Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CEROBONG itu tidak lagi mengepulkan asap hitam. Lama tak beroperasi, pabrik pengolahan kayu lapis di Waisarisa, Seram Bagian Barat, Maluku, itu sudah lama ditinggal pergi pemiliknya. Sepi. Tak berpenghuni. Yang tersisa hanya pucuk-pucuk bangunan yang kusam. Tak terlihat sedikit pun sisa-sisa kejayaan masa silam.
Padahal dulu di sana beroperasi PT Artika Optima Inti. Pada era 1990, perusahaan kayu lapis Grup Djajanti ini paling tersohor di Indonesia. Inilah salah satu lumbung duit konglomerasi bapak-anak, Burhan Uray dan Soedjono Varinata. Pada masa itu, Burhan adalah penguasa hutan di Tanah Air. Luas hak pengusahaan hutannya 2,9 juta hektare. Tak hanya di Maluku, ”kerajaan hutannya” tersebar di Kalimantan dan Papua.
Tapi krisis ekonomi 1997 plus konflik sosial yang mendera Maluku dua tahun kemudian mengguncang imperium bisnis Burhan. Tak cuma di hutan, sayap bisnis Djajanti di laut juga berantakan. Kerusuhan pada Januari 1999 itu membakar perkantoran PT Daya Guna Samudera, perusahaan Burhan di sektor perikanan, yang terletak di Jalan Mardika, Ambon. Kini yang tersisa hanya puing dan beberapa pengungsi yang tinggal di sana. ”Setahu saya, Daya Guna sudah berhenti beroperasi,” kata Bambang Suboko, bekas Presiden Direktur Daya Guna.
Saat bisnisnya limbung, utang delapan perusahaan Djajanti di Bank Dagang Negara (lebur ke Bank Mandiri) malah menggelembung akibat jatuhnya nilai rupiah. Ketika kesepakatan restrukturisasi utang diteken dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 3 November 2000, nilainya menembus Rp 2,8 triliun dan US$ 140,3 juta. Sebagian besar utang, sekitar Rp 846 miliar, tercatat atas nama Artika Optima.
Djajanti sulit bangkit karena kerusuhan di Maluku tak kunjung reda. Bisnis pria kelahiran Pakucing, Singkawang, Kalimantan Barat, itu terjepit di tengah konflik yang membara. Kejatuhan ”raja hutan” itu seperti menunggu waktu. Artika Optima akhirnya mengerek bendera putih. Sejak dua tahun lalu, perusahaan kayu lapis itu berhenti berproduksi. Janji perusahaan membayar gaji yang tertunggak selama setahun kepada lebih dari seribu karyawan tak kunjung terlaksana.
Kisah gemilang Bong Sun On alias Burhan di tanah Ambon tamat. Senasib dengan Burhan, bisnis kayu Prajogo Pangestu di Maluku juga tumbang. Kantor PT Barito Timber di Passo, Kecamatan Baguala, Ambon, kini senyap. Halaman di sekitar bangunan dua lantai itu ditumbuhi rumput liar.
AMUK massa yang terjadi di Maluku membuat posisi investor serba sulit. Pilihannya: hengkang selamanya atau memindahkan sementara basis operasi dengan konsekuensi biaya produksi bertambah. PT Nusantara Fishery salah satu yang memilih opsi kedua. Menjaring rezeki di Laut Aru sejak 1971, anak perusahaan Taiyo Fishery Company Ltd.—perusahaan perikanan kedua terbesar di Jepang—ini memilih eksodus ke Makassar dan Kendari pada 2000.
Baru tiga tahun kemudian, perusahaan itu kembali ke Kate-kate, Ambon. Tidak seperti sebelumnya, Nusantara Fishery kini hanya berfokus di pengolahan udang. Adapun usaha penangkapan ikan sudah lama ditinggalkan karena tekor akibat biaya bahan bakar kapal yang kian melambung. Padahal prospek perikanan di sana begitu menjanjikan. ”Laut ibarat sawah yang tidak perlu diberi pupuk,” ujar M. Susantio, pemimpin operasional PT Nusantara Fishery.
Sayang, sejak kerusuhan meledak, pemasukan Nusantara Fishery pas-pasan. Udang beku yang diekspor ke Jepang hanya 600-700 ton per tahun. Hasil penjualan udang itu, kata Susantio, hanya cukup agar perusahaan sekadar bertahan. ”Sudah tidak ada untung lagi,” katanya. Uluran dana dari Taiyo sebagai perusahaan induk belum ada realisasinya.
Beruntung, sejak 2004 masih ada beberapa perusahaan asing yang melirik industri perikanan di sana. Mereka datang dari Thailand, Singapura, Jepang, Cina, dan Australia. PT Nissui Investment and Management Indonesia—anak perusahaan Nippon Suissan asal Jepang—misalnya, telah membenamkan duit di Maluku Tengah US$ 25 juta. Kapasitas produksi udangnya saat ini 230 ton.
Yang diincar para pemodal asing itu apa lagi kalau bukan laut yang melimpah-ruah. Dengan luas wilayah kelola laut 152.570 kilometer persegi dan 92,4 persen daerahnya didominasi oleh perairan, provinsi itu cocok untuk dijadikan basis pengembangan industri perikanan tangkap, budi daya laut, dan pengolahan ikan.
Industri perikanan itu masih berpeluang tumbuh. Sebab, dari potensi ikan 1,6 juta ton per tahun, masih 60 persen yang belum dimanfaatkan. Begitu pula dengan budi daya ikan dan udang yang baru 0,02 persen diolah dari potensi yang ada.
Tak mengherankan bila setiap tahun, jumlah kapal penangkap ikan yang singgah di Pelabuhan Perikanan Nusantara meningkat. Menurut Kepala Pelabuhan Frits P. Lesnussa, jumlah kapal yang menepi pada 2006 mencapai 903 kapal. Adapun enam tahun lalu, saat situasi masih tidak menentu, kapal yang merapat cuma 43.
Terletak di Teluk Ambon, pelabuhan dengan panjang dermaga 430 meter itu mampu menampung 20 unit kapal bertonase 100 gross tonnage sekaligus. Dari pelabuhan itu, ekspor perikanan tahun lalu menembus US$ 105 juta. Pencapaian ini dua kali lipat hasil ekspor 2003.
Namun menggeliatnya sektor ini tidak diimbangi oleh derasnya aliran modal asing. Meski jumlah perusahaan penangkapan ikan yang mendapat izin bertambah—kini 424 perusahaan—curahan investasi asing di sektor ini malah melorot. Dari rencana investasi US$ 19 juta pada 2007, yang terealisasi tidak ada.
Salah seorang pemodal Jepang yang sudah lebih dulu menancapkan fulus di Maluku mengatakan, menyusutnya curahan dana asing itu karena para investor ragu menggelontorkan duit mereka. ”Infrastruktur yang belum memadai, sulitnya mencari tenaga kerja yang andal, dan lambatnya pembebasan lahan menjadi kendala utama,” katanya.
NASIB sektor perikanan di Maluku itu sesungguhnya masih lebih baik ketimbang perkebunan. Sejak prahara sosial melanda wilayah itu, luas area perkebunan menyusut lebih dari setengahnya. Sejak itu, penambahan lahan perkebunan jalan di tempat. Situasi ini sungguh kontras mengingat empat abad lalu hasil rempah-rempah Maluku menggema hingga ke Eropa.
Meski Kepala Bidang Program Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Maluku R.E. Manuhuttu berkali-kali mengatakan Maluku sudah aman untuk investasi, harapan akan adanya pemodal asing di sektor perkebunan masih jauh dari harapan.
Upaya Menteri Pertanian Anton Apriyantono mempromosikan potensi perkebunan Maluku ke investor mancanegara sejak beberapa tahun lalu membentur tembok. ”Mereka masih khawatir akan faktor keamanan,” kata Anton.
Sejak dia menjabat menteri, tidak satu pun investor yang mau melirik Maluku. ”Yang ada malah beberapa pengusaha hengkang,” ujarnya. Padahal, secara geografis, menurut Anton, Maluku berpotensi dikembangkan sebagai kawasan ekonomi agroindustri.
Kalaupun ada yang tertarik, para pemodal itu belakangan balik badan. Seperti PT Tianjin Longwit Sawit Jaya dan PT Tianjin Longwit Sawit Makmur. Dua perusahaan Cina itu berikhtiar membuka lahan kelapa sawit di Kabupaten Seram Bagian Barat pada Maret 2007. Tapi keduanya angkat kaki setelah tidak mendapat kejelasan memperoleh lahan.
Di Kabupaten Seram Bagian Timur, PT Timur Nusa Perdana juga mengalami hambatan. Dari 80 ribu hektare lahan yang direncanakan, perusahaan milik investor Singapura itu baru mendapat izin 20 ribu hektare. ”Itu pun masih bermasalah dengan pihak kehutanan,” kata Kepala Subdinas Bina Program Dinas Pertanian Maluku Suryadi Sabirin.
SERETNYA investasi di dua sektor itu tentu saja di luar harapan, mengingat Pemerintah Provinsi Maluku sudah menetapkan kelautan dan perikanan serta pertanian dan perkebunan rampah-rempah sebagai sektor unggulan. Nyatanya, kontribusi dua sektor itu tak lebih dari 10 persen pertumbuhan. ”Pertumbuhan ekonomi Maluku lebih digerakkan oleh konsumsi rumah tangga,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Maluku Johanes Bambang Kristianto.
Kini Pemerintah Provinsi Maluku juga menggantungkan harapan pada sektor pertambangan. Lima blok minyak dan gas yang ada di Maluku akan ditenderkan bersama 21 blok lainnya oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas pada Oktober ini.
Tapi keinginan Maluku mengembangkan area pertambangan juga bukan perkara mudah. Tambang nikel di Gunung Tinggi, Kecamatan Piru, Seram Bagian Barat, contohnya. Eksploitasi di area tambang seluas 10 ribu hektare itu sempat ditentang warga Dusun Loun dan Dusun Telaga. Sebab, kawasan itu dulunya kebun cengkeh, jeruk, kelapa, dan pisang milik warga. Kini area itu dijaga aparat Kepolisian Resor Seram Bagian Barat. ”Tak ada yang boleh masuk ke lokasi. Kalau masuk, bisa ditangkap,” ujar La Malasia, warga Dusun Telaga.
Yandhrie Arvian, Mochtar Touwe (Maluku)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo