Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tinta cina, cat air, supidol dll

Pameran lukisan cat air hasil karya mochtar lubis, rusli dan popo iskandar di tim, jakarta. pameran bertiga anggota akademi jakarta ini tidaklah istimewa untuk dicatat. (sr)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENTUK bisa lahir lewat penghayatan visual, bisa juga hanya dari imajinasi. Dan biasanya, bagi para pelukis yang masih membutuhkan obyek sebagai titik tolak lukisannya, perpaduan antara yang dari imajinasi dan visuallah yang melahirkan bentuk-bentuk yang berhasil. Seorang pelukis yang merenungi bukit didepannya, tentulah tak bermaksud hanya menangkap bentuknya saja. Ia tentunya juga tak hanya tergerak oleh bentuk artistiknya. Tapi memang ada sesuatu yang terpancar dari bukit itu. Atau, pelukis itu memang sudah punya gagasan dalam kepalanya, dan membutuhkan bentuk untuk menitipkan gagasannya itu agar terkomunikasikan kepada orang lain. Soalnya, jika pelukis itu hanya tergerak oleh bentuk artistiknya saja, yang lahir tentulah semacam ilustrasi saja gambar-gambar yang mungkin indah, tapi yang lebih kurang hanya semacam hiasan. Contohnya sebagian lukisan cat air Mochtar Lubis, yang dipamerkan dalam pameran bertiganya kali ini, 7-12 Maret di TIM. Mochtar rupanya melukis karena hanya tergerak oleh keindahan pohon, awan dan gunung. Ada terasa, usaha untuk menuangkan bentuk-bentuk sebagaimana adanya. Hasilnya, lukisan-lukisan yang rasanya datang dari seorang yang baru belajar melukis. Tapi bagaimana mungkin, sebab Mochtar sudah belajar melukis sejak zaman Jepang. Masalahnya saya kira, kwa bentuk karya-karya Mochtar tak ada istimewanya. Sementara itu, gunung dan pohon-pohonnya taklah membawakan sesuatu ide apapun. Jadinya, yah, sekedar lukisan-lukisan hasil pengisi waktu senggang saja. Saya menduga, kegelisahan Mochtar menghadapi lukisannya yang tak serasi dengan hatinya, taklah sebesar kegelisahannya jika ia terbentur jalan buntu dalam menulis novel. Hanya Garis Hal ituakanjelas terasa jika kita bandingkan dengan karya-karya Rusli. Rusli, yang juga berangkat dari obyek, sama sekali tak terasa terikat lagi dengan obyeknya. Karena itu terasa adanya kebebasan menyusun bentuk. Bahkan merubah bentuk. Itulah kenapa "Pegunungan Wonosari Satu" sampai "Tiga"nya hanya berwujud garis-garis. Obyek bagi Rusli memang hanya sebagai jembatan. Maka garis-garisnya yang artistik itu, bermain dengan behasnya. Kalau awan hanya dilahirkan dengan garis spiral, kalau bukit ya, hanya garis yang patah-patah dan seterusnya. Singkatnya, masalah bagi Rusli ialah bagaimana pemandangan yang menariknya bisa diterjemahkannya dengan garis-garis yang khas Rusli. Menurut hemat saya, karya-karya Rusli yang dibuat dengan pena dan tinta cina dalam pameran ini, kurang berhasil. Di situ, garis-garis itu nampak keras dan kaku (yang memang merupakan karakter garis yang datang dari pena) yang ternyata belum berhasil dijinakkan Rusli. Bandingkan saja dengan garis-garisnya yang dibuatnya dengan supidol atau kwas betapa garis-garis itu menyusun dirinya dengan enak, membentuk satu komposisi dan memberikan satu suasana puitis. Sementara itu, Popo Iskandar agaknya lebih bertolak dari imajinasi. Bentuk-bentuknya lebih terasa berasal dari imajinasinya daripada perenungannya terhadap alam. Mungkin, memang pada mulanya berasal dari alam. Tapi telah sedemikian jauh berproses dalam diri Popo, dan lahir begitu bebasnya. Misalnya "Musim Hujan Dua" dan "Musim Hujan Tiga"nya. Pada kertas hanya kita lihat sapuan hitam kwas berbentuk spiral, bernuansa dengan enak dan menyatu dengan putih kertas. Popo lebih berusaha menangkap esensi suasana, jika dibanding dengan lusli yang agaknya masih sedikit mau bercerita, apalagi dibanding dengan karya-karya Mochtar yang masih mau "menterjemahkan secara lurus" bentuk alam. Popo Tak Percaya? Yang terasa kuat pada karya-karya Popo ialah adanya semacam dualisme. Jelas lukisannya masih bersosok alam baca saja juduljudulnya: "Tidur", "Bunga" atau "Bambu". Tapi kecenderungan untuk menggores garis atau menyapukan bentuk sebagai garis atau bentuk sendiri, tak kurang kuatnya. Akibatnya, jika pengenalan bentuk yang ingin diberikan Popo tidak klop dengan komposisi keseluruhnannya, akan terasa sekali menggangu. "Kucing" yang demikian kuat sapuan-sapuan hitam yang bersilangannya, tiba-tiba dibuyarkan oleh dua bentuk putih bulat telur pipih --yang saya yakin dimaksud sebagai mata kucing. Andai saja keterikatan Popo untuk memperkenalkan bentuk tak begitu kuat, ia akan menghadirkan karya-karya yang sangat kuat. Mengapa bentuk yang kita kenal harus ada? Ataukah Popo tak percaya bahwa orang pun bisa menikmati garis-garisnya, bentuk-bentuknya? Walhasil, pameran bertiga anggota Akademi Jakarta ini tidaklah istimewa untuk dicatat. Andai mereka ingin menekankan bahwa "sketsa tidak hanya mempunyai nilai sketsa saja, tapi juga telah mempunyai nilai seni lukis"--sebagaimana tercantum dalam Kalender Acara TIM bulan Maret--itu bukanlah hal baru. Di tahun limapuluhan, ketika Ipe Ma'aruf begitu produktif menghasilkan sketsa, Kusnadi pernah menulis bahua Sketsa itu bak gesekan biola tunggal dan lukisan bak orkestra lengkap. Maksulnya, sketsa juga bisa hadir sebagai karyajadi yang berdiri sendiri, tidak harus sebagai rencana-lukisan saja. Dan sejak itu senilukis Indonesia menerima sketsa sebagai karyajadi, setaraf dengan lukisan. Tentu, kecuali bagi mereka yang tak tahu, atau mereka yang mempunyai pendapat lain. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus