Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara penyiar MetroTV Meutya Hafid, Jumat pekan lalu, terdengar serak dan terbata-bata. Kali ini dia tidak sedang membaca berita, tapi berpidato di Hotel Sahid, Jakarta, menandai peluncuran bukunya berjudul 168 Jam dalam Sandera. Itulah kisah ketika Meutya dan juru kamera Budiyanto disekap mujahidin di tengah gurun Ramadi, Irak, dua tahun silam.
Meutya dan Budi saat itu diberi tugas meliput berita di negeri seribu satu malam, setelah invasi pasukan Amerika dan sekutunya. Nahas itu datang dalam perjalanan meliput peringatan Asyuraâperistiwa kematian cucu Nabi Muhammadâdi Karbala. Mereka dibebaskan melalui negosiasi alot antara pemerintah Indonesia dan kelompok mujahidin.
Lewat buku ini, Meutya, 29 tahun, ingin berbagi dengan sesama jurnalis agar pandai menjaga diri selama melakukan liputan. âKadang-kadang modal percaya diri dan bismillah saja tidak cukup,â katanya. Dia mengaku prihatin atas banyaknya korban jurnalis di daerah konflik lantaran kurang waspada.
Mutâsapaannyaâjuga ingin berterima kasih kepada warga setanah air yang sudah turut mendoakan keselamatannya selama penyekapan di gua kecil di tengah gurun, yang bisa saja setiap saat diledakkan bom. âBuku ini utang saya. Bukan untuk diri saya tetapi untuk semuanya,â katanya menahan tangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo