebagai raja.
Karena cinta kepada Pembayun, Ki Ageng Mangir menyerah. Pergilah mereka ke Mataram. Namun, tatkala menantunya datang bersujud, Prabu Senopati, yang mengikuti petunjuk patihnya, membunuh sang menantu. Hati Pembayun yang sedang mengandung hancur luluh.
Untuk memberikan pengakuan atas status Ki Ageng Mangir sebagai menantu, Senopati menguburnya di makam yang ditempatkan setengah di dalam dan setengah di luar dinding keraton. Makam itu menjadi tempat ziarah sampai sekarang.
Sebagai sebuah pertunjukan, alur cerita ketoprak bergantung pada suasana politik pada waktu itu. Pada masa sesudah kemerdekaan—pengujung 1950-an dan awal 1960-an—sisi-sisi populis dari Ki Ageng Mangir amat ditonjolkan. Tapi, dalam era Orde Baru, terutama apabila pergelarannya disponsori penguasa, pribadi Mangir tampil kasar dan pemberang. Prabu Senopati justru digambarkan sabar dan pengayom.
Buku ini memberikan gambaran jelas tentang situasi dan ciri-ciri teater kerakyatan yang tak ragu berinteraksi dengan penontonnya. Dalam masa krisis dan penuh trauma, teater semacam ini punya efek ”menyembuhkan” masyarakat yang mendukung keberadaannya.
Buku yang sangat layak dibaca.
Dewi Anggraeni (Australia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo