Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI pengajar penulisan kreatif, Ayu Utami merasa kemampuan anak muda menulis dalam bahasa Indonesia menurun drastis. Dari pengalamannya mengajar, tulisan jelek bertambah dari tahun ke tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayu mengaitkan kemampuan menulis dengan interaksi anak muda di media sosial. Lewat medium itu, kata dia, siapa saja bisa menulis, tak peduli tulisannya bagus atau jelek, tata bahasanya rapi atau berantakan. “Ini ada hubungannya dengan paparan mereka terhadap tulisan jelek tanpa melalui proses pengeditan,” ujar Ayu, Jumat, 28 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada zaman dulu, kata Ayu, orang biasanya mengetahui tulisan dalam kaidah yang baik dan benar meski secara lisan berantakan. Kala itu, masih banyak teks yang bisa dibaca dan sudah melalui proses pengeditan. “Adanya media sosial, teknologi digital, setiap orang bebas menulis sehingga banyak tulisan jelek. Bahasa tulisannya, ejaannya jelek. Singkatannya, enggak keruan. Anak-anak sekarang melihat yang seperti itu,” ucap penulis novel Saman itu.
Ayu mengajak para muridnya berani menulis lebih dulu, terstruktur, dan tetap punya muatan spontanitas. Barulah di akhir pelajaran ia mulai cerewet mencari “kotoran” tulisan mereka. “Kesalahan berbahasa itu saya sebut jigong. Saya bilang tulisan yang jigongnya banyak berarti jorok, enggak bertanggung jawab,” katanya. Ayu sempat memberikan kado sikat gigi dan odol kepada murid yang tulisannya paling “kotor”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo