Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH perempuan tua itu mengguratkan kegelisahan. Bibir tipisnya yang tersenyum tak mampu menutupi kepedihannya. Berulang kali air mata mengembang di mata tuanya. Tak jarang bola matanya bergerak-gerak ketika mengingat peristiwa keji yang menimpanya puluhan tahun silam, ketika dia baru menginjak usia remaja.
Di sebuah hotel yang tenang di Semarang, Hilde Janssen, jurnalis wanita berdarah Belanda itu, bertemu dengan perempuan tersebut. Paini, dia menyebut namanya. Umurnya 80 tahun. Dia kini tinggal di Semarang bersama suami serta beberapa anak dan cucu. ”Saya mengakui bahwa saya sudah kotor, tapi dia tetap senang saja sama saya,” tutur Paini kepada Janssen, tentang lelaki yang jadi suaminya.
Sebelumnya, Paini pernah menikah dua kali. Suami pertama—dijodohkan orang tuanya—tak sudi lagi berurusan dengannya. Pernikahan kedua, lagi-lagi melalui perjodohan, gagal setelah lima bulan berjalan. Semuanya terkait dengan masa lalunya.
Sejak berumur 13 tahun, Paini dipaksa bekerja di sebuah tangsi dekat desanya. Mula-mula dia harus mencari makanan keliling kampung ditemani sekelompok serdadu Jepang. Lalu dia disuruh menggali parit dan membantu di dapur. Hingga suatu malam, nasibnya berubah. Paini dijemput paksa oleh serdadu Jepang. Dia dibawa ke tangsi dan diperkosa berulang-ulang. Begitu terus, setiap malam.
”Saat bercerita, dia hampir tidak mampu memaksa dirinya mengucapkan kata ’perkosa’,” tutur Janssen. Paini salah seorang perempuan yang dipaksa menjadi jugun ianfu pada masa penjajahan Jepang. Paini bukan satu-satunya bekas jugun ianfu yang ditemui Janssen di Semarang. Di kota itu Janssen juga berhasil bertemu dengan Mardiyah. Perempuan 84 tahun itu punya kisah serupa. Hanya, Paini sudah menikah ketika seorang tentara Jepang berpangkat kopral memintanya tinggal di tangsi dengan alasan untuk bekerja sebagai pencuci pakaian.
Nyatanya, selain diminta mencuci, membantu para pekerja paksa membangun jalan, dan menggali parit perlindungan, Mardiyah dipaksa menjadi ”gundik” sang kopral. Mardiyah sempat keguguran saat sedang mengangkut batu. ”Saya tidak tahu kalau sedang hamil, tapi pada waktu saya mengeluarkan darah saya justru merasa lega. Paling tidak saya terhindar dari rasa malu memiliki seorang bayi Jepang,” tuturnya.
Kisah dua perempuan ini menggenapi 18 kisah sedih dari 18 perempuan mantan jugun ianfu yang fotonya terpajang di ruang pamer Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta, mulai 12 Agustus hingga 23 September 2010. Foto-foto perempuan berukuran 1,5 x 1 meter itu hasil bidikan kamera fotografer Jan Banning, yang mengikuti Janssen menyusuri sejumlah daerah di Indonesia untuk menggali kisah dari para mantan jugun ianfu. ”Saya mewawancarai 50 orang ibu korban jugun ianfu, tidak semua fotonya dipamerkan,” kata Janssen kepada Tempo, Senin pekan lalu. Hasil wawancara Janssen dicantumkan di selembar kertas yang ditampilkan di sisi kiri setiap foto.
Cerita lengkap 50 perempuan itu dia uraikan dalam buku berbahasa Belanda berjudul Schaamte en Onshuld Het Verdrongen Oorlogsverleden van Troostmeisjes in Indonesia (Aib tanpa Dosa: Kisah Wanita Budak Seks Perang di Indonesia). Juga buku foto berjudul Jugun Ianfu karya Jan Banning dengan teks ditulis oleh Janssen.
Menemukan 50 perempuan mantan jugun ianfu di Indonesia bukanlah perkara mudah. Janssen dan Banning harus berkeliling, membangun jaringan dengan sejumlah organisasi di berbagai daerah yang pernah mendampingi para mantan jugun ianfu. Sejak pertengahan 2007, dia juga giat melakukan riset menelaah daerah mana saja yang dahulu pernah menjadi markas Jepang. ”Saya pikir, kalau ada markas Jepang di situ, pasti ada mantan jugun ianfu,” kata Janssen, yang menjelajah ke Sumatera Barat, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, hingga Maluku Selatan.
Berbekal riset itu pula Janssen menjelajahi Padang dan Bukittinggi. Bersama seorang teman dia berkeliling kota. ”Setiap bertemu orang yang kelihatan tua, saya tanya apakah mereka tahu informasi tentang ibu-ibu itu,” kata Janssen. Hasilnya nihil. Tak ada satu pun penduduk yang membuka mulut. Padahal, dari informasi yang dia peroleh, diketahui ada beberapa mantan jugun ianfu di kota-kota tersebut. Rupanya, adat-istiadat setempat membuatnya kesulitan menggali informasi tentang keberadaan para perempuan itu. Meskipun begitu, Janssen sempat bertemu dengan seorang mantan jugun ianfu di Padang. ”Sayang sekali pendengarannya sudah terganggu sehingga sulit diwawancarai,” katanya.
Kadang-kadang, informasi keberadaan jugun ianfu dia dapat secara tidak sengaja. Salah satunya mantan jugun ianfu di daerah Babar, Maluku Selatan. Janssen kebetulan sedang membaca buku tentang Ambon yang ditulis seorang wartawan Belanda. Salah satu bab dalam buku itu bercerita tentang aksi balas dendam tentara Jepang berupa pembantaian massal di Kampung Emplawas pada 5 Oktober 1944.
Di situ juga tertuang hasil wawancara sang wartawan dengan seorang yang bercerita tentang pengalaman gadis-gadis yang dibawa Jepang sebagai ”piala perang” ke rumah-rumah bordil militer. Lewat penelusuran yang cukup lama, Janssen akhirnya berhasil menemukan dua orang perempuan. Salah satunya bernama Dominggas, 82 tahun, yang dipaksa masuk rumah bordil ketika berusia 16 tahun dan mendapat panggilan Mikori.
Selain harus menyisir alamat yang amat asing bagi mereka, tidak mudah ”menaklukkan” wanita-wanita sepuh itu untuk bercerita tentang kisah tabu yang dialami 65 tahun silam. Karena trauma yang mendalam, tak sedikit yang memilih tutup mulut karena tidak ingin aibnya diketahui masyarakat. Tapi, dengan pendekatan yang perlahan, Janssen akhirnya berhasil meyakinkan 50 perempuan mantan jugun ianfu untuk mau membangkitkan kembali kenangan masa perang yang menyakitkan itu. Sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, seperti Yogyakarta, Semarang, Karanganyar, Cirebon, Kuningan, Serang, dan Sukabumi. ”Karena di daerah itu banyak pabrik dan tangsi tentara,” tutur Janssen. Penduduk yang padat juga membuat banyak orang susah mendapat pekerjaan. Kondisi ini digunakan oleh serdadu Jepang dengan berpura-pura menawarkan pekerjaan kepada para gadis di sana, padahal mereka akhirnya dijerumuskan ke rumah bordil militer—termasuk dikirim ke luar daerah—menjadi pemuas nafsu serdadu Jepang.
Diperkirakan jumlah perempuan yang menjadi korban jugun ianfu mencapai 20 ribu orang. Mereka rata-rata dipekerjakan secara paksa pada usia 13-16 tahun. Mereka diculik, diancam, diambil paksa dari jalanan, diseret dari rumah dan diangkut truk, atau diiming-imingi janji, bahkan dipanggil melalui kepala desa.
Namun, menurut Janssen—berdasarkan penuturan para perempuan yang ditemuinya itu—diperkirakan jumlah gadis yang mengalami kekerasan seksual jauh lebih besar. ”Karena yang disebut jugun ianfu itu mereka yang bekerja di bordil resmi yang memiliki jam kerja resmi, diperiksa kesehatannya setiap minggu, yang lelaki harus menggunakan kondom, dan sebagainya,” ujar Janssen.
Pemerintah Jepang pada waktu itu menggunakan sistem jugun ianfu sebagai upaya efektif merangsang semangat pasukan, menghindari penyebaran penyakit kelamin dan pemerkosaan massal, sebagaimana tercantum dalam arahan kementerian perang Jepang pada 1938. Tapi ternyata itu gagal. Pemerkosaan tetap terjadi di mana-mana, di gudang, gerbong kereta dan di rumah. ”Bagi tentara pendudukan Jepang, sistem jugun ianfu semata-mata kebijakan pragmatis. Namun, bagi para perempuan itu, ini adalah sebuah mimpi buruk. Sudah saatnya semua mata terbuka dengan nasib perempuan-perempuan itu,” tutur Janssen.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo