BEBERAPA waktu yang lalu Menteri P&K Sjarif Thajeb melontarkan
gagasan untuk meniadakan penulisan skripsi. Ia cemas melihat
ketimpangan perbandingan antara yang lulus dan masuk perguruan
tinggi. Yang lulus saban tahun hanya 5% sedangkan indeks
kenaikan lulusan SLA mencapai 15%. Menurut anggapannya,
ketimpangan itu terjadi karena banyaknya mahasiswa yang tak
lulus, karena tidak menyelesaikan skripsi.
Gagasan itu mendapat berbagai macam tanggapan. Harsya W.
Bachtiar, guru besar sosiologi Universitas Indonesia misalnya
mengatakan: "Skripsi perlu bagi mereka yang nantinya setelah
tamat akan bekerja dalam lapangan ilmu pengetahuan atau bagi
mereka yang ingin mengikuti program pendidikan doktor. Tapi bagi
mereka yang akan bekerja di lapangan yang bukan ilmu
pengetahuan, bisa saja tak diharuskan menulis skripsi. Sebagai
penggantinya mereka diharuskan mengikuti kuliah tambahan."
Perlu tidaknya skripsi itu kemudian masuk pula dalam salah satu
mata acara pembicaraan dalam rapat rektor se-Indonesia Pebruari
yang lalu. "Masih belum ada keputusan perlu tidaknya skripsi.
Sebab ada orang yang menganggap perlu, ada pula yang tidak.
Masing-masing dengan alasan," jawab Sjarif Thajeb terhadap
pertanyaan pers setelah pertemuan rektor tersebut.
Tanggal 7 Maret yang lalu, soal skripsi itu muncul lagi.
Dibicarakan di kalangan khalayak ramai di Teater Arena TIM,
Jakarta. Prof Dr Slamet Iman Santoso, dalam ceramahnya tidak
secara langsung memberikan jawaban ya atau tidak. Dia terlebih
dulu menjelaskan bahwa dalam sistim pendidikan sekarang belum
ada syllabus berdasarkan perhitungan yang cermat mengenai
perbandingan tenaga guru dan mahasiswa. Syllabus dan
kelengkapannya itu, katanya, seharusnya menjadi standar minimal
dari mana kwalitas dan kestabilan pendidikan bisa diperbaiki.
"Bilamana dalam standar minimal tersebut ditetapkan adanya
skripsi maka sebenarnya dia merupakan hasil terakhir dari
rangkaian latihan untuk menuangkan pemikiran yang ada dalam
otak," katanya.
Ia melihat kemacetan arus lulus dari perguruan tinggi disebabkan
oleh perbandingan yang tidak setimpal antara mahasiswa dan
tenaga pengajar. Kepada hadirin yang memadati bangku Teater
Arena, guru besar psikologi UI itu mengatakan "Ketentuan yang
gamblang, jelas dan tuntas mengenai perbandingan itu tidak ada.
Juga tidak pernah dipertanyakan berapakah beban yang dapat
dipikul oleh seorang tenaga pengajar dalam satu mata pelajaran.
Dasar dari semua tingkat pendidikan harus menjawab pertanyaan
tentang beban maksimal ini."
Menurut Slamet pertanyaan tersebut belum pernak dijawab secara
resmi, belum pernah dijadikan acara dalam seminar dan belum
pernah dipertanyakan mahasiswa. "Semua berjalan secara halus dan
tanpa suara. Padahal saya pernah menjumpai seorang pengajar pada
tiga tempat dalam satu mata pelajaran. Dan jumlah mahasiswa pada
tiga perguruan tinggi tersebut berjumlah 150 orang," katanya
serius. "Saya mohon saudara membayangkan satu orang memberikan
kuliah pada 150 mahasiswa. Kemudian harus mengadakan ujian atau
ujian ulangan. Kemudian mengadakan bimbingan pada 150 skripsi
yang satu sama lain jangan terlalu mirip," sambungnya pula.
Pintar, Jujur ....
Sejak di bangku SLA latihan membuat karangan ilmu pengetahuan
sesungguhnya sudah bisa dimulai. Murid tidak hanya cukup dilatih
untuk menulis karangan seperti cerita pendek ataupun puisi. Di
tingkat universitas latihan tersebut harus dimulai pada tingkat
satu dilanjutkan pada tingkat dua. Pada permulaan tingkat tiga
sudah harus ditetapkan isi pokok skripsi untuk mencapai tingkat
sarjana muda. Sejak saat ini bimbingan secara teratur harus
dilaksanakan sampai skripsi selesai dan dapat diterima.
Tentang siapa yang harus bertanggungjawab terhadap skripsi,
Slamet menyampaikan pendapat yang agak mengejutkan. "Sangat
keliru kalau skripsi itu menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Pengumpulan bahannya memang jadi tanggungjawab mereka tapi
mutunya tanggungjawab pembimbing. Jadi sebenarnya penulisan
skripsi merupakan ujian untuk pembimbing. Untuk membuktikan
benarkah ia seorang guru yang menguasai ilmu pengetahuan. Dan
benarkah dia seorang guru yang bisa melahirkan seorang sarjana.
Inilah rangkaian ukuran moral dalam rangka pendidikan yang perlu
kita hadapi dengan jujur, kalau kita mau menghasilkan sarjana
yang pintar, jujur berdisiplin dn mempunyai kehormatan diri."
Pada akhir ceramahnya Slamet Iman Santoso beranggapan skripsi
sebagai akhir dari pendidikan sangat perlu, tapi soalnya
tergantung pada tiap lapangan ilmu pengetahuan. Dalam lapangan
kedokteran saja, katanya, harus ada pemisahan. Untuk yang
berhubungan dengan klinik seorang calon dokter memang tidak
diharuskan membuat skripsi, sebab hasil pemeriksaannya sudah
dituangkan dalam "status" penderita. Tapi kalau membicarakan
soal penyebaran penyakit, sudah barang tentu diperlukan bahan
yang lebih luas, karena itu skripsi diperlukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini