LIMA hari berkunjung di Indonesia, selama pekan lalu, Yang Di-Pertuan Agung Malaysia Sultan Iskandar, dan istrinya, Sultanah Zanariah, lebih banyak jalan terpisah. Tempat yang dikunjungi juga lain-lain. Sultan, yang gemar tampil pakai seragam militer, dan dengan lengan baju digulung, lebih tertarik meninjau pusat-pusat kemiliteran, seperti Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta, dan Akademi Militer di Magelang. Di Cijantung, Sultan, yang berkualifikasi Ranger ini, diangkat sebagai warga kehormatan Baret Merah - atribut komandonya disematkan oleh Pangab Jenderal Benny Moerdani. Di Akademi Militer Magelang, setelah meninjau kampus, tetap dengan seragam tentara, Sultan bersembahyang Jumat bersama taruna. Sedangkan Baginda Raja Permaisuri Agung Sultanah Zanariah lebih tertarik pada soal-soal kebudayaan dan sosial. Ia, selama di Jakarta, antara lain mengunjungi Pesantren Assyafi'iyah. Ketika anak-anak yatim pesantren itu menyuguhkan drama Ziarah di Malam Takbir Sultanah sempat menitikkan air mata karena haru. "Beliau sedih ketika mendengar lagu Tabur Bunga dalam drama itu," cerita Dra. H. Tutty Alawiyah, pimpinan Pesantren Assyafi'iyah. Di pesantren ini, Sultanah yang menyumbang Rp 4,5 juta, disuguhi santap siang. Ketika disuguhkan salak Condet, Sultanah bertanya, "Salak Condet? Lebih terkenal mana dengan salak Bali?" Tutty Alawiyah, tidak menjawab, tapi mempersilakan tamunya mencicipi kelezatan salak itu. Pulau Bali rupanya juga punya arti tersendiri bagi Sultan. Bukan lantaran salak saja, tapi karena di dekat Kuta, ada kubur orang Belanda, De Lange. Di luar acara yang disusun, pasangan ini minta diantar ziarah ke makam itu. Kepada Gubernur Bali Mantra, Sultan berbisik bahwa putri De Lange kawin dengan leluhurnya. "Darah Balinya ada empat persen," kata Mantra, menirukan Sang Raja, sebelum tamu negara itu kembali ke Malaysia, Sabtu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini