SANGAT terasa jarak yang cukup jauh antara (terutama) generasi muda kini dan lukisan kaca. Mereka niscaya merasa asing karena tak lagi mengenal legenda atau cerita pewayangan yang terungkap pada lukisan rakyat itu. Lukisan-lukisan sederhana itu mungkin juga terasa "kuno" atau "kampung". Suasana "aneh" seperti itu terasa dalam pameran lukisan kaca di Bentara Budaya Jakarta minggu lalu. Untuk memahami lukisan kaca kaligrafi ayat Quran mungkin masih ada beberapa yang bisa mengeja. Tapi anak-anak remaja sekarang sudah hampir tak bisa membaca (dan memahami) kaligrafi huruf Jawa berupa MDNMpepatah -- yang kini hampir tak lagi dikenal orang. Kesenian rakyat yang kini mulai langka itu umumnya menggambarkan alam pikiran atau persepsi "seniman pinggiran" terhadap legenda. Itulah yang ditawarkan tiga pelukis rakyat (Kartodihardjo, Sulasno, dan Maryono) di Bentara Budaya. Ada legenda Joko Tingkir (karya Maryono), Ande-ande Lumut (Maryono), Joko Tarub (Kartodihardjo juga Maryono). Legenda Joko Tarub sangat populer mungkin karena menceritakan putri-putri Kahyangan yang mandi telanjang di sungai. Begitu pula Buraq, "kuda terbang" yang berkepala wanita cantik itu. Juga ada cerita dan tokoh wayang atau cerita sejarah seperti Untung Suropati-Kapten Tack (Kartodihardjo), Airlangga dan Narottama (Sulasno). Tapi akar Islam memang lebih terasa. Hal itu misalnya tampak pada banyaknya tema Buraq, hewan legendaris yang dipercaya sebagai kendaraan Rasulullah dalam mikraj ke langit. Dalam pameran itu tampak pula beberapa lukisan mesjid, kaligrafi ayat Quran. Yang paling bagus ialah Mesjid (pelukisnya tak dikenal alias anonim) yang agaknya berusia paling tua. Ada pula yang bertema cerita kenabian. Yang juga banyak dilukis ialah kisah Nabi Sulaiman, yang konon mampu berbicara dengan "bahasa" hewan itu, tengah bercengkerama dan dihadap berbagai jenis hewan. Dalam pameran ini, lukisan tersebut diberi judul Manusia dan Hewan Darat, karya Sulasno. Pada lukisan baru, yang lebih banyak dipamerkan, tampak sekali ketidaksabaran pelukisnya. Garis-garisnya kurang cermat dan "asal jadi", sedangkan pada lukisan kaca yang berusia tua tampak betul kecermatan pelukis pada detil, dengan pilihan warna-warna yang kontras. Lukisan kaca bikinan baru yang dipamerkan hanyalah berupa sebuah "gambar", sedangkan lukisan tua menyiratkan sebuah "makna" yang magis. Umumnya pelukis lukisan kaca ialah rakyat kecil, yang tidak secara sadar mendudukkan dirinya sebagai pelukis profesional. Seperti misalnya Kartodihardjo, 80 tahun, dari Sleman (Yogya) yang tidak tamat SD. Sejak 1975 ia tidak lagi menggambar, lalu hidup sebagai petani. Maryono, 53 tahun, asal Muntilan, Jawa Tengah, sambil melukis ia mereparasi mebel dan menjadi tukang kayu. Ia kini masih menggambar. Seperti halnya Rastika, pelukis lukisan kaca beken dari Gegesik Cirebon, Sulasno, 35 tahun, yang hanya tamat SD, juga beruntung karyanya dibeli para peminat dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, Kuwait, dan Prancis. Bahkan dibeli pula oleh para kolektor. Mungkin karena apresiasi orang semakin baik, sedangkan perhatian terhadap kesenian rakyat mulai meningkat, maka para kolektor lukisan kaca pun bermunculan. Misalnya pelukis dan pembatik Ardiyanto. Di rumahnya di Jalan Magelang, Yogya, ia menyimpan sekitar 400 buah lukisan kaca. Sebagian bikinan tahun 1950, ada pula yang sudah berusia 100 tahun. Koleksi ini terdiri atas beberapa seri: seri wayang, seri mesjid, seri pengantin, seri barong, seri Buraq, seri kaligrafi. Menurut Ardiyanto, lukisan mesjid lazimnya buatan orang pesisir, seperti Cirebon atau Gresik, sedangkan lukisan wayang adalah bikinan orang pedalaman. Ia mengoleksi sejak 1974, ketika orang belum menyadari nilai lukisan kaca hingga harganya pun sangat murah: Rp 1.000 sebuah. Dulu orang menjual lukisan kaca sebagai barang dagangan biasa: ditumpuk dan ditaruh dalam keranjang pikulan dan dijual di pasar. Atau karena dipesan orang. Ardiyanto dulu memburu lukisan ke desa-desa, seperti Srandakan dan Mayongan di Bantul, Yogya. Tapi kini ia yang didatangi orang yang menawarkan lukisan. Kini harga lukisan kaca makin melejit, Rp 15.000 sampai Rp 100.000, seperti yang dipamerkan di Bentara Budaya itu. Ada satu lukisan koleksi Edy Setyawan, 46 tahun, kolektor di Sumenep (Madura), seharga Rp 60.000. Padahal lukisan itu dibeli 14 tahun lalu. Dari sekitar 30 buah koleksinya, kebanyakan bertema Buraq dan kaligrafi ayat Quran yang disusun berbentuk gambar hewan, seperti burung atau kuda. Lukisan kaca banyak terdapat di Madura: di Bungkek, Batang-Batang, Ambunten. Di Batang-Batang pernah dikenal pelukis lukisan kaca yang sangat beken dan laris, namanya Pak Telas. Ia melukis sampai akhir hayatnya, meninggal tahun 1985 lalu dalam usia 70 tahun. Anak sulungnya, Momar, melanjutkan tradisi ayahnya. "Tapi karena pesanan orang mulai surut, ia lebih suka bertani," kata Edy kepada Edy Hafidl dari TEMPO. Lukisan kaca, yang di zaman baheula dipajang orang di sebagian desa karena dipercayai bisa menolak bala, dikenal sejak abad ke-17 di Eropa kemudian menyebar ke berbagai penjuru di Asia. Menurut Maman Nurjaman, sarjana seni rupa ITB yang menulis skripsi Ungkapan Perlambangan pada Lukisan Kaca Cirebon (1985), Indonesia mengenal teknik lukisan kaca dari Arab, Persia, India, Cina, dan Jepang. Ada dua sumber yang mempengaruhi teknik pengungkapan lukisan kaca di Indonesia, yaitu Cina dan Arab. Lukisan kaca Cirebon, Pekalongan, Semarang, Pasuruan, Yogya, dan Medan umumnya dipengaruhi teknik pengungkapan Cina, sedangkan yang dari Bengkulu dan Banda Aceh terpengaruh ungkapan Arab. Pengaruh itu berbaur dengan pengaruh Hindu (tema wayang) dan Islam yang tampak pada kaligrafi ayat Quran atau mesjid. Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), Ida Farida (Bandung), R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini