TINGGAL SESAAT LAGI Pemain: Ita Mustafa, David Mirhard, Roy Marten, Frans Haryadi Skenario: Djasman Djakiman Sutradara: Eduart Pesta Sirait DIA gadis kota, mahasiswa komputer, cantik, anak tunggal dalam keluarga. Dan dia pemuda cerdas, mahasiswa kedokteran, pewaris kebun cengkih berhektar-hektar. Kedua insan ini, Ria Hilman dan Pance Tambayong (masing-masing diperankan Ita Mustafa dan David Mirhard), bertemu secara kebetulan di pusat pertokoan mewah. Mereka jatuh cinta, menikah diam-diam dan berbahagia tapi tidak untuk selama-lamanya. Ketika anak pertama lahir, ibu muda itu meninggal dunia. Dia menderita kanker darah. Sehabis menonton film ini, mungkin Anda teringat Love Story atau sederet judul film yang bercerita tentang kemenangan kanker atas manusia. Sampai kini kanker memang belum bisa dilawan, hingga kisah-kisah sekitarnya selalu berakhir dalam kesedihan. Dengan sendirinya, tema seperti ini tidak menawarkan hal baru, sedang kematian sudah merupakan keharusan. Hanya bedanya, dalam film ini kehadiran maut tidak dibiarkan menjadi dominan. Ria dipatahkan kanker, tapi seorang bayi yang sehat telah menggantikan tempat kosong yang ditinggalkannya, di sisi Pance. Patah tumbuh hilang berganti. Yang menarik di sini, kanker sebagai penyakit mendapat porsi dan telaah yang baik. Dimulai dengan pemeriksaan dokter, konflik batin penderita, debat antara dokter dan Pance si calon dokter tentang penyakit ganas itu, yang akhirnya berujung pada satu: kehendak dan kebesaran Tuhan. Semua ini masih dilengkapi cekcok ayah (Roy Marten) lawan Ria, yang tidak tahu bahwa putrinya menderita kanker. Klimaks terjadi dalam konflik terbuka antara bapak mertua (ayah Pance, diperankan Remy Silado) dan Ria. Ayah ini, yang sudah lama berniat menjodohkan putra sulungnya dengan gadis pilihan di kampung kelahiran (Minahasa), tidak bersedia mengakui sang menantu yang waktu itu sudah hamil besar. Sejak Gadis Penakluk, hingga Bila Saatnya Tiba dan terakhir Tinggal Sesaat Lagi, Sutradara Eduart P. Sirait untuk kesekian kali membuktikan kebolehannya menggarap psikologi wanita. Penyajiannya halus, cukup peka mengambil jarak, tidak berat sebelah, dan tidak terjerumus pada kecengengan, seperti yang biasa dilakukan beberapa sutradara lain. Tampaknya Eduart paham betul dunia wanita, yang selalu berurai air mata tapi yang oleh pihak pria salah ditafsirkan sebagai kelemahan. Padahal, di balik itu, seperti yang tercermin dalam film ini, ada sikap, ketabahan, keberanian. Singkatnya, pergolakan jiwa wanita telah dibangun dengan baik, terjalin dalam interaksi yang masih diperkaya oleh warna lokal. Dan warna lokal ini dihadirkan wajar, tidak sekadar tempelan. Mungkin karena faktor-faktor itu semua, porsi dakwah yang diwakili Romo (Frans Haryadi) toh tidak sampai terasa berlebihan. I.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini