WALTER Spies meninggal 50 tahun lalu. Tak banyak orang tahu di mana persisnya ia mengembuskan napas terakhir. Tapi ia tahu benar di mana ia harus hidup. Walter Spies, seorang musikolog, pelukis, dan fotografer yang jatuh cinta pada Bali. Ia kemudian dikenal mempunyai peran besar dalam perkembangan kesenian Bali. Pekan ini Erasmus Huis Jakarta menyelenggarakan pameran mengenang tokoh tersebut. Di sini ditampilkan sejumlah lukisan, foto, partitur musik, dan coretan tulisan Walter Spies. Spies adalah seniman serba bisa yang lahir di Moskow tahun 1895 dari keluarga kaya Jerman. Ia tercatat berlayar ke Hindia Belanda pada tanggal 23 Agustus 1923. Mula-mula ia bermukim di Bandung sebagai pianis. Beberapa tahun kemudian ia bekerja sebagai pemimpin orkes keraton dengan 30 pemain di Keraton Yogya. Di kota ini ia mulai mempelajari musik tradisional. Pada tahun 1927 Spies mengunjungi Bali sebagai tamu Puri Punggawa Ubud. Ia terpukau dan sejak itu menetap di pulau ini. Di sini ia terjun ke berbagai sektor kesenian: tari, musik, dan seni rupa. Spies meninggalkan Bali karena pecah Perang Dunia. Dalam perjalanan menuju Sri Lanka, di perairan selat Sumatera, Januari 1942, sebuah pesawat tempur Jepang menenggelamkan kapal yang ditumpanginya. Pameran di Erasmus Huis itu sangat sederhana dibandingkan dengan acara sama, "Walter Spies Festival, an Evolution of Balinese Performing Art", di Bali beberapa tahun lalu, juga dalam rangka mengenangnya. Peluang yang sebenarnya bisa diketengahkan Eramus Huis adalah menggali konsep seni lukis Spies. Dari sini bisa dilihat bagaimana proses akulturasi dengan seni rupa Bali tradisional terjadi. Namun perkembangan lukisan Walter Spies justru tidak tergambar pada pameran itu. Lukisan yang ditampilkan, (reproduksi) misalnya Penggembala Suku Bashkiren Dengan Sekelompok Hewan, (1923) dan Peluncur-Peluncur di Es (1922), bukan lukisan yang bisa dengan nyata memperlihatkan kecenderungan seni lukisnya. Lukisan-lukisan Spies mengacu ke aliran primitifisme -- gaya seni lukis Eropa awal abad ke-20. Ciri gaya ini, lukisan bertema alam yang digambarkan dalam suasana mimpi yang serba gelap, dengan kekhasan: pembongkaran standar perspektif. Dalam primitifisme -- sesuai dengan pahamnya -- sering muncul gambaran suasana hutan, dunia binatang, dan citra manusia yang dianggap masih natural. Ini semacam idealisme yang tumbuh dari kekecewaan sekelompok pemikir terhadap keadaan dunia -- pada masa itu -- yang senantiasa diancam kemusnahan akibat peperangan. Spies seperti menemukan idealisme itu di Bali. "Saya tidak pernah berhenti lahir," tulisnya tentang ini. Dan lukisan-lukisan yang dibuatnya di Bali, selain menunjukkan tema dan objek Bali, dengan sangat kuat menunjukkan paham primitifisme. Secara kebetulan terdapat kemiripan antara persepsi gambar aliran primitifisme dan seni gambar tradisional Bali. Keduanya mengutamakan detail, menerapkan perspektif yang mengarah ke atas untuk menunjukkan jarak, dan, naif. Kesamaan itulah yang memungkinkan lahirnya persentuhan yang sebenarnya sulit dibayangkan. Tata acuan keduanya berbeda dalam menafsirkan kegiatan seni rupa. Pada masyarakat Bali, kepekaan seni tidak melahirkan kegiatan khusus yang harus diistimewakan. Tidak pula secara langsung berkaitan dengan pemikiran. Sedangkan tata acuan high art yang melatar belakangi seni lukis Walter Spies menempatkan ekspresi seni sebagai pernyataan yang sangat khusus. Dengan spirit primitifisme (yang memuja kejujuran "natural"), Spies menghargai prinsip-prinsip kesenian Bali. Adanya persamaan secara visual mengukuhkan keyakinannya tentang konsepsi seni lukis primitifisme. Dengan pandangan ini, ia terjun secara total ke dunia seni Bali. Melalui proses yang tidak sepenuhnya disadari, Spies merintis terjadinya alkulturasi. Ia memasukkan sikap berkesenian dari tata acuan seni rupa Barat ke alam pikiran masyarakat di Bali -- ekspresi bebas. Dalam dunia seni lukis, Spies mula-mula MDNMmembangun pengaruh pada sejumlah seniman muda Bali, Anak Agung Gde Sobrat dan Anak Agung Gde Meregreg. Merekalah yang kemudian meletakkan dasar-dasar perkembangan seni lukis Bali. Seni gambar tradisional Bali, yang senantiasa mengambil tema dari epos Ramayana dan Mahabarata, bergeser menjadi seni lukis dengan tema alam dan kehidupan sehari-hari. Dalam dunia tari, Spies "membebaskan" tari kecak dari upacara keagamaan. Tarian ini menjadi ungkapan ekspresi, yang melibatkan penyusunan komposisi (blocking) dan pengolahan irama. Pada tahun 1935, Walter Spies bersama Rudolf Bonnet dan Cokorde Gde Agung Sukawati mendirikan perkumpulan "Pitha Maha." Selain mengupayakan material kertas, cat, dan kanvas, perkumpulan ini memberikan pula bimbingan. Pitha Maha, dan juga Spies, tidak bisa disangkal, mempunyai peran penting dalam perkembangan seni rupa Bali modern. Jim Supangkat dan S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini