BENTUK bisa lahir lewat penghayatan visual, bisa juga hanya
dari imajinasi. Dan biasanya, bagi para pelukis yang masih
membutuhkan obyek sebagai titik tolak lukisannya, perpaduan
antara yang dari imajinasi dan visuallah yang melahirkan
bentuk-bentuk yang berhasil.
Seorang pelukis yang merenungi bukit didepannya, tentulah tak
bermaksud hanya menangkap bentuknya saja. Ia tentunya juga tak
hanya tergerak oleh bentuk artistiknya. Tapi memang ada sesuatu
yang terpancar dari bukit itu. Atau, pelukis itu memang sudah
punya gagasan dalam kepalanya, dan membutuhkan bentuk untuk
menitipkan gagasannya itu agar terkomunikasikan kepada orang
lain.
Soalnya, jika pelukis itu hanya tergerak oleh bentuk artistiknya
saja, yang lahir tentulah semacam ilustrasi saja gambar-gambar
yang mungkin indah, tapi yang lebih kurang hanya semacam hiasan.
Contohnya sebagian lukisan cat air Mochtar Lubis, yang
dipamerkan dalam pameran bertiganya kali ini, 7-12 Maret di TIM.
Mochtar rupanya melukis karena hanya tergerak oleh keindahan
pohon, awan dan gunung. Ada terasa, usaha untuk menuangkan
bentuk-bentuk sebagaimana adanya. Hasilnya, lukisan-lukisan yang
rasanya datang dari seorang yang baru belajar melukis. Tapi
bagaimana mungkin, sebab Mochtar sudah belajar melukis sejak
zaman Jepang. Masalahnya saya kira, kwa bentuk karya-karya
Mochtar tak ada istimewanya. Sementara itu, gunung dan
pohon-pohonnya taklah membawakan sesuatu ide apapun. Jadinya,
yah, sekedar lukisan-lukisan hasil pengisi waktu senggang saja.
Saya menduga, kegelisahan Mochtar menghadapi lukisannya yang tak
serasi dengan hatinya, taklah sebesar kegelisahannya jika ia
terbentur jalan buntu dalam menulis novel.
Hanya Garis
Hal ituakanjelas terasa jika kita bandingkan dengan karya-karya
Rusli. Rusli, yang juga berangkat dari obyek, sama sekali tak
terasa terikat lagi dengan obyeknya. Karena itu terasa adanya
kebebasan menyusun bentuk. Bahkan merubah bentuk. Itulah kenapa
"Pegunungan Wonosari Satu" sampai "Tiga"nya hanya berwujud
garis-garis. Obyek bagi Rusli memang hanya sebagai jembatan.
Maka garis-garisnya yang artistik itu, bermain dengan behasnya.
Kalau awan hanya dilahirkan dengan garis spiral, kalau bukit ya,
hanya garis yang patah-patah dan seterusnya. Singkatnya, masalah
bagi Rusli ialah bagaimana pemandangan yang menariknya bisa
diterjemahkannya dengan garis-garis yang khas Rusli.
Menurut hemat saya, karya-karya Rusli yang dibuat dengan pena
dan tinta cina dalam pameran ini, kurang berhasil. Di situ,
garis-garis itu nampak keras dan kaku (yang memang merupakan
karakter garis yang datang dari pena) yang ternyata belum
berhasil dijinakkan Rusli. Bandingkan saja dengan garis-garisnya
yang dibuatnya dengan supidol atau kwas betapa garis-garis itu
menyusun dirinya dengan enak, membentuk satu komposisi dan
memberikan satu suasana puitis.
Sementara itu, Popo Iskandar agaknya lebih bertolak dari
imajinasi. Bentuk-bentuknya lebih terasa berasal dari
imajinasinya daripada perenungannya terhadap alam. Mungkin,
memang pada mulanya berasal dari alam. Tapi telah sedemikian
jauh berproses dalam diri Popo, dan lahir begitu bebasnya.
Misalnya "Musim Hujan Dua" dan "Musim Hujan Tiga"nya. Pada
kertas hanya kita lihat sapuan hitam kwas berbentuk spiral,
bernuansa dengan enak dan menyatu dengan putih kertas. Popo
lebih berusaha menangkap esensi suasana, jika dibanding dengan
lusli yang agaknya masih sedikit mau bercerita, apalagi
dibanding dengan karya-karya Mochtar yang masih mau
"menterjemahkan secara lurus" bentuk alam.
Popo Tak Percaya?
Yang terasa kuat pada karya-karya Popo ialah adanya semacam
dualisme. Jelas lukisannya masih bersosok alam baca saja
juduljudulnya: "Tidur", "Bunga" atau "Bambu". Tapi kecenderungan
untuk menggores garis atau menyapukan bentuk sebagai garis atau
bentuk sendiri, tak kurang kuatnya. Akibatnya, jika pengenalan
bentuk yang ingin diberikan Popo tidak klop dengan komposisi
keseluruhnannya, akan terasa sekali menggangu. "Kucing" yang
demikian kuat sapuan-sapuan hitam yang bersilangannya, tiba-tiba
dibuyarkan oleh dua bentuk putih bulat telur pipih --yang saya
yakin dimaksud sebagai mata kucing. Andai saja keterikatan Popo
untuk memperkenalkan bentuk tak begitu kuat, ia akan
menghadirkan karya-karya yang sangat kuat. Mengapa bentuk yang
kita kenal harus ada? Ataukah Popo tak percaya bahwa orang pun
bisa menikmati garis-garisnya, bentuk-bentuknya?
Walhasil, pameran bertiga anggota Akademi Jakarta ini tidaklah
istimewa untuk dicatat. Andai mereka ingin menekankan bahwa
"sketsa tidak hanya mempunyai nilai sketsa saja, tapi juga telah
mempunyai nilai seni lukis"--sebagaimana tercantum dalam
Kalender Acara TIM bulan Maret--itu bukanlah hal baru. Di tahun
limapuluhan, ketika Ipe Ma'aruf begitu produktif menghasilkan
sketsa, Kusnadi pernah menulis bahua Sketsa itu bak gesekan
biola tunggal dan lukisan bak orkestra lengkap. Maksulnya,
sketsa juga bisa hadir sebagai karyajadi yang berdiri sendiri,
tidak harus sebagai rencana-lukisan saja. Dan sejak itu
senilukis Indonesia menerima sketsa sebagai karyajadi, setaraf
dengan lukisan. Tentu, kecuali bagi mereka yang tak tahu, atau
mereka yang mempunyai pendapat lain.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini