Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Soal Skripsi, Lagi

Pendapat mengenai perlu tidaknya penulisan skripsi bagi seorang calon sarjana. ketimpangan yang lulus dan yang masuk perguruan tinggi karena perbandingan mahasiswa & tenaga pengajar tidak seimbang. (pdk)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA waktu yang lalu Menteri P&K Sjarif Thajeb melontarkan gagasan untuk meniadakan penulisan skripsi. Ia cemas melihat ketimpangan perbandingan antara yang lulus dan masuk perguruan tinggi. Yang lulus saban tahun hanya 5% sedangkan indeks kenaikan lulusan SLA mencapai 15%. Menurut anggapannya, ketimpangan itu terjadi karena banyaknya mahasiswa yang tak lulus, karena tidak menyelesaikan skripsi. Gagasan itu mendapat berbagai macam tanggapan. Harsya W. Bachtiar, guru besar sosiologi Universitas Indonesia misalnya mengatakan: "Skripsi perlu bagi mereka yang nantinya setelah tamat akan bekerja dalam lapangan ilmu pengetahuan atau bagi mereka yang ingin mengikuti program pendidikan doktor. Tapi bagi mereka yang akan bekerja di lapangan yang bukan ilmu pengetahuan, bisa saja tak diharuskan menulis skripsi. Sebagai penggantinya mereka diharuskan mengikuti kuliah tambahan." Perlu tidaknya skripsi itu kemudian masuk pula dalam salah satu mata acara pembicaraan dalam rapat rektor se-Indonesia Pebruari yang lalu. "Masih belum ada keputusan perlu tidaknya skripsi. Sebab ada orang yang menganggap perlu, ada pula yang tidak. Masing-masing dengan alasan," jawab Sjarif Thajeb terhadap pertanyaan pers setelah pertemuan rektor tersebut. Tanggal 7 Maret yang lalu, soal skripsi itu muncul lagi. Dibicarakan di kalangan khalayak ramai di Teater Arena TIM, Jakarta. Prof Dr Slamet Iman Santoso, dalam ceramahnya tidak secara langsung memberikan jawaban ya atau tidak. Dia terlebih dulu menjelaskan bahwa dalam sistim pendidikan sekarang belum ada syllabus berdasarkan perhitungan yang cermat mengenai perbandingan tenaga guru dan mahasiswa. Syllabus dan kelengkapannya itu, katanya, seharusnya menjadi standar minimal dari mana kwalitas dan kestabilan pendidikan bisa diperbaiki. "Bilamana dalam standar minimal tersebut ditetapkan adanya skripsi maka sebenarnya dia merupakan hasil terakhir dari rangkaian latihan untuk menuangkan pemikiran yang ada dalam otak," katanya. Ia melihat kemacetan arus lulus dari perguruan tinggi disebabkan oleh perbandingan yang tidak setimpal antara mahasiswa dan tenaga pengajar. Kepada hadirin yang memadati bangku Teater Arena, guru besar psikologi UI itu mengatakan "Ketentuan yang gamblang, jelas dan tuntas mengenai perbandingan itu tidak ada. Juga tidak pernah dipertanyakan berapakah beban yang dapat dipikul oleh seorang tenaga pengajar dalam satu mata pelajaran. Dasar dari semua tingkat pendidikan harus menjawab pertanyaan tentang beban maksimal ini." Menurut Slamet pertanyaan tersebut belum pernak dijawab secara resmi, belum pernah dijadikan acara dalam seminar dan belum pernah dipertanyakan mahasiswa. "Semua berjalan secara halus dan tanpa suara. Padahal saya pernah menjumpai seorang pengajar pada tiga tempat dalam satu mata pelajaran. Dan jumlah mahasiswa pada tiga perguruan tinggi tersebut berjumlah 150 orang," katanya serius. "Saya mohon saudara membayangkan satu orang memberikan kuliah pada 150 mahasiswa. Kemudian harus mengadakan ujian atau ujian ulangan. Kemudian mengadakan bimbingan pada 150 skripsi yang satu sama lain jangan terlalu mirip," sambungnya pula. Pintar, Jujur .... Sejak di bangku SLA latihan membuat karangan ilmu pengetahuan sesungguhnya sudah bisa dimulai. Murid tidak hanya cukup dilatih untuk menulis karangan seperti cerita pendek ataupun puisi. Di tingkat universitas latihan tersebut harus dimulai pada tingkat satu dilanjutkan pada tingkat dua. Pada permulaan tingkat tiga sudah harus ditetapkan isi pokok skripsi untuk mencapai tingkat sarjana muda. Sejak saat ini bimbingan secara teratur harus dilaksanakan sampai skripsi selesai dan dapat diterima. Tentang siapa yang harus bertanggungjawab terhadap skripsi, Slamet menyampaikan pendapat yang agak mengejutkan. "Sangat keliru kalau skripsi itu menjadi tanggungjawab mahasiswa. Pengumpulan bahannya memang jadi tanggungjawab mereka tapi mutunya tanggungjawab pembimbing. Jadi sebenarnya penulisan skripsi merupakan ujian untuk pembimbing. Untuk membuktikan benarkah ia seorang guru yang menguasai ilmu pengetahuan. Dan benarkah dia seorang guru yang bisa melahirkan seorang sarjana. Inilah rangkaian ukuran moral dalam rangka pendidikan yang perlu kita hadapi dengan jujur, kalau kita mau menghasilkan sarjana yang pintar, jujur berdisiplin dn mempunyai kehormatan diri." Pada akhir ceramahnya Slamet Iman Santoso beranggapan skripsi sebagai akhir dari pendidikan sangat perlu, tapi soalnya tergantung pada tiap lapangan ilmu pengetahuan. Dalam lapangan kedokteran saja, katanya, harus ada pemisahan. Untuk yang berhubungan dengan klinik seorang calon dokter memang tidak diharuskan membuat skripsi, sebab hasil pemeriksaannya sudah dituangkan dalam "status" penderita. Tapi kalau membicarakan soal penyebaran penyakit, sudah barang tentu diperlukan bahan yang lebih luas, karena itu skripsi diperlukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus