Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Nostalgia petai sukabumi

Kisah hoakiao asal indonesia yang kembali ke rrc dan tidak kerasan. mereka kemudian menetap di hongkong. banyak diantara mereka yang ingin kembali ke indonesia bila saat yang baik sudah tiba. (ils)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Nostalgia petai sukabumi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
EH, apa petai di Sukabumi masih banyak?," tanyanya, "wah, di sini petai mahal. Satu batang mau 1 « dolar." Yang berkata itu adalah Yu Kam Seng, Tionghoa asal Indonesia yang kini menetap di Kowloon, Hongkong. Sekitar tahun 60-an, Kam Seng bersama puluhan ribu orang Tionghoa perantauan yang tersebar di pelbagai tempat di Indonesia, pulang mudik ke negeri leluhur, Tiongkok. Hal ini terjadi setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan PP10, yang melarang kegiatan para pedagang Cina asing di desa-desa. Waktu itu, tidak kurang dari 119 ribu Cina perantauan telah mendaftarkan diri untuk pulang ke negeri. Ini berarti 40% dari orang Cina yang ada di Indonesia, menyatakan menolak kewarganegaraan Indonesia. Sebagian besar karena terhimbau oleh suara Radio Peking (waktu itu) yang menyerukan agar para hoakiao kembali "ke pelukan hangat negeri leluhur." Karena di sana tersedia segalanya dan diberi kesempatan terbaik untuk "mengabdi demi pembangunan sosialis." Seperti Kere "Dulunya, saya nggak mau diajak kembali ke negeri asal leluhur yaitu RRC," kata Peng Moi, "tapi suami saya mendesak terus." Peng Moi baru tiga bulan ini bisa meninggalkan RRC dan kini tinggal di Tsuen Wen, Kowloon. Suaminya, tadinya bekerja di sebuah pabrik di bilangan Petojo, Jakarta, sebagai tukang bubut. A Siong--demikian nama sang suami--mempunyai maksud agar ketiga anaknya mendapat pendidikan yang baik dan dia memutuskan untuk ing-ing pulang ke Negeri Cina Apalagi untuk berangkat pulang naik kapal tanpa harus membayar tiket. Kapan lagi ada kesempatan balik ke negeri leluhur secara gratis begitu. Maka pulanglah A Siong bersama Peng Moi dan ketiga anak mereka. Rupanya Peng Moi tidak kerasan di tanah leluhurnya ini. Dia rupanya juga cukup menyesal. Katanya: "Lihat saja muka saya. 'Kan seperti orang berumur 60-an, padahal umur saya baru 47 tahun." Mereka kemudian berusaha keluar lagi dari RRC. "Untuk mendapat izin keluar susah," kata Peng Moi, "saya saja menunggu sampai 3 tahun." Tinggal lebih dari 10 tahun di RRC serasa 10 abad bagi A Siong dan keluarganya. Kini dia eelah menetap di Kowloon. Dua dari tiga anaknya turut serta, sedangkan anaknya yang tertua, sudah menikah dan tinggal di propinsi lain, sedang menunggu izin keluar dari RRC. Ibu dan saudara-saudara Peng Moi sendiri hingga kini masih di Jakarta. "Abang saya masih di Jakarta," ujar Peng Moi, "sekarang, dia senanglah. Sebab dulu naik sepeda sekarang sudah punya mobil." Kabar tentang abangnya yang sudah kaya ini tentu dia dengar dari teman senasibnya yang tinggal di Kowloon. Menurut Peng Moi sendiri. dia tak pernah menerima surat dari abangnya ini. "Mungkin dia takut tulis surat," ujar Peng Moi. Lain lagi dengan A Chiang. Dua tahun sebelum A Chiang beserta ibunya dan 6 orang saudaranya hijrah ke Tiongkok, ayahnya meninggal. Janda dengan anak banyak itu kuatir akan masa depan anak-anaknya. Dan diboyonglah ketujuh anak-anaknya bersama rombongan hoakiao lainnya. A Chiang sendiri waktu itu berusia 6 tahun. Dua tahun yang lalu, A Chiang hersama ibu, saudara dan ipar-iparnya berhasil keluar dari RRC. "Waktu itu kami memasuki Hongkong seperti kere, " kata A Chiang. Artinya, mereka cuma berhasil membawa badan saja tanpa perlengkapan atau kekayaan apapun. "Harta kami satu-satunya, cuma baju yang melekat di badan," tambah A Chiang. Muhsin dan Titiek Sandhora A Chiang yang masih fasih berbahasa Indonesia ini tak tahu menulis huruf Latin. Ketika berusia 23 tahun, dia bekerja sebagai supir. Ketika tinggal di Fukkien (RRC), dengan mencuri-curi, A Chiang belajar mengemudikan truk. "Di Hongkong, tak sulit untuk cari makan," kata A Chiang, "asal mau kerja kasar." Dari kepandaiannya menyetir mobil ini A Chiang diterima jadi supir. Kerjanya mulai jam 06.00 pagi sampai jam 10.00 malam. Upahnya sekitar HK$ 1.200, kira-kira Rp 108.000. Gaji ini lumayan besarnya kalau dibandingkan dengan upah kerja di RRC. Nio, saudara perempuan A Chiang bekerja di daerah pertanian, cum a mendapat gaji 10 Yuan sebulan. Satu Yuan (Remimbi) sama dengan Rp 246, kurang lebih. "Makan enak di sana, tak bisalah," ujar Nio. Dan memang, yang paling berat hidup di RRC ialah tidak bisa makan enak. Apalagi bahasa sehan-hari tidak mereka fahami. Para hoakiao biasanya cuma mengerti Bahasa Mandarin, sementara penduduk RRC sebagian besar berbicara Canton. Kini sekitar 10.000 orang Cina perantauan kelahiran Indonesia berada di Hongkong. Cina-Cina yang kembali ke RRC (dan kemudian keluar lagi untuk menetap di Hongkong) kebanyakan tak punya keahlian kecuali berdagang. Tentu saja mereka sulit menyesuaikan diri dengan hidup yang keras dan juga kering. Kecuali generasi muda yang kemudian menonjol misalnya seperti Hou Chia Chang atau Tang Hsien Hu, duaduanya asal Indonesia dan jadi jagoan badminton. "Di sana, susahlah," ujar A Seng, 28 tahun, yang sekarang bekerja sebagai penjaga keamanan salah satu bank di Hongkong. "Nggak bisa makan kenyang, susahlah," ulangnya lagi: "ngomong juga susah, banyak mala-mata." Sama seperti Yu Kam Seng, A Seng juga rindu petai. "Memang susah," seperti yang dikatakan oleh Peng Moi, "satu bulan di sana (maksudnya RRC) kita hanya kebagian « hati daging babi." Kehidupan mereka di Hongkong memang lebih lumayan ketimbang ketika mereka di RRC. "Asal mau kerja apa saja dan tahan kerja keras," ulang A Chiang, "kita bisa hidup." Dia sendiri kini memiliki sebuah toko di daerah T suen Wen, Kowloon. Nostalgia terhadap Indonesia belum juga hilang rupanya, karena dia pasang merek "Toko Indonesia" untuk nama tokonya. Yang dijual macam-macam. Mulai dari petai, jamu, segala macam rempah sampai kaset lagu-lagu keroncong. Biasanya lagu Indonesia yang berbau Mandarin seperti lagunya Muhsin dan Titiek Sandhora. Karena itu, banyak yang mengidamkan kembali ke Indonesia. A Seng misalnya, sekarang dia mulai menabung. Siang dia bekerja sebagai penjaga keamanan dan malam selama 2 jam bekerja membersihkan karpet di rumah-rumah. Sebulannya A Seng bisa mengumpulkan sekitar HK$ 2.200."Untuk bisa ke Indonesia, kita harus punya uang HK$ 30.000," kata A Seng, "dan ya, masuk cara gelaplah." Apa tidak takut ketangkap kalau nanti kembali ke Indonesia? Dengan nada optimis, A Seng menjawab lagi: "Lihat saja, mana ada yang dipulangkan ke Hongkong setelah ditangkap di Indonesia?". Dia kemudian menyebutkan sebuah biro pariwisata yang biasa mengurus ini semua, termasuk paspor gelap segala. Biro pariwisata ini memang khusus membuat segala keperluan bagi hoakiao yang ingin kembali ke Indonesia secara gelap. Tapi tidak semua Cina perantauan ingin kembali ke Indonesia mengikuti cara A Seng. "Saya lebih baik bersabar menunggu 10 tahun lagi," kata A Chiang, "sebab kalau sudah dapat paspor Inggeris, 'kan saya bisa jalan-jalan ke Indonesia." Menurut peraturan di Hongkong, mereka yang sudah bermukim di Hongkong dalam jumlah tahun tertentu, bisa mengajukan permohonan sebagai warga negara Inggeris. Bisa tidaknya Cina kelahiran Indonesia dan berpaspor Inggeris kembali ke Indonesia, masih merupakan tanda tanya bagi mereka. Mungkin kalau sekedar jalan-jalan bisa. Tapi kalau untuk menetap kembali, entahlah. Tapi F. Liem--juga pernilik toko yang menjual bahan makanan Indonesia -- bercerita bahwa hampir setiap tahun dia bisa mudik ke Indonesia untuk menengok orangtuanya. Liem sudah 15 tahun tinggal di Hongkong. Dia meninggalkan Indonesia menuju RRC karena ajakan teman-temannya untuk melanjutkan sekolah di negeri leluhur. Dia hanya tinggal di Canton 2 tahun saja, kemudian menetap di Hongkong. Tapi pengalaman Nyonya Chia lain lagi. Pemegang paspor Inggeris ini sudah lama menanti visa untuk berkunjung ke Indonesia. Belum dapat juga Dia ingin sekali menengok keluarganya di Cirebon. "Apa betul Cina kelahiran Indonesia tak boleh masuk lagi ke Indonesia?" tanyanya. Ketika dia ditawarkan untuk masuk secara gelap seperti rencana A Seng. Nyonya Chia menolak. Ujarnya: "Saya sih mau yang jujur saja." Bagi pemerintah Hongkong, masuknya imigran dari RRC ini rupanya sudah bukan merupakan persoalan besar lagi. Awal tahun 60-an, ratusan ribu imigran dari RRC masuk Hongkong. Hingga kini, arus tersebut belum juga kering-kering. Syaratnya mudah saja, mereka bisa masuk dan tinggal di Hongkong asal ada surat izin keluar dari pemerintah RRC. Alasan mereka biasanya ingin bertemu dengan orangtua atau keluarga. Tak jadi soal apakah orang yang ingin menengok orangtua itu sendiri umurnya sudah sekitar 70-an. Seperti ibunya A Chiang atau A Siong, yang sekarang berumur 60 tahun. Setiba di Hongkong, biasanya mereka terus mengurus kartu ID (Identity Card) semacam KTP di sini. Dengan itu mereka bisa menetap untuk- beberapa tahun. Setelah menetap selama 7 tahun kalau berkelakuan baik, biasanya dengan mudah mereka bisa mengurus apa yang disebut certificate. Dengan memiliki ini, mereka sebetulnya sudah bisa mengadakan perjalanan ke luar negeri. Kecuali Indonesia, barangkali. Beberapa tahun setelah memiliki CI (sertificate), baru mereka bisa mengurus paspor. Sebagian besar Hoakiao asal Indonesia yang kini berada di Hongkong, kangen untuk kembali ke Indonesia. Karena mereka masih punya saudara di repubiik ini dan juga alam Indonesia tidak seganas alam Hongkong. Perkumpulan para hoakiao asal Indonesia memang kompak sekali. Biasanya mereka saling tolong-menolong. Pada hari-hari Sabtu dan Minggu restoran-restoran yang menjual makanan Indonesia penuh oleh orang-orang Hoakiao ini. Tak jarang, ada terdengar logat bahasa Jawa yang masih tebal, "Owe lahir di Semarang," kata Chong. Kini laki-laki yang masih bisa berbahasa Jawa ini membuka restoran Nan Yang di bilangan Kwun Tong. Tapi Chong tidak mengendorkan hasratnya untuk kembali tinggal di Indonesia. Mungkin nanti, kalau ia sudah jadi cukong besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus