Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWALNYA hanya sebuah hadiah. Ketika remaja, Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa mendapat songket tua dari neneknya. Ketika itu Okke—panggilan akrab istri Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa itu—belum menyadari betapa berharganya hadiah tersebut. Perempuan 53 tahun itu hanya menyimpannya di peti kayu berukir yang juga didapat dari sang oma. Ketika menikah dan pindah ke rumah sendiri, ia pun menjadikan kain-kain itu sebagai pajangan. Lama-kelamaan, Okke jatuh cinta pada kain tradisional itu. Lantas dia mulai bergerak mencari dan mengumpulkan kain tenun lain.
Tak sekadar menjadi kolektor, ibu empat anak ini menghimpun sejumlah penggemar tenun di Tanah Air. Pada akhir Agustus lalu, mereka meluncurkan Perkumpulan Cita Tenun Indonesia di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Organisasi ini bertujuan melestarikan sekaligus memasarkan tenun Indonesia. Dalam acara berjudul Pesona Kharisma Tenun Indonesia yang digelar perkumpulan ini, dipamerkanlah metode pembuatan tenun tradisional dari berbagai daerah. Selain itu, ada peragaan busana tenun dari enam daerah: Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.
Indonesia memang kaya akan kain tenun. Hampir setiap provinsi memiliki jenis kain tradisional dengan keunikan masing-masing. Inilah yang mendorong Okke giat memburu tenun Tanah Air. Perjuangan mengumpulkan kain tenun bukan hal yang mudah, terutama kain tradisional yang tua atau langka. Ia bukan hanya harus mencari hingga ke pelosok daerah, melainkan mesti ”merayu” pembuatnya. Bukan sekadar agar mendapat harga murah, melainkan supaya mendapat cerita di balik kain itu. Ibu empat anak ini makin kepincut pada tenun ketika tahu sejarah dan fungsinya yang beragam di tiap-tiap daerah.
Untuk mengumpulkan kisah kain, ia memulai dari kampungnya sendiri: Komering, Palembang. Dulu, di tempat kelahirannya itu, nilai perempuan yang akan menikah ditentukan kepandaiannya menenun. ”Semakin halus tenunan, semakin baik wanita itu,” katanya. Hasil tenunan itu biasanya mencerminkan ketelitian, kesabaran, dan rasa keindahan pembuatnya. Mungkin, pada zaman sekarang, hal seperti itu terasa mengada-ada. Namun, menurut Okke, nilai filosofis dari cerita itu adalah betapa pentingnya posisi kain tenun dalam masyarakat kita.
Selain Okke, ada Sjamsidar Isa, 62 tahun, pencinta dan kolektor tenun sejak muda. Wanita yang akrab disapa Cammy ini jatuh cinta pada kain tradisional karena nilai sejarahnya, tingkat kesulitan membuatnya, serta variasinya yang beragam dibandingkan dengan tenun dari negara lain. Bagi Ketua Ikatan Perancang Mode Indonesia ini, mengoleksi kain adalah ”memelihara aset budaya yang tak ternilai”.
Itu sebabnya, ia rela menelisik ke pedalaman mencari kain tradisional. Tak mesti yang tua, tapi juga yang baru namun dengan proses pembuatan dan motif tradisional. Ia pernah menyambangi Waingapu, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, dengan perjalanan darat untuk mendapatkan kain-kain tua. Cammy juga pernah berburu kain sampai ke Los Palos, Timor Leste. Di bekas wilayah Indonesia itu, ia bertemu dengan orang-orang tua yang menenun dan mencelup kain secara tradisional. Baginya, berburu kain bukan seperti memilih barang di toko. ”Kenikmatannya justru ada di ngobrol-ngobrol dengan penenun dan menggali sejarah kain ini,” kata alumnus sekolah tekstil di Jerman ini.
Cammy dan Okke memang tak sekadar mereguk kenikmatan mendapatkan barang baru, tapi justru kisah di balik kain itu. Kain tak hanya untuk pesta, tapi juga acara adat, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Kain songket Sumatera, misalnya, bisa dibedakan dari warna yang menyala dan benang emasnya. Pada masa lalu, warna emas itu memang berasal dari kain yang dicelup ke dalam emas cair. Tak mengherankan bila nilainya sangat tinggi.
Di Belu, Nusa Tenggara Timur, kain tenun tampil dengan warna-warna alam yang cenderung gelap. Ukurannya pun lebih panjang daripada tenun dari daerah lain. Rupanya, di provinsi itu, kain tenun dipakai sampai di bagian dada perempuan dengan sabuk di bagian pinggang. Tak hanya itu, kain yang panjang itu juga berfungsi sebagai penutup jenazah. Jika ada yang meninggal, keluarga yang datang membawa kain dan menutupi si mayat. Tubuh yang sudah mati itu dianggap kering, sedangkan kain berfungsi sebagai ”pendingin”. Semakin banyak kain yang disampirkan, artinya semakin baiklah si pemilik raga itu semasa hidupnya.
Nilai-nilai filosofis dan sejarah seperti inilah yang membuat Okke makin tergila-gila pada kain. Jika ikut dalam kunjungan kerja suaminya, Okke selalu berusaha meluangkan waktu untuk berburu kain. Kepuasannya, kata dia, bukan pada harga yang mahal, melainkan justru pada kisah di balik kain itu. Misalnya, suatu ketika, ia bersama rombongan penggemar tenun jauh-jauh menyambangi Desa Tenganan di Bali untuk mendapatkan kain Grinsing. Inilah kain tenun ikat ganda khas desa yang berpenduduk asli Bali atau Bali Aga ini. Kain ini bernilai tinggi, antara lain, karena memakai pewarna alami, seperti rumput atau kayu. Bahkan, menurut salah satu legenda, di masa lalu, warna merah di kain ini berasal dari darah. Meskipun sebatas dongeng, kisah-kisah semacam ini memberikan nilai lebih pada kain Grinsing.
Tatkala Tempo mengunjungi rumahnya, Okke menghamparkan sejumlah koleksi tenunnya dari berbagai daerah. ”Saya cuma belum punya tenun dari Papua,” katanya. Maklum, tenun tradisional di daerah itu hanya dimiliki oleh pemuka adat dan jarang dijual ke orang luar.
Lantaran mahal dan sulit dicari inilah tenun tradisional pun membutuhkan pemeliharaan khusus. Ada yang digantung melebar, digulung, bahkan disimpan rapat-rapat di dalam peti. Semua tergantung bahan, benang, dan usia kain. Tenun berbahan emas harus digulung, sedangkan yang sudah uzur biasanya mesti dimasukkan ke peti agar suhunya terjaga. Tenun yang digulung pun harus dilapis dengan kain agar benang-benangnya tak bergesekan. Sesekali, kain-kain cantik ini diangin-anginkan. Menurut istilah Okke, kain butuh bernapas juga.
Cammy membeberkan trik lain menyimpan tenun. Di sela-sela kain disisipkan merica bubuk. Tujuannya agar kain tak lembap karena terkurung dalam lemari. Merica mengeluarkan hawa hangat yang ikut memelihara keawetan kain. Selain itu, wangi rempahnya membuat tenun berbau harum. Cammy tak menyarankan kain digantung di luar lemari dalam waktu lama. Karena Indonesia termasuk negara yang panas dan berdebu. Ia khawatir warna kain memudar dan kualitasnya menurun.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo