Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Visualisasi Sebait Puisi

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah kita bisa memvisualkan puisi? Bagaimana elemen-elemen visual yang ada di layar bisa dipahami sebagai puisi? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itulah Faozan Rizal, 31 tahun, melangkah. Hasilnya sebuah film eksperimental bernuansa surealis sangat kental: Yasujiro Journey.

Sebelum Yasujiro Journey, Faozan sebetulnya telah mengembara jauh. Selepas mengenyam ilmu sinematografi di Institut Kesenian Jakarta, ia terbang ke Paris, Prancis, mendalami film surealis di Universitas Femis sekitar dua tahun. Ia juga secara khusus berguru pada sejumlah sineas, seperti Darius Konji dan Jean-Luc Godard. Lalu Faozan berkelana ke Jepang. "Model puisi Haiku yang hanya terdiri dari tiga baris itulah yang saya terapkan dalam film Yasujiro Journey," katanya.

Alkisah, pada 1942, sebuah pesawat tempur Jepang, Zero-Sentoki, jatuh di Indonesia dalam perjalanan ke Pasifik. Sang pilot, Yasujiro Yamada, selamat tapi tak pernah ditemukan. Sekitar 60 tahun berselang, cucu pilot itu—yang juga bernama Yasujiro Yamada—datang ke Indonesia mencari kakeknya. Namun ia juga tak pernah ditemukan. Esensi film produksi Kotak Hitam dan Paosas Film ini adalah perjalanan Yasujiro, yang memiliki pengalaman seperti pernah dialami kakeknya. Ia mengembara dalam ingatan sang kakek tentang pasir, angin, panas matahari.

Sebelum diputar di JiFFest, Yasujiro Journey menjadi official selection untuk kategori fiction film pada Pusan International Film Festival, Korea, Oktober lalu. Dan April 2005, film itu juga diundang dalam Singapore International Film Festival. Berikut ini petikan wawancara dengan pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 18 April 1973 itu.

Sebetulnya, dari mana ide cerita film ini?

Film ini terinspirasi dari kisah nyata kakek saya. Sekitar 1942, ia punya sahabat seorang prajurit Jepang di sebuah penjara. Kebetulan namanya memang Yasujiro. Nah, saat Indonesia merdeka, Yasujiro itu enggak jelas rimbanya, entah dibunuh atau balik ke negaranya. Dari situlah tercetus ide untuk menuangkannya dalam film.

Itu kan kisah nyata. Bagaimana Anda menuangkan kisah nyata (realis) ke dalam film surealis?

Karena film ini bercerita tentang sebuah perjalanan ingatan, saya hanya menampilkan impresinya. Perjalanan dalam ingatan Yasujiro. Dia memilih untuk jalan sendiri. Dan sebuah film itu sebenarnya mimpi. Dalam film ini saya menampilkan mimpi cucu Yasujiro untuk menemukan kakeknya. Di situlah saya menuangkan unsur realis menjadi surealis. Karena ini bahasa mimpi, saya punya kebebasan untuk anti-continuity: anti-continuity ruang, grafis, dan segala macam.

Bukankah unsur dialog dan gambar dalam sebuah film itu saling menguatkan?

Ya, memang seharusnya begitu. Sebetulnya, film Yasujiro Journey ini merupakan bagian pertama dari trilogi yang sedang saya garap. Yasujiro berkisah tentang memori (ingatan). Film kedua, Aries tentang nostalgia. Dan film ketiga, Tempus Fugit, tentang remembrance. Jadi, memori, nostalgia, dan remembrance. Yasujiro ini merupakan film eksperimental yang sama sekali tidak menguatkan suara. Saya bermain di visual language. Di Aries, bahasa gambar dan suara sama-sama dikuatkan. Tapi tetap tak ada dialog. Dalam film ketiga suara lebih kuat daripada gambarnya.

Anda menyebut gaya film ini terinspirasi dari model puisi Jepang, Haiku. Bagaimana Anda menuangkan Haiku ke dalam film Anda?

Saya mengambil model puisi Haiku, yang hanya terdiri dari tiga baris. Nah, dalam setiap adegan atau frame film, saya menampilkan tiga elemen. Misalnya manusia, bumi, langit. Atau, manusia, air, langit.

Lantas, kenapa Anda mengambil gaya puisi dalam film ini?

Menurut saya, dari semua bentuk kesenian yang ada, puisi adalah bentuk yang sebenarnya sangat dekat dengan sinema. Dalam sinema, kita seperti sedang menulis puisi dengan cahaya. Perbedaannya, puisi adalah bentuk literatur yang menggunakan kata untuk menggambarkan perasaan. Sedangkan dalam film kata tidak selalu digunakan untuk mengekspresikan emosi. Film mengenal bahasa gambar. Dan dalam film, gambar bisa lebih ekspresif daripada kata.

Lalu dalam pembuatan film ini Anda juga melakukan teknik static frame, bisa dijelaskan?

Teknik static frame itu mirip dengan gaya teater. Aktornya yang mencari eksistensi dalam frame. Sedangkan penonton menjadi pihak ketiga yang mencari eksistensinya di frame itu. Jadi, penontonnya mencari, aktornya juga mencari.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus