EH, apa petai di Sukabumi masih banyak?," tanyanya, "wah, di
sini petai mahal. Satu batang mau 1 « dolar." Yang berkata itu
adalah Yu Kam Seng, Tionghoa asal Indonesia yang kini menetap di
Kowloon, Hongkong. Sekitar tahun 60-an, Kam Seng bersama puluhan
ribu orang Tionghoa perantauan yang tersebar di pelbagai tempat
di Indonesia, pulang mudik ke negeri leluhur, Tiongkok. Hal ini
terjadi setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan PP10, yang
melarang kegiatan para pedagang Cina asing di desa-desa.
Waktu itu, tidak kurang dari 119 ribu Cina perantauan telah
mendaftarkan diri untuk pulang ke negeri. Ini berarti 40% dari
orang Cina yang ada di Indonesia, menyatakan menolak
kewarganegaraan Indonesia. Sebagian besar karena terhimbau oleh
suara Radio Peking (waktu itu) yang menyerukan agar para hoakiao
kembali "ke pelukan hangat negeri leluhur." Karena di sana
tersedia segalanya dan diberi kesempatan terbaik untuk "mengabdi
demi pembangunan sosialis."
Seperti Kere
"Dulunya, saya nggak mau diajak kembali ke negeri asal leluhur
yaitu RRC," kata Peng Moi, "tapi suami saya mendesak terus."
Peng Moi baru tiga bulan ini bisa meninggalkan RRC dan kini
tinggal di Tsuen Wen, Kowloon. Suaminya, tadinya bekerja di
sebuah pabrik di bilangan Petojo, Jakarta, sebagai tukang bubut.
A Siong--demikian nama sang suami--mempunyai maksud agar ketiga
anaknya mendapat pendidikan yang baik dan dia memutuskan untuk
ing-ing pulang ke Negeri Cina Apalagi untuk berangkat pulang
naik kapal tanpa harus membayar tiket. Kapan lagi ada kesempatan
balik ke negeri leluhur secara gratis begitu. Maka pulanglah A
Siong bersama Peng Moi dan ketiga anak mereka.
Rupanya Peng Moi tidak kerasan di tanah leluhurnya ini. Dia
rupanya juga cukup menyesal. Katanya: "Lihat saja muka saya.
'Kan seperti orang berumur 60-an, padahal umur saya baru 47
tahun." Mereka kemudian berusaha keluar lagi dari RRC. "Untuk
mendapat izin keluar susah," kata Peng Moi, "saya saja menunggu
sampai 3 tahun." Tinggal lebih dari 10 tahun di RRC serasa 10
abad bagi A Siong dan keluarganya. Kini dia eelah menetap di
Kowloon. Dua dari tiga anaknya turut serta, sedangkan anaknya
yang tertua, sudah menikah dan tinggal di propinsi lain, sedang
menunggu izin keluar dari RRC.
Ibu dan saudara-saudara Peng Moi sendiri hingga kini masih di
Jakarta. "Abang saya masih di Jakarta," ujar Peng Moi,
"sekarang, dia senanglah. Sebab dulu naik sepeda sekarang sudah
punya mobil." Kabar tentang abangnya yang sudah kaya ini tentu
dia dengar dari teman senasibnya yang tinggal di Kowloon.
Menurut Peng Moi sendiri. dia tak pernah menerima surat dari
abangnya ini. "Mungkin dia takut tulis surat," ujar Peng Moi.
Lain lagi dengan A Chiang. Dua tahun sebelum A Chiang beserta
ibunya dan 6 orang saudaranya hijrah ke Tiongkok, ayahnya
meninggal. Janda dengan anak banyak itu kuatir akan masa depan
anak-anaknya. Dan diboyonglah ketujuh anak-anaknya bersama
rombongan hoakiao lainnya. A Chiang sendiri waktu itu berusia 6
tahun. Dua tahun yang lalu, A Chiang hersama ibu, saudara dan
ipar-iparnya berhasil keluar dari RRC. "Waktu itu kami memasuki
Hongkong seperti kere, " kata A Chiang. Artinya, mereka cuma
berhasil membawa badan saja tanpa perlengkapan atau kekayaan
apapun. "Harta kami satu-satunya, cuma baju yang melekat di
badan," tambah A Chiang.
Muhsin dan Titiek Sandhora
A Chiang yang masih fasih berbahasa Indonesia ini tak tahu
menulis huruf Latin. Ketika berusia 23 tahun, dia bekerja
sebagai supir. Ketika tinggal di Fukkien (RRC), dengan
mencuri-curi, A Chiang belajar mengemudikan truk. "Di Hongkong,
tak sulit untuk cari makan," kata A Chiang, "asal mau kerja
kasar." Dari kepandaiannya menyetir mobil ini A Chiang diterima
jadi supir. Kerjanya mulai jam 06.00 pagi sampai jam 10.00
malam. Upahnya sekitar HK$ 1.200, kira-kira Rp 108.000.
Gaji ini lumayan besarnya kalau dibandingkan dengan upah kerja
di RRC. Nio, saudara perempuan A Chiang bekerja di daerah
pertanian, cum a mendapat gaji 10 Yuan sebulan. Satu Yuan
(Remimbi) sama dengan Rp 246, kurang lebih. "Makan enak di sana,
tak bisalah," ujar Nio.
Dan memang, yang paling berat hidup di RRC ialah tidak bisa
makan enak. Apalagi bahasa sehan-hari tidak mereka fahami. Para
hoakiao biasanya cuma mengerti Bahasa Mandarin, sementara
penduduk RRC sebagian besar berbicara Canton.
Kini sekitar 10.000 orang Cina perantauan kelahiran Indonesia
berada di Hongkong. Cina-Cina yang kembali ke RRC (dan kemudian
keluar lagi untuk menetap di Hongkong) kebanyakan tak punya
keahlian kecuali berdagang. Tentu saja mereka sulit menyesuaikan
diri dengan hidup yang keras dan juga kering. Kecuali generasi
muda yang kemudian menonjol misalnya seperti Hou Chia Chang
atau Tang Hsien Hu, duaduanya asal Indonesia dan jadi jagoan
badminton.
"Di sana, susahlah," ujar A Seng, 28 tahun, yang sekarang
bekerja sebagai penjaga keamanan salah satu bank di Hongkong.
"Nggak bisa makan kenyang, susahlah," ulangnya lagi: "ngomong
juga susah, banyak mala-mata." Sama seperti Yu Kam Seng, A Seng
juga rindu petai. "Memang susah," seperti yang dikatakan oleh
Peng Moi, "satu bulan di sana (maksudnya RRC) kita hanya
kebagian « hati daging babi."
Kehidupan mereka di Hongkong memang lebih lumayan ketimbang
ketika mereka di RRC. "Asal mau kerja apa saja dan tahan kerja
keras," ulang A Chiang, "kita bisa hidup." Dia sendiri kini
memiliki sebuah toko di daerah T suen Wen, Kowloon. Nostalgia
terhadap Indonesia belum juga hilang rupanya, karena dia pasang
merek "Toko Indonesia" untuk nama tokonya. Yang dijual
macam-macam. Mulai dari petai, jamu, segala macam rempah sampai
kaset lagu-lagu keroncong. Biasanya lagu Indonesia yang berbau
Mandarin seperti lagunya Muhsin dan Titiek Sandhora.
Karena itu, banyak yang mengidamkan kembali ke Indonesia. A Seng
misalnya, sekarang dia mulai menabung. Siang dia bekerja sebagai
penjaga keamanan dan malam selama 2 jam bekerja membersihkan
karpet di rumah-rumah. Sebulannya A Seng bisa mengumpulkan
sekitar HK$ 2.200."Untuk bisa ke Indonesia, kita harus punya
uang HK$ 30.000," kata A Seng, "dan ya, masuk cara gelaplah."
Apa tidak takut ketangkap kalau nanti kembali ke Indonesia?
Dengan nada optimis, A Seng menjawab lagi: "Lihat saja, mana ada
yang dipulangkan ke Hongkong setelah ditangkap di Indonesia?".
Dia kemudian menyebutkan sebuah biro pariwisata yang biasa
mengurus ini semua, termasuk paspor gelap segala. Biro
pariwisata ini memang khusus membuat segala keperluan bagi
hoakiao yang ingin kembali ke Indonesia secara gelap.
Tapi tidak semua Cina perantauan ingin kembali ke Indonesia
mengikuti cara A Seng. "Saya lebih baik bersabar menunggu 10
tahun lagi," kata A Chiang, "sebab kalau sudah dapat paspor
Inggeris, 'kan saya bisa jalan-jalan ke Indonesia." Menurut
peraturan di Hongkong, mereka yang sudah bermukim di Hongkong
dalam jumlah tahun tertentu, bisa mengajukan permohonan sebagai
warga negara Inggeris.
Bisa tidaknya Cina kelahiran Indonesia dan berpaspor Inggeris
kembali ke Indonesia, masih merupakan tanda tanya bagi mereka.
Mungkin kalau sekedar jalan-jalan bisa. Tapi kalau untuk menetap
kembali, entahlah. Tapi F. Liem--juga pernilik toko yang menjual
bahan makanan Indonesia -- bercerita bahwa hampir setiap tahun
dia bisa mudik ke Indonesia untuk menengok orangtuanya. Liem
sudah 15 tahun tinggal di Hongkong. Dia meninggalkan Indonesia
menuju RRC karena ajakan teman-temannya untuk melanjutkan
sekolah di negeri leluhur. Dia hanya tinggal di Canton 2 tahun
saja, kemudian menetap di Hongkong.
Tapi pengalaman Nyonya Chia lain lagi. Pemegang paspor Inggeris
ini sudah lama menanti visa untuk berkunjung ke Indonesia. Belum
dapat juga Dia ingin sekali menengok keluarganya di Cirebon.
"Apa betul Cina kelahiran Indonesia tak boleh masuk lagi ke
Indonesia?" tanyanya. Ketika dia ditawarkan untuk masuk secara
gelap seperti rencana A Seng. Nyonya Chia menolak. Ujarnya:
"Saya sih mau yang jujur saja."
Bagi pemerintah Hongkong, masuknya imigran dari RRC ini rupanya
sudah bukan merupakan persoalan besar lagi. Awal tahun 60-an,
ratusan ribu imigran dari RRC masuk Hongkong. Hingga kini, arus
tersebut belum juga kering-kering. Syaratnya mudah saja, mereka
bisa masuk dan tinggal di Hongkong asal ada surat izin keluar
dari pemerintah RRC. Alasan mereka biasanya ingin bertemu dengan
orangtua atau keluarga. Tak jadi soal apakah orang yang ingin
menengok orangtua itu sendiri umurnya sudah sekitar 70-an.
Seperti ibunya A Chiang atau A Siong, yang sekarang berumur 60
tahun.
Setiba di Hongkong, biasanya mereka terus mengurus kartu ID
(Identity Card) semacam KTP di sini. Dengan itu mereka bisa
menetap untuk- beberapa tahun. Setelah menetap selama 7 tahun
kalau berkelakuan baik, biasanya dengan mudah mereka bisa
mengurus apa yang disebut certificate. Dengan memiliki ini,
mereka sebetulnya sudah bisa mengadakan perjalanan ke luar
negeri. Kecuali Indonesia, barangkali. Beberapa tahun setelah
memiliki CI (sertificate), baru mereka bisa mengurus paspor.
Sebagian besar Hoakiao asal Indonesia yang kini berada di
Hongkong, kangen untuk kembali ke Indonesia. Karena mereka masih
punya saudara di repubiik ini dan juga alam Indonesia tidak
seganas alam Hongkong. Perkumpulan para hoakiao asal Indonesia
memang kompak sekali. Biasanya mereka saling tolong-menolong.
Pada hari-hari Sabtu dan Minggu restoran-restoran yang menjual
makanan Indonesia penuh oleh orang-orang Hoakiao ini. Tak
jarang, ada terdengar logat bahasa Jawa yang masih tebal, "Owe
lahir di Semarang," kata Chong. Kini laki-laki yang masih bisa
berbahasa Jawa ini membuka restoran Nan Yang di bilangan Kwun
Tong. Tapi Chong tidak mengendorkan hasratnya untuk kembali
tinggal di Indonesia. Mungkin nanti, kalau ia sudah jadi cukong
besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini