Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK pementasan tari tradisional Matah Ati di Esplanade Theater Singapura, 22-23 Oktober, Bendoro Raden Ayu Atilah Soeryadjaya dan Jay Subiyakto rela membawa panggung sendiri. ”Lantaran berat, kami bawa menggunakan kapal laut,” ujar Jay, yang berperan sebagai penata artistik. Semua biaya pengangkutan ditanggung sendiri. ”Tidak ada bantuan pemerintah,” dia menambahkan.
Panggung dengan berat berton-ton itu akan menopang 95 penari Jawa dan musisi gamelan. Matah Ati merupakan pertunjukan langendriyan, menggunakan tembang dan gerak tari Jawa klasik. Ceritanya diangkat dari kehidupan nyata Rubiyah atau dikenal dengan nama Raden Ayu Matah Ati. Dia adalah istri Mangkunagara I atau Raden Mas Said, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyowo.
Demi keinginan memperkenalkan pusaka budaya ke lingkup internasional, Atilah, yang juga keturunan langsung Mangkunagara I, tidak ingin setengah-setengah bekerja. Dia sekaligus ingin meluruskan anggapan orang luar bahwa Solo merupakan daerah asal para teroris. ”Kami ingin mematahkan anggapan itu,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo