Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kegilaan Keenam Jiffest

Tetap tidak didanai oleh pemerintah, dan hanya bertumpu dari gerilya mencari sponsor dari sana-sini, Jakarta International Film Festival memasuki tahun keenam. Lebih dari 100 film bakal ditayangkan sepanjang 3-12 Desember. Pelbagai diskusi diadakan, termasuk sebuah forum prestisius: pertemuan para produser muda Asia dan Eropa. Di usianya yang keenam, JiFFest menapakkan diri menjadi festival film paling independen di Asia.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kacarita negeri Bagdad, orang sedang merayakan ulang tahun Khalifah….

Wangi Indriya, 39 tahun, dalang perempuan asal Indramayu itu, menembang di sebuah panggung di Plaza Senayan, Minggu pekan lalu. Bersamanya, serombongan niyaga gamelan dari Sanggar Mulia Bakti, Indramayu. Mereka merespons adegan-adegan layar lebar film animasi bisu Adventures of Prince Ahmad.

Film petualangan Pangeran Ahmad naik kuda sembrani (1926) karya sutradara Jerman, Lotte Reiniger, itu ternyata lumayan klop diiringi karawitan Sunda. Tabuhan kendang lincah saat putra khalifah dari Bagdad itu menghajar raksasa. Tatkala sang pangeran mendarat ke negeri Cina, meluncur lagu Cibulan. Ketika kaki Ahmad terperosok ke jurang, menginjak ular, bilah-bilah gambang dipukul mengimajikan kaki bersijingkat. Dan ketika si tampan itu mencuri baju bulu putri cantik Pari Banu, berkumandang kor Ana Maling.

"Saya melantunkan suluk saat Ahmad menggosok lampu wasiat agar suasananya magis," kata Wangi. Inilah salah satu acara menarik mengawali JiFFest ke-6. Di festival-festival film dunia, pertunjukan piano mengiringi film bisu sudah lazim. JiFFest kali ini, di samping mengundang para seniman tradisi, juga menghadirkan arranger Indonesia yang biasa membuat musik film untuk "bereksperimen" dengan film bisu. Dwiki Darmawan merespons Faust (1926) dan Nosferatu (1922) karya F.W. Murnau. Thoersi Argeswara mengiringi Metropolis karya Fritz Lang (1927).

Plaza Senayan mungkin bukan tempat cocok untuk kegiatan semacam itu. Bandingkan ketika Aljosha Zimmerman, pianis Jerman, mengiringi Metropolis di Gedung Usmar Ismail tahun 1999. Suasananya jauh lebih mencekam. Film berdurasi hampir 3 jam itu direspons dengan nada-nada cepat dan tinggi. Padat, seolah membuat penonton sulit bernapas. Tapi pilihan panitia JiFFest menyelenggarakan di pusat perbelanjaan bisa dimengerti. Itu semata demi keinginan memperluas konsumen.

Diadakannya sesi film bisu, yang pada JiFFest sebelumnya tak masuk rencana, menggambarkan JiFFest sendiri mengalami perkembangan. Ini membuktikan, tanpa dana pemerintah, festival ini bertahan dan tak surut variasi. "Orang-orang JiFFest itu 'gila', mereka berkegiatan dengan dana minim hasil perolehan dari berbagai sumber." Kata-kata sineas Nan T. Achnas ini menandakan bukan tak mungkin, demi keragaman materinya, setiap JiFFest diadakan, panitia nombok.

Selama beberapa tahun JiFFest dimotori oleh duet Shanty Harmayn dan Natacha Devillers. Dan kini sang direktur adalah Orlow Seunke, seorang sutradara Belanda yang filmnya, Tropic of Emerald, pernah diputar di JiFFest. Menurut Nan, adalah biasa jika pimpinan festival diserahkan kepada direktur asing. Pemrakarsa Singapore Film Festival, misalnya, bukan warga Singapura. Inisiator Pusan International Film Festival juga dari para imigran Korea di Amerika yang pulang kampung.

Satu keuntungan yang jelas diperoleh dari direktur asing adalah koneksi internasional dapat diperluas. "Tahun ini, saya ikut mencarikan dana sendiri dalam empat bulan untuk mendapat total 2 miliar yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan festival," tutur Orlow. Kepada Tempo, Orlow bercerita saat datang Juli lalu. Saat itu di kas panitia hanya terdapat dana Rp 600 juta. Dalam waktu empat bulan ia "berjibaku" ke sana-kemari sehingga mendapatkan tambahan Rp 1,4 miliar.

Marilah kita sedikit melakukan kilas balik "festival gerilya" ini. JiFFest I pada 1999 berlangsung selama 9 hari dengan 62 film. Gebrakan pertama cukup meyakinkan. Mampu mendatangkan maestro sutradara Jepang: Kohei Oguri. Ia dikenal sebagai sutradara dengan pendekatan zen. Ketenangan cara bertutur adalah cirinya. Saat itu diadakan retrospeksi filmnya sekaligus penayangan film terbarunya: Sleeping Man (Nemuro Otoko), yang pemeran utamanya adalah Christine Hakim. Sutradara lain yang datang adalah U-Wei Bin Hajisaari dari Malaysia. Kaki Bakar, filmnya yang bercerita soal imigran Jawa di perkebunan Malaysia, diputar.

Tiket untuk umum waktu itu Rp 7.500. Mulai 1999 itu, panitia JiFFest mendata film-film terpopuler. "Berdasar jumlah tiket," ujar Lalu Roisamri, Manajer Program JiFFest sekarang. Dan film yang paling digandrungi saat itu adalah Jalan Raya Post (De Groote Postweg) karya Bernie Ijdis dari Belanda. Film ini berkisah tentang sejarah Anyer-Panarukan. Bernie bertolak dari artikel Pramoedya Ananta Toer yang menulis bahwa pembuatan jalur Anyer-Panarukan menelan ratusan ribu nyawa. Dihadiri oleh Pram saat diputar di Erasmus Huis, memang penonton begitu membludak.

JiFFest 2000 makin beraneka materi. Dilaksanakan selama 10 hari, jumlah film bertambah menjadi 104 judul. Harga tiket dipertahankan Rp 7.500. Sutradara dari mancanegara yang hadir: Veit Helmer (Jerman), Vincent Monnikendam (Belanda), Curtis Levy (Australia). Film dengan jumlah penonton terbanyak adalah The Year of Living Dangerously. Saat itu JiFFest mulai menyediakan diri sebagai ajang premiere film-film Indonesia terbaru. Film Indonesia baru saat itu antara lain Pachinko and Everyone's Happy karya Harry Suharyadi, Culik karya Teddy Soeriatmaja, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta karya Enison Sinaro.

JiFFest 2000 ini sarat retrospeksi. Ada A Tribute to Werner Herzog and Klaus Kinski yang terdiri atas retrospeksi film-film Werner Herzog disertai pameran foto pembuatan film Herzog. Juga ada A Tribute for Errol Morris—sutradara dokumenter Amerika. Juga retrospeksi film-film Takeshi Kitano, film-film Zhang Yuan, dan film-film almarhum Djaduk Djajakusuma.

Berikutnya, JiFFest 2001, digelar terlama, 16 hari nonstop. Sebanyak 103 film ditayangkan. Tiket naik menjadi Rp 12.500. Film pembuka, Me You Them karya Andricha Waddington dari Brasil, adalah sekaligus film dengan jumlah penonton tertinggi. JiFFest 2001 kebanjiran para tamu asing, antara lain Fransesco Patrirca (Italia), Philippe Martin (Prancis), J. Boekhorst (Belanda), Lars Hadenstedt (Swedia), Khrisna Sen (Australia). Tapi bintang yang paling menyedot perhatian adalah Jafar Panehi, sutradara Iran, pembuat film The Mirror

Tempo saat itu sempat mewawancarai Jafar Panehi. Ada bocoran "rahasia". Yang paling ingin diketahui penggemar Panehi adalah soal adegan aktor utama The Mirror (seorang anak perempuan) yang tak mau melanjutkan film. Dalam film ia kelihatan ngambek, lalu keluar dari lokasi film. Tapi salah satu mikrofon masih tersemat di bajunya. Panehi memutuskan untuk terus mengikuti anak itu dengan kamera, dan memasukkan dokumentasi itu sebagai bagian dari filmnya. Persoalannya, apakah adegan itu diskenariokan atau spontan? "Memang saya sengaja, ha-ha-ha," kata Panehi.

Film penutup JiFFest 2001 adalah film Panehi, The Circle. Sesi retrospeksi dan tematik JiFFest 2001 adalah retrospeksi Kenzi Mizoguchi, retrospeksi Hou Hsiao Hsien, dan New Korean Cinema. Akan halnya film Indonesia baru yang premiere adalah Viva Indonesia, sebuah film bersama Nana Mulyana, Asep Kusdinar, Lianto Luseno, Ravi Bharwani, Hallo Kang Mamat, karya Cassandra Massardi. Yang juga perlu dicatat: pada JiFFest 2001 banyak diadakan workshop penting. Misalnya workshop penggunaan kamera digital. Pertama kalinya juga beberapa film JiFFest dibawa tur keliling ke Kota Yogyakarta, Semarang, Bali, Medan, Bandung.

Pada JiFFest 2002 jumlah film yang ditayangkan semakin banyak. Ada 120 judul, dengan lama penyelenggaraan 10 hari dan tiket seharga Rp 15.000. Film paling populer adalah War Photographer karya Christian Frei. Film ini menceritakan petualangan fotografer James Natchwey ke berbagai belahan yang berbahaya dan miskin dunia, termasuk Indonesia. Saat film diputar di Taman Ismail Marzuki, hadir seorang laki-laki buntung beserta keluarganya yang hidup di rel-rel kereta Jakarta. Lelaki ini pernah dipotret James dan fotonya ditampilkan di majalah Life (kemudian ditampilkan dalam film). Setelah penayangan, mereka berangkulan, mengharukan.

Film pembuka JiFFest 2002 adalah Monsoon Weeding karya Mira Nair. Adapun sesi retrospeksi adalah retrospeksi film Francois Truffaut, Teguh Karya, dan sutradara Jerman Harun Farocki. Harun Farocki hadir saat itu. Tamu asing lain yang datang adalah Philip Cheah (Singapura), Leonard Retel Helmrich (Belanda), Christian Frei (Swiss), Anurag Singh (India),Walter Slameer (Australia), Vincenso Marra (Italia), dan Orlow Seunke (Belanda). Film Indonesia terbaru yang premiere pada JiFFest tahun ini adalah Tatto karya Hanny Saputra.

JiFFest 2003 adalah JiFFest yang paling kurang bergema. Hanya 60 film ditayangkan. Waktu penyelenggaraan cuma enam hari, tiketnya tetap Rp 15.000. Film yang mencapai jumlah penonton terbanyak adalah Magdaline Sister. Sebenarnya JiFFest 2003 menarik—karena menampilkan film-film bertema seputar Afganistan dan 11 September. Film Osama karya Siddiq Barmaq, atau 11 September, kumpulan film pendek merespons tragedi WTC dari 11 sutradara kenamaan mulai dari Samira Makhmalbaf sampai Sean Penn (keseluruhan durasi 135 menit).

Retrospeksi kala itu adalah retrospeksi film-film Joris Ivens—sutradara Belanda—yang film dokumenternya, Indonesia Calling—tentang pemogokan buruh-buruh kapal Australia pada tahun 1946—disebut-sebut sangat membantu mensosialisasi kemerdekaan Indonesia.

JiFFest 2004 tampak ingin bangkit lagi mengulangi sukses JiFFest pada tahun-tahun awal. Tak tanggung-tanggung kali ini ia mengumpulkan 130 film. Mengapa kali ini JiFFest diadakan pada Desember, bukan November seperti sebelumnya? Itu lantaran faktor Ramadan. "Sebenarnya kami ingin tetap berlangsung pada akhir November karena film Eropa dan Amerika yang berhasil diputar di Pusan, copy-nya akan tetap tinggal sementara di wilayah Asia dan kita bisa mendapat keuntungan dari ini," kata Orlow

Tema utama JiFFest sekarang adalah spirit of the youth, film-film soal anak muda dan dunianya yang berubah. Film Chicken Rice War—besutan sutradara Singapura Chee Kong Cheah—yang bertema cinta dan bisnis, misalnya, dikemas dalam acara clubbing di BC Bar di bilangan Jakarta Pusat. Menimba kesuksesan Festival Pusan, Lee Chang Dong, sutradara yang bekas Menteri Kebudayaan Korea, dijadwalkan berceramah soal kiat-kiat industri film Korea. Sineas asing lain yang hadir adalah sutradara Italia, Gianni Amelio. Film-filmnya akan ditayangkan dalam sebuah retrospeksi. Retrospeksi lain adalah film-film karya Sjumanjaya dan Usmar Ismail.

Penonton JiFFest kali juga bisa menonton film-film terbaru dari Belanda, Kanada, dan Jepang. Yang menarik adalah Zatoichi karya Takeshi Kitano. Zatoichi—legenda pendekar buta Jepang—itu filmnya dibuat oleh berbagai sutradara Jepang. Sukarno dahulu termasuk penggemar film-film Zatoichi. Di istana, syahdan, ia memiliki banyak koleksi film Zatoichi. Nah, versi terbaru Zatoichi adalah garapan Kitano yang menyabet penghargaan di Cannes. Akan halnya film hak asasi yang paling menarik adalah Imelda—sebuah film dokumenter kehidupan Imelda Marcos karya Ramona Diaz—yang mendapat penghargaan di Sundance Festival.

Sebagai pelengkap festival, di Galeri Oktagon diadakan pameran still photo film Pasir Berbisik, Arisan, Bendera, dan film-film yang belum selesai, Banyu Biru dan Soe Hok Gie. Para fotografer yang terlibat adalah Timur Angin, Imelda Stefani, Paul Kadarisman, M. Igbal. Selain itu, ada kompetisi film pendek.

Salah satu bagian terpenting JiFFest kali ini adalah forum pertemuan para produser Eropa-Asia. Forum ini difasilitasi oleh ASEF (Asia-Europe Foundation). "Para sineas akan saling membangun jaringan, bertukar pikiran, dan mencari dana," kata Tintin Wulia, sineas, penanggung jawab acara. Forum ini pertama diadakan di Manila tahun 2002—berfokus pada penulisan skenario. Lalu, yang kedua di Goteborg saat ada Goteborg Film Festival ke-27, berfokus pada perihal distribusi film. Dan ketiga di—JiFFest sekarang ini—dengan tema pokok: produser muda.

"Awalnya Riri Reza ikut pertemuan di Manila, Shanty Harmayn di Goteborg. Dari lobi keduanya, akhirnya putaran ketiga dilaksanakan di Jakarta," Tintin menjelaskan. The all round producer ini akan dihadiri Joram Lursen—sutradara Belanda—Elliot Tong, produser Foxy Brown Hong Kong Alexandra Sun, agen penjualan film, The Film Library Hong Kong Cina, Gertjan Zuihof-dari Internasional Film festival Rotterdam, dan wakil dari Hubert Bals Fund, sebuah lembaga yang membiayai pembuatan film.

Kali ini ada juga premiere film-film terbaru karya sineas muda Indonesia, Rain Maker karya Ravi Bharwani dan dua film karya Faozan Rizal: Yosujiro Journey dan Aries - A Poem for Katia. Rain Maker karya Ravi adalah film yang masuk kategori new current dalam Festival film Pusan, Oktober lalu. Ini kisah percintaan seorang ahli klimatologi, yang bertugas mendatangkan hujan di daerah kering, dengan seorang sinden setempat.

Syut-syut Ravi sangat piktorial-panoramik. Adegan-adegan kentara sangat diperhitungkan agar secara komposisi indah. Adanya adegan warga desa bunuh diri setelah melihat "bintang jatuh" (bahasa setempatnya pulung gantung) menunjukkan bahwa yang menjadi setting bagi cerita Ravi adalah daerah Gunung Kidul. Terlihat adegan bunuh diri lebih ingin ditampilkan Ravi sebagai sebuah foto molek daripada sebuah penjelasan sosiologis.

Akan halnya Yasujiro Journey dan Aries karya Faozan, mungkin keduanya banyak membuat penonton bingung. Tak ada dialog sama sekali. Pada Yasujiro, film hanya menampilkan sosok seorang laki-laki di lembah pasir. Musik hanya desau angin. Lalu, dalam Aries, sepasang laki-wanita saling diam, di punuk-punuk bukit kapur putih. Faozan Rizal adalah lulusan studi film eksperimental La Femis, Prancis. Ia tertarik pada prinsip Haiku—puisi pendek Jepang—dan juga pada konsep gerak Butoh yang menjelaskan hubungan "inner" antara alam dan manusia. Itu yang hendak ditampilkannya. "Film saya lebih menyerupai esai fotografi yang berjalan," katanya.

Dua filmnya ini merupakan bagian trilogi. Bagian ketiga (yang belum dibikin) direncanakan berjudul Tempus Fugit. Dan direncanakan baru ada dialog. Bila ada kesamaan antara Ravi dan Faozan, itu adalah fokus pergumulan kedua sutradara muda yang terletak pada bentuk. Bentuk menjadi refleksi utama. Pada Faozan, titiknya demikian ekstrem sehingga penjelasannya bukan ada di dalam film melainkan di luar film, berupa teks dan sinopsis. Bila kita tak membaca, kita tak akan tahu. Yosujiro Journey, misalnya, berkisah tentang Yasujiro Yamada, cucu seorang pilot pesawat Jepang yang jatuh di Indonesia, yang tengah mencari sang kakek.

Meski program-program JiFFest boleh dibilang berkembang sesuai dengan dana yang didapat, terlihat sampai tahun 2004 ini mutu tetap terjaga. Sebetulnya film-film yang hadir bisa lebih dari itu. Enam bulan lalu menurut Orlow, misalnya, panitia terpaksa melepas hak tayang film-film Iran terbaru karena kocek belum ada. "Memang ini menyedihkan karena JiFFest sebelumnya memiliki seksi khusus film-film dari dunia muslim," kata Orlow.

Hal seperti ini tentu tak akan terjadi di Festival film Pusan atau Bangkok, festival yang secara finansial memiliki sumber pendanaan tetap. Festival Film Pusan dibiayai oleh wali kota hampir 80 persen. Akan halnya pemerintah Thailand membiayai distributor asing untuk datang ke Festival Film Bangkok. "Dibandingkan dengan festival Asia lainnya, sebenarnya JiFFest satu-satunya festival yang paling independen karena tidak dibiayai pemerintah sendiri," komentar Nan T. Achnas.

Toh, dengan independensi ini, menurut Orlow, nama JiFFest sudah lumayan mencuri perhatian. "Ketika kemarin saya di Pusan, banyak orang yang mulai membicarakan JiFFest dan ingin datang ke Jakarta," katanya. Orlow sendiri selaku direktur ingin mempopulerkan JiFFest. Bulan Januari nanti di Festival Rotterdam, ia berniat membuat seksi khusus untuk film-film Indonesia. Betapapun demikian, ia tetap berharap agar pemerintah kelak akan mengucurkan subsidi. "Tahun depan, Fauzi Wibowo (Wakil Gubernur DKI) berjanji," kata Orlow.

Bagi penggemar film, bulan diselenggarakannya JiFFest menjadi bulan yang sangat padat. Diam-diam JiFFest telah menciptakan penonton loyal. Meskipun beberapa film telah tersedia dalam film DVD bajakan yang mudah didapatkan di mana-mana, para die hard JiFFest diperkirakan tetap antusias. Menyaksikan film-film bermutu bagi mereka adalah sebuah "ibadah". Film adalah sebuah jendela batin.

Seno Joko Suyono, Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus