SEMENTARA dunia bisnis internasional seperti memasuki mimpi buruk setelah harga saham jatuh, perdagangan karya seni seperti tak terpengaruh apa pun. Hanya sekitar tiga minggu setelah banyak milyuner dilanda frustrasi menghitung hartanya yang susut, Rabu dua pekan lalu, di rumah lelang Sotheby, New York, seseorang yang merahasiakan identitasnya memenangkan sebuah lukisan dengan tawaran US$ 53,9 juta atau sekitar Rp 88,5 milyar. Harga tertinggi sepanjang sejarah lelang karya seni. Majalah The Economist menduga, pembeli mestinya orang Jepang. Sebab, pemilik yen-lah kini yang jaya, dan orang-orang dari Negeri Samurai itu umumnya menyukai bunga iris yang menjadi pokok lukisan supermahal itu. Pembelinya masih dirahasiakan, tapi nama pelukisnya mungkin tak asing lagi di telinga banyak orang. Vincent van Gogh, pelukis Belanda yang memotong telinga kanannya sendiri yang cemas ketika sebuah lukisannya dibeli orang yang lalu menembak pelipisnya dengan pistol, dan tiga hari kemudian meninggal. Tak diketahui hal yang membuat Irises -- karya yang dilelang itu, yang ia lukis pada 1889 di halaman rumah sakit jiwa di Saint Remy, Prancis -- mencapai rekor harga tertinggi. Yang jelas, Van Gogh -- berdasarkan surat-suratnya yang dikirimkan kepada Theo, adiknya yang membiayainya -- memang menganggap hidupnya hanya untuk melukis. "Ya, lukisan-lukisanku, kupertaruhkan hidupku untuk itu dan akal budiku separuhnya terbentuk karena itu pula... tapi apa gunanya?" itulah kalimat terakhir dalam surat terakhir kepada adiknya sebelum ia bunuh diri. Nasib seniman memang jauh dari terang, sungguh berlawanan dengan warna kuning menyala dalam lukisan mataharinya. Sebagai pelukis dimasa hidupnya (1853-1890) ia tak dianggap. Bahkan Van Gogh sendiri selalu mengatakan, dirinya cuma pelukis kelas dua. Hanya sebuah resensi yang ditulis oleh seorang kritikus muda yang pernah memuji-muji anak pendeta ini. "Yang istimewa dalam karya-karya Van Gogh yakni berlebihannya segala sesuatu. Kekuatan yang berlebihan, kegelisahan yang berlebihan, dalam ekspresi yang brutal.... Dialah satu-satunya pelukis, sejauh kuketahui, yang merasakan warna dengan begitu dalam," tulis Albert Aurier, kritikus itu. Anehnya, membaca tulisan itu Van Gogh malah gelisah. Ia menganggap tulisan itu meledek dia. Ia menulis surat kepada Theo agar minta kritikus itu tak lagi meresensi lukisan-lukisannya. "... itu menyakitkan hatiku lebih daripada yang ia ketahui." Selama 10 tahun (ia mulai melukis pada umur 27 tahun), diciptakannya 300 lukisan cat minyak, dan beberapa ratus lukisan pastel, tinta cina, dan potlod konte. Seolah-olah ia tak bisa melakukan hal yang lain selain melukis karena kegiatan ini membuatnya lupa. Mungkin melukis bagi Van Gogh semacam meneguk minuman keras untuk melarikan diri dari hidup. Sebab, baginya, menurut Theo, "hidup begitu menyiksa". Dan kemudian, setelah ia meninggal, orang-orang pun baru mengagumi bakatnya. Para sejarawan seni rupa menyebutnya sebagai salah seorang pelopor ekspresionisme. Lukisannya mulai dicari kolektor. Pada 1932, 40 tahun setelah ia meninggal, sebuah lukisan berjudul Jembatan laku US$ 8.800 di Paris. Dibandingkan Kebun Anggur Merah-nya yang dibeli US$ 80 pada 1890 -- satu-satunya lukisannya yang laku di masa hidupnya -- itu memang kenaikan berlipat, meski harga itu baru seperseratus enam puluhnya rekor lukisan termahal kala itu -- karya Leonardo da Vinci, US$ 1,57 juta. Dan tiga tahun lalu, 1985, karya Van Gogh memasuki masa jutaan: seorang kolektor membeli sebuah lukisannya US$ 9,9 juta. Lalu di awal April tahun ini pelukis yang "tersiksa" itu memecahkan rekor: salah satu dari tujuh Bunga Matahari-nya yang terkenal pindah ke tangan perusahaan asuransi Yasuda di Jepang dari rumah lelang Christie, London, dengan harga US$ 39,9 juta. Mungkin, tahun ini memang tahun Van Gogh. Belum tiga bulan, dari rumah lelang itu juga Jembatan yang pada 1932 berharga US$ 8.800, dimenangkan oleh seorang kolektor seharga US$ 20 juta. Rekor pun pecah lagi, dua pekan lalu itu, Irises dibeli seharga US$ 53,9 juta. Beruntunglah John Whitney Payson, pemiliknya, yang mewarisi karya ini dan ibunya yang pada 1947 membelinya hanya seharga US$ 84.000 (kira-kira sama dengan US$ 500.000 untuk nilai dolar sekarang). Saham boleh jatuh, harga seni jalan sendiri. Dan Van Gogh? Di saat akhir-akhir hidupnya, setelah ia menembak pelipisnya, katanya kepada Theo, "Jangan menangis, kulakukan ini untuk kebaikan semua orang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini