Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari di tahun 1989.
Saya baru pensiun sebagai pegawai negeri sipil, pada tahun sebelumnya. Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Juan Antonio Samaranch menawari saya bekerja di kantornya di Swiss. Saya tidak langsung mengiyakan.
Ketika itu, saya jawab akan pikir-pikir dulu. Lalu ada penerimaan anggota baru IOC mewakili negara. Calon dari Indonesia antara lain saya dan Bob Hasan. Saya sudah diwawancarai untuk posisi itu di Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan—Red.), Jakarta.
Saat saya sedang memikirkan pekerjaan di luar negeri itu, tiba-tiba Pak Try Sutrisno menelepon dari Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Cilangkap. Waktu itu dia Panglima Angkatan Bersenjata, sekaligus Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia. Dia meminta saya membantunya di Persatuan Bulu Tangkis untuk persiapan menuju Olimpiade Barcelona di Spanyol, 1992.
Saya pernah membina beberapa cabang olahraga, seperti renang, gulat, tinju, dan atletik, tapi tak pernah berurusan dengan bulu tangkis. Bahkan menepok bulu angsa atau menghitung skor permainan saja saya tidak bisa.
Saya katakan terus terang hal itu kepada Pak Try, tapi beliau ngotot. ”Kami membutuhkan ilmu olahraga Pak Siregar,” begitu ucapan Pak Try kepada saya. Beliau juga menyampaikan perintah Presiden Soeharto bahwa Indonesia harus meraih medali emas di Olimpiade Barcelona.
Tanpa pengalaman, saya langsung diminta memegang posisi Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, sekaligus Kepala Proyek Barcelona. Selama enam bulan pertama saya belajar kepada para pelatih dan pemain: Christian Hadinata, Susi Susanti, Rosiana Tendean, dan lain-lain.
Saya tak malu bertanya apa saja kepada mereka, dari jenis latihan sampai variasi permainan di lapangan. Kemudian saya intensif memberikan masukan kepada mereka. Saya juga mendatangkan ahli fisik dan psikologi dari Amerika dan Belanda untuk meningkatkan kemampuan pemain.
Pak Try Sutrisno mendukung dengan segala sumber daya yang ada. Waktu itu dana berlimpah. Kebutuhan gizi pemain dicukupi. Sebelum dan sesudah berlatih, mereka harus minum aneka vitamin dan makanan suplemen. Mereka juga dilatih disiplin seperti militer.
Sayangnya, sebulan sebelum Olimpiade Barcelona dimulai, saya terkena stroke. Saya langsung dikirim ke rumah sakit jantung di San Francisco, Amerika Serikat, dan dirawat selama sebulan. Saat dalam perawatan, saya menyampaikan ke dokter, saya ingin ke Barcelona lima menit saja untuk berbicara kepada atlet-atlet saya. Setelah melalui diskusi panjang, permintaan itu akhirnya dikabulkan.
Dari San Francisco, saya ke Barcelona didampingi istri dan anak. Saya tidak menonton pertandingan, tapi hanya menyampaikan tiga hal kepada para pemain. Pertama, rakyat di Tanah Air meminta Susi Susanti meraih medali emas, begitu juga pemain lain. Kedua, jangan takut menghadapi lawan, karena mereka juga takut. Ketiga, raket jangan dibuang-buang, karena raket itu teman untuk meraih emas.
Setelah itu, saya kembali ke San Francisco. Selama sakit, saya tidak boleh menonton, membaca koran, pokoknya harus dijauhkan dari semua informasi tentang Barcelona.
Hasil latihan intensif itu terbukti memuaskan. Kita sukses menyandingkan medali emas di nomor tunggal putri dan putra lewat Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Itulah emas-emas pertama yang kita raih di Olimpiade. Di tunggal putra, kita juga meraih medali perak lewat Ardy Wiranata dan perunggu lewat Hermawan Susanto.
Di masa Try Sutrisno, secara keseluruhan pemain bulu tangkis Indonesia memang disegani atlet negara lain. Kita tak pernah kehabisan stok pemain karena berhasil menyiapkan enam lapis pemain berdasarkan umur di setiap nomor. Mereka berasal dari pemusatan latihan di daerah, juga dari klub.
Medali emas di Olimpiade Barcelona itu cuma salah satu kenangan indah saya selama membina olahraga. Kenangan lain yang tak terlupakan adalah saat mempersiapkan kontingen Indonesia ke Pesta Olahraga se-Asia Tenggara (SEA Games) di Kuala Lumpur, 1977.
Saat itu Indonesia dipandang sebelah mata oleh negara lain. Thailand, Malaysia, dan Filipina lebih diunggulkan. Tidak ada sambutan ketika kontingen kita datang. Ternyata, dari tujuh nomor yang dipertandingkan di hari pertama, kita berhasil memborong enam medali emas.
Prestasi kontingen Indonesia langsung menimbulkan heboh di media massa setempat. Rahasia keberhasilan itu adalah sistem pemusatan latihan berjenjang di setiap cabang olahraga, dari pemusatan latihan daerah sampai nasional.
Kita juga mengirim atlet berlatih di negara lain, misalnya atlet-atlet renang berlatih di San Diego, Amerika Serikat. Kemudian kita mendatangkan pelatih asing ke Indonesia. Pemerintah mendukung dengan dana.
Prestasi di SEA Games 1977 saya anggap hebat. Beberapa negara, seperti Malaysia dan Thailand, kemudian meniru cara kita membina atlet dengan mengirim mereka berlatih ke luar negeri. Terbukti, pada SEA Games 1985 di Bangkok, Thailand berhasil menjadi juara.
Setelah kita kalah di Bangkok, saya dipanggil Presiden Soeharto. Beliau marah dan bertanya: mengapa kita kalah? Saya jawab, supaya tidak kalah, harus latihan. Saya jelaskan juga bahwa di Jakarta banyak orang pintar tapi tak mau bekerja.
Akhirnya Soeharto, yang sangat menaruh perhatian terhadap olahraga, menerbitkan keputusan presiden agar semua menteri membantu pembinaan. Hasilnya terbukti pada SEA Games 1987: kita kembali juara dengan membanting Thailand.
Di zaman Soeharto, mencari dana untuk pembinaan olahraga tidak terlalu susah. Saya biasanya menghadap beliau dan membicarakan masalah dana. Pak Harto kemudian meminta saya mendatangi para pengusaha. Saya, misalnya, pernah mendatangi Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo untuk meminta bantuan dana.
PERTAUTAN saya dengan dunia olahraga dimulai dari hobi. Sejak kecil, saya suka bermain sepak bola dan berenang di Kali Malang, Jakarta Pusat, yang ketika itu airnya berwarna cokelat tapi bersih, tak ada sampah.
Pada Desember 1948, saat berusia 20 tahun, saya menjadi ketua panitia pelaksana pertandingan renang di kolam renang Manggarai, Jakarta Pusat. Saya juga ikut bertanding di nomor gaya punggung, tapi tidak menang. Kemudian di tempat itu saya ikut mendirikan klub Tirta Kencana.
Pada 1950-an, ketika bersekolah di Bandung, saya ikut mendirikan klub Tirta Marta. Kemudian saya menjadi pengurus Persatuan Renang Seluruh Indonesia. Tatkala kuliah di Akademi Pendidikan Jasmani, saya juga menjadi anggota Ikatan Olahraga Mahasiswa Bandung.
Saya ikut Pekan Olahraga Mahasiswa di Yogyakarta sebagai pemain sepak bola dan pelari jarak 1.500, 3.000, dan 5.000 meter. Teman saya antara lain pelari Bram Matulesi. Dia yang menjadi juara. Saya sendiri menekuni lari cuma sampai 1953.
Tamat dari Akademi Pendidikan Jasmani, 1954, saya langsung diangkat menjadi pegawai negeri, yaitu sebagai guru pendidikan jasmani di Sekolah Guru Pendidikan Dasar Negeri Bandung. Saya diberi rumah di belakang markas Divisi Siliwangi di Jalan Seram, Bandung.
Di sana, pada 1955, saya menikahi Darliah Nasution—anak ibu kos saya. Dia bekerja sebagai guru di sekolah luar biasa. Seperti saya, dia suka olahraga renang.
Selama menjadi guru, saya cuma mengajar olahraga. Kemudian saya diangkat menjadi kepala kursus B-I pendidikan jasmani. Semasa di Bandung, pada 1960-an, saya juga aktif di Persatuan Tinju Gulat. Ketika itu, dua cabang olahraga ini masih bernaung di bawah satu organisasi.
Pada awal 1960-an, suhu politik merembet ke dunia olahraga. Setelah Asian Games 1962 di Jakarta, Indonesia diskors oleh Komite Olimpiade Internasional karena tidak mengundang Taiwan dan Israel, yang menjadi anggota Federasi Asian Games. Skorsing itu membuat Indonesia makin dekat dengan Cina dan Uni Soviet.
Dalam situasi seperti itu, saya memutuskan melanjutkan pendidikan. Kebetulan, melalui Menteri Olahraga Maladi, saya kenal dengan Bung Karno. Saya katakan kepada Bung Karno, saya ingin mencari beasiswa dan kuliah di Amerika, biar pintar. Bung Karno setuju.
Pada 1963-1964, saya kuliah di Amerika Serikat, mengambil program master pendidikan jasmani di Springfield College, Massachusetts. Enam bulan sebelum kuliah saya tamat, Bung Karno meminta saya pulang untuk menjabat Deputi Menteri Olahraga Bidang Prestasi.
Saya menjawab: tunggu sampai kuliah saya tamat. Saat itu, 1964, bertepatan dengan diselenggarakannya Olimpiade Tokyo, Jepang. Saya mengikuti perkembangannya dan mempelajarinya dari Amerika.
Setamat kuliah, pada 1965, saya pulang dan langsung melapor ke Menteri Olahraga Maladi. Kemudian beliau membawa saya menghadap Bung Karno di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Ketika itu, Bung Karno menugasi saya membawa Indonesia ke peringkat pertama di Asia dan 10 besar dunia. Saya tertawa karena kurang yakin. Tapi Bung Karno meyakinkan bahwa kita bisa berprestasi di Olimpiade 1976.
Saya dan Pak Maladi kemudian membuat program kerja untuk sepuluh tahun. Di antaranya harus mengembangkan delapan cabang olahraga, yaitu sepak bola, renang, bola voli, bola basket, bulu tangkis, atletik, senam, dan tenis meja.
Program ini langsung dijalankan. Departemen Olahraga dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama. Saya menjadi Deputi Menteri Olahraga sampai Orde Lama bubar.
Di masa Orde Baru, pada 1968, saya ditunjuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Saya duduk di Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mewakili bidang olahraga.
Saya tidak tahu kenapa ditunjuk. Mungkin karena saya orang yang berani ngoceh di sidang pleno Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai olahraga. Teksnya masih ada. Ketika itu, saya menjelaskan peran olahraga dalam pembinaan dan perkembangan bangsa. Dasar pemikirannya saya ambil dari gagasan Bung Karno.
Pada 1969-1971, saya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia. Ketuanya waktu itu Amir Murtono. Pada 1978, bersama Harmoko (anggota pimpinan Komite Olahraga) dan Subrata, kami menggagas perlunya undang-undang tentang olahraga. Ide ini kami matangkan pada 1981, dan baru pada 2005 Undang-Undang Olahraga itu diterbitkan.
Di zaman Pak Harto, olahraga dianggap sebagai alat kekuatan perjuangan untuk kemajuan bangsa. Pertama kali saya berhubungan dengan beliau saat ditunjuk sebagai ketua pelaksana kegiatan Trilomba Juang.
Pada sidang pleno Majelis Permusyawaratan Rakyat, 15 Agustus 1981, Pak Harto mengeluarkan pernyataan tentang ”Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”. Semboyan itu merupakan sumbangan saya.
Ceritanya, pada acara peluncuran atlet nasional pelajar seluruh Indonesia, saya berada di samping kiri Pak Harto. Saya ditanya Pak Harto: kenapa anak Kupang berlari tidak pakai sepatu? Saya jawab, mereka tidak punya duit untuk beli sepatu.
Mereka juga tidak punya sepeda. Jadi mereka harus lari bila pergi ke sekolah. ”Wah, kalau begitu, olahraga lari sudah memasyarakat,” kata Pak Harto. Saya sampaikan bahwa nanti saya akan menulis bagaimana masyarakat ingin berolahraga. Olahraga itu muaranya dua: kebugaran dan prestasi. Kebugaran untuk membangun generasi yang lebih berkualitas di kemudian hari, prestasi untuk mengharumkan nama bangsa. Kemudian saya ciptakan semboyan yang mulanya berbunyi ”Mengolahragakan Masyarakat dan Memasyarakatkan Olahraga”. Tapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef membalik kalimatnya menjadi ”Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”.
Di masa Orde Baru, saya terus-menerus bekerja di bidang olahraga. Saya menjadi Direktur Pembinaan Bidang Prestasi setelah Kementerian Olahraga dilebur ke dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jabatan itu saya emban sampai Kementerian Pemuda dan Olahraga dibentuk lagi, pada 1983.
Kemudian saya pindah ke kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, tetap sebagai Direktur Pembinaan Prestasi, sampai pensiun pada 1988, di bawah kepemimpinan Menteri Akbar Tandjung. Setelah pensiun, saya diminta menjadi penasihat.
Sekarang, pada umur hampir 80 tahun, saya masih dipercaya menjadi Ketua Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga. Jabatan ini saya emban sampai 2009. Saya yang paling tua di komisi ini..., he-he-he….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo