Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Di TALOA Ia Ditempa

Berangkat ke Amerika untuk ikut pendidikan penerbang, Omar Dani lulus dan masuk kelompok terbaik. Dia dianggap sebagai kakak oleh teman-temannya.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERU mesin pesawat Dakota DC-4 Mount Fairweather memecah kesunyian Samudra Pasifik. Lepas landas dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, pesawat bermesin empat piston itu terbang menuju Bakersfield, Amerika Serikat, selama tiga hari dua malam. Di dalamnya terdapat 60 calon penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia, termasuk Omar Dani.

Perjalanan itu berlangsung pada November 1950. Inilah untuk kedua kalinya Angkatan Udara Indonesia mengirimkan kadet terbaiknya untuk belajar di luar negeri. Sebelumnya, pada 1947, beberapa siswa penerbang juga pernah dikirim ke India. Tapi kala itu mereka terkatung-katung di sana akibat adanya agresi militer Belanda—yang kedua kalinya—di dalam negeri. Program ini sempat terhenti.

Di Bakersfield, California, para kadet dipersiapkan menjadi penerbang dan navigator. Mereka inilah yang akan menjadi pilot utama pesawat tempur buatan Uni Soviet dan Eropa Timur yang dimiliki Indonesia saat itu, seperti MiG-17, pengebom Tupolev TU-2, dan pesawat pemburu Lavochkin LA-11.

Sebelum bergabung sebagai calon penerbang, Omar Dani bekerja di Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia). Memanfaatkan rekomendasi kesehatan dari tempat kerjanya itulah ia lolos tes seleksi dan diterima sebagai salah satu calon penerbang di Angkatan Udara Republik Indonesia.

Setiba di California, para kadet yang kebanyakan bekas tentara pelajar mendapat sambutan khusus. Mereka dianggap sebagai warga kehormatan. Sambutan hangat juga mereka rasakan di Academy of Aeronautics, Transocean Air Lines Oakland Airport (TALOA), tempat mereka ditempa. TALOA, terletak di wilayah Minterfield, adalah sekolah penerbangan sipil yang dikelola penerbang Amerika era Perang Dunia II.

Ketika mengikuti pendidikan, Omar Dani berusia 26 tahun. Di antara para kadet ia tergolong senior. ”Bagi kami, Omar Dani itu seperti kakak. Usianya jauh di atas kami,” kata Mohammad Saleh Basarah, kini 81 tahun, yang saat mengikuti pendidikan berusia 21 tahun. Kebanyakan dari mereka baru saling mengenal.

Selama mengikuti pendidikan, para calon penerbang dibagi ke dalam enam kelompok. Pembagiannya berdasarkan tinggi badan. Omar Dani yang berpostur jangkung masuk kelompok pertama. Rekannya antara lain Saleh Basarah, Makki Perdanakusuma, dan Nursan Iskandar. Mereka menempati barak yang sama.

Menurut Saleh, Omar Dani, yang dipanggil Daned selama pendidikan, memiliki pribadi yang matang dan santun. ”Dia tak pernah marah atau berteriak-teriak.” Malah Omar Dani disukai para kadet lainnya karena memiliki keterampilan khusus: piawai mencukur rambut. ”Sama dia gratis. Kalau cukur di luar ongkosnya US$ 1,5,” ucap Saleh, yang mengaku mendapat uang saku US$ 50 per bulan.

Selama belajar di TALOA para kadet banyak mendapat ilmu tentang seluk-beluk teori dan praktek penerbangan. Pesawat yang mereka gunakan jenisnya tergantung tahap pendidikan yang mereka lalui: Boeing Stearman PT-17 Kaydet di tahap dasar, Aeroncu pada tahap pemula, T-6 untuk tahap lanjutan, dan C-47 Dakota untuk pelaksanaan navigasi jarak jauh dan menjelang akhir pendidikan.

Di luar kegiatan rutin, mereka juga mendapat kesempatan bergaul dengan penduduk setempat. ”Di sana kami punya bapak asuh. Namanya Bill Rea,” kata Omar Dani. Rea, karyawan perusahaan gas dan listrik, mengatur semua kehidupan para kadet di luar asrama, seperti menonton bioskop atau rekreasi.

Setelah belajar setahun, 45 kadet terpilih sebagai penerbang. Sisanya menjadi navigator. Omar Dani tak hanya lulus sebagai penerbang, tapi juga masuk 20 penerbang terbaik. ”Kelompok crème de la crème,” kata Agustinus Andoko, salah satu kadet yang kini berusia 79 tahun. ”Mereka sangat pintar.”

Menyandang predikat sebagai penerbang pilihan, Omar Dani dan 19 penerbang lainnya, seperti Makki Perdanakusuma dan Leo Wattimena, terpaksa tinggal lebih lama di TALOA untuk melanjutkan pendidikan sebagai instruktur penerbang selama tujuh bulan.

Sekembali ke Tanah Air, Omar Dani dan para lulusan TALOA mendapat pangkat letnan muda udara satu. Sebagian diberi tugas di sekolah penerbang Kalijati, Subang, Jawa Barat, menggantikan instruktur penerbang asal Amerika Serikat. Lainnya, termasuk Omar Dani, diterjunkan ke skuadron. Dia mendapat tugas sebagai pilot pesawat Dakota, Skuadron 2 di Pangkalan Udara Cililitan.

Karier militer Omar Dani tergolong cepat melejit. Tatkala usianya belum genap 38 tahun, ia dilantik menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara. Di bawah pimpinannya, awal 1960-an, Angkatan Udara Indonesia mencapai puncak kejayaan dan sangat disegani di kawasan Asia Tenggara. Masa keemasan itu meredup sejak meletusnya peristiwa Gerakan 30 September.

Dua lulusan TALOA lainnya, Sri Mulyono Herlambang dan Saleh Basarah, juga sempat menduduki posisi Kepala Staf Angkatan Udara.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus