Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah Pembaruan Sebuah Tradisi

Kisah perjuangan k.h. a. dahlan, pendiri muhammadiyah yang memajukan umat islam dengan cara pemurnian syariat & liberalisasi. dimulai dari kesultanan yogyakarta, tumbuh menjadi tradisi pembaruan di indonesia.(ag)

14 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMASA kecilnya, Muhammad Darwis tak pernah pergi sekolah. Ia adalah putra zaman peralihan abad XIX-XX, di saat seorang putra pemangku Masjid Kesultanan Yogya dianggap haram bersekolah formal (Belanda). Ayah Darwis sendirilah yang mendidiknya mengaji, sebelum mengirimkannya ke ulama lain untuk memperdalam agama, seperti lazim di kalangan terpelajar Islam waktu itu. Begitu juga dengan kawan-kawannya yang sebaya di Kampung Kauman - meski ada juga yang masuk sekolah zending dan missie, satu hal yang di belakang hari menggertak Darwis untuk mendirikan sekolahnya sendiri. Kepergiannya menuntut ilmu ke Mekkah membuatnya berpikir lebih (bahkan, akhirnya, lain) dari rekan-rekan segenerasinya. Darwis, yang setelah jadi haji bernama H. Ahmad Dahlan, beruntung bisa melaksanakan rukun kelima ini dua kali. Yaitu pada saat berusia dua puluh dua, 1890, dan tiga belas tahun kemudian. Pada kunjungan kedua ini ia sempat berguru selama dua tahun kepada Syekh Ahmad Chatib, ulama kelahiran Bukittinggi 1855 yang berkedudukan sebagai imam mazhab Syafii di Masjid Al Haram. Pada Syekh Chatib juga belajar Hasjim Asj'ari, yang kelak menjadi pendiri NU (TEMPO, 22 Juni, Laporan Utama). Menurut Deliar Noer, guru besar itu termasuk penentang aliran pembaruan yang didakwahkan Muhammad 'Abduh di Mesir. Tapi ia toleran: tak melarang murid-murid mempelajari segala tulisan cendekiawan Mesir yang waktu itu ada di akhir umur (meninggal 1905), misalnya lewat majalah Al'Urwatul-Wufsqa (diterbitkan di Paris) dan Tafsir al-Manar. Konon, ia berharap para muridnya, dengan ajaran-ajaran sang syekh, akan menentang aliran yang mempropagandakan dibukanya kembali pintu ijtihad itu. Malang, tidak seperti Hasjim Asj'ari dan sebagian yang lain, Dahlan justru tertarik. Termasuk kepada pemikiran 'Abduh untuk memajukan umat Islam melalui pendidikan - dengan cara baru - dan bukan melalui politik praktis yang dipropagandakan Tamaluddin Afghani, rekan dan guru 'Abduh. Betapapun, inti ajaran dua tokoh besar itu sama: modernisasi tak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan - yaitu jika ajaran Islam di kembalikan (hanya) kepada Quran dan Sunah, lalu penafsirannya disesuaikan dengan zaman. Dengan kata lain: pemurnian Islam dan (dalam istilah sekarang) liberalisasi, meski yang kedua itu akan terbukti terbatas. Dahlan kembali ke Yogya. Tetap berhubungan dengan Mesir lewat publikasi yang terbatas, ia mulai menyebarluaskan pendapatnya. Sebagai penggemar ilmu falak (astronomi), hal pertama yang dicoba diperbaikinya adalah arah kiblat salat. Saat itu, di Indonesia, orang bersembahyang persis menghadap ke barat. Padahal berdasarkan perhitungan Dahlan, seharusnya agak ke utara sedikit. Maka, sebagai salah seorang dari 12 imam di Masjid Agung Kesultanan Yogya, ia mencoba membuat kiblat di masjid itu lebih akurat. Sayangnya, atasan Dahlan waktu itu, K.H. Muhammad Chalil Kamaluddiningrat, tak sependapat. Ketika Dahlan dan beberapa santrinya memaksa membuat garis saf baru di masjid itu (malam hari), penghulu masjid menjadi murka dan memerintahkan anak buahnya merusakkan surau Dahlan - yang baru dibuat, dengan kiblat baru. Merasa tersisih, Dahlan ngambek: bersama istrinya ia bermaksud hijrah dari Yogya. Beruntung, Kiai Saleh, kakak iparnya, mengurungkan niat itu: Dahlan dibuatkannya surau baru (dengan bangunan yang berkiblat persis ke barat). Dari situlah, kemudian dari Masjid Agung - yang akhirnya mengikuti ajarannya, termasuk soal kiblat - ia menyebarkan fatwa-fatwanya. Apalagi ketika ia juga pergi ke beberapa daerah lain sambil berdagang. Pada 1909 ia masuk Budi Utomo. Tindakan yang bijak, mengingat anggota Budi Utomo umumnya akan bekerja di pemerintahan, dan dengan begitu ada harapan ia dapat mengajarkan agama di sekolah-sekolah pemerintah. Sambutan kalangan Budi Utomo ternyata mantap. Wajar - mengingat ajaran Dahlan membuat Islam terasa selaras dengan cara berpikir anggota perkumpulan yang berpendidikan barat ini. Langsung atau tak langsung, Islamnya Dahlan seperti menjadi identitas baru bagi para pemuda yang sudah tercampak dari lingkungan tradisi mereka tapi belum diterima (dan tidak akan pernah diterima penuh) oleh lingkungan Belanda itu. Bisa dimengerti kalau para ulama tradisional - yang sangat menentang Belanda sangat menentang Dahlan pula. Dengan penafsiran konvensional pada Hadis: "Siapa yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk kaum itu", segala bentuk yang menyerupai identitas Belanda (kafir) dianggap kafir juga. Tidak hanya celana dan dasi. Tapi juga yang akhirnya ditiru Dahlan itu: sekolah dengan bangku dan meja. Lebih hakiki dari itu, Dahlan bukan saja menyerang sinkretisme dan pengaruh animisme maupun agama lain yang dianggapnya menodai Islam dan sudah membudaya, yang juga diserang para ulama tradisionalis. Tapi juga praktek-praktek murni keagamaan seperti tahlilan dan segala ritus yang tidak jelas-jelas bersumber pada Quran atau Hadis yang sahih (autentik). Tak pelak lagi, para ulama pun menuduh Dahlan mendirikan mazhab baru, atau "bikin tafsiran Quran baru". Adalah kalangan Budi Utomo yang menganjurkan Dahlan membentuk organisasi bagi penyebaran pahamnya. Pertimbangan utamanya: agar sekolah yang didirikannya bisa berjalan terus tanpa bergantung kepada si pendiri. Maklum, banyak pesantren yang mundur atau tutup setelah pendirinya meninggal. Alhasil, pada 18 November 1912 Muhammadiyah resmi berdiri. Ada dua tujuan: "Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputra di dalam regentie Djokjakarta" dan "Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya". Pembatasan kepada daerah Yogya itu, disebut Alfian dalam disertasinya, semata-mata untuk memperoleh izin dari pemerintah Belanda. Ternyata, Muhammadiyah menemukan lahan yang subur untuk berkembang. Para pemuda pribumi yang mulai mengecap pendidikan Barat, kalangan priayi, menjadi salah satu kelompok yang rajin mengunjungi tablig Dahlan. Seorang di antaranya bernama Soekarno, yang mengaku terpukau pada tablignya ketika mengikutinya pertama kali di Surabaya pada usia 15. Menurut pengakuan Soekarno kemudian, dari situ ia mendapat jawaban mengapa banyak negara Islam tenggelam, dan bagaimana agar bangkit kembali. Soekarno mendapat kartu anggota Muhammadiyah pada 1938, dan (tentu saja) tak pernah melepaskan keanggotaannya. Dalam pada itu, tablig Dahlan di depan kongres Budi Utomo, 1917 (yang diselenggarakan di rumah haji ini), menghasilkan permintaan para anggota BU untuk membuka cabang Muhammadiyah di berbagai tempat. Akibatnya, anggaran dasar organisasi harus diubah (1920 dan 1921), agar dapat menampung perkembangan baru. Yang khas dari anggaran dasar ini: Muhammadiyah tidak akan membuka cabang di satu tempat, sebelum ada bukti terdapatnya suatu kegiatan rutin di situ - baik sekolah, masjid yang aktif maupun kegiatan sosial lain. Tercatat banyak kegiatan sosial yang kemudian melebur ke dalam Muhammadiyah - Nurul Islam di Pekalongan misalnya, atau Sendi Aman Tiang Selamat di Minangkabau. Dan, yang paling signifikan, misalnya Penolong Kesengsaraan Umum (PKU), yang mulanya merupakan perkumpulan yang dibentuk untuk membantu korban letusan Gunung Kelud, 1918, kemudian bergabung dan menjadi induk semua rumah sakit Muhammadiyah. Sedangkan 'Aisyiah (wanita Muhammadiyah) berasal dari Perkoempoelan Kaoem Perempoean Sopotresno di Kauman, Yogya. Menurut Deliar Noer, sebagian kegiatan Muhammadiyah merupakan hasil peniruan kegiatan misionaris Kristen. Misalnya saja rumah yatim, atau klinik kesehatan itu, atau rumah jompo. Juga Hizbul Wathan (HW), yang konon didirikan setelah Kiai Dahlan mengamati kegiatan kepanduan misi di alun-alun Mangkunegaran, 1918. Dan HW inilah yang memberikan pengalaman berorganisasi yang pertama kepada Soeharto, yang memasukinya ketika ia siswa SMP Muhammadiyah, seperti ditulis Roeder dalam buku biografi Presiden. Dari luar Jawa, menurut Taufik Abdullah, orang Minang memainkan peranan besar dalam pesatnya pertumbuhan Muhammadiyah. Mungkin disebabkan awal sejarah pemurnian Islam punya akar yang panjang di daerah itu - sejak Imam Bonjol, awal abad lalu. Ditambah lagi kebiasaan masyarakatnya yang suka merantau dan berdagang, yang menyebabkan penyebaran ajaran berjalan sepesat jalur perniagaan. Dalam catatan Sejarawan Taufik, peserta terbanyak dari seluruh pertemuan Muhammadiyah di Pulau Jawa adalah di Pekalongan (1927), yakni 6.000-an. Tapi tiga tahun kemudian, di Bukittinggi, tercatat kehadiran sekitar 30 ribu partisipan. Satu hal agaknya perlu diingat. Bahwa orang-orang Minang itu bersedia dengan tulus hati menerima organisasi yang datang dari Jawa, itu hanya menunjukkan semangat keagamaan yang (ingat, ini adalah tahun 1920-an) sama sekali "bebas suku". Bahkan, seperti dituturkan Taufik Abdullah, pernah pada satu foto (yang tak bisa lagi ditemui) dari para pemimpin Muhammadiyah dari Jawa dan Sumatera: yang Jawa memakai destar penghulu Minang, yang Minang memakai blangkon. Malahan bukan hanya antarsuku. Konsul Muhammadiyah Sumatera Selatan 1944-1946, misalnya, adalah Abdul Karim Oey Tjeng Hien, keturunan Cina. Tersebutlah kisah K.H. Ahmad Dahlan. Suatu malam, penghulu Keraton Yogya ini membangunkan Sri Sultan untuk memberi tahu: berdasarkan perhitungannya (hisab), Lebaran jatuh esok hari. Tapi, ternyata, Sultan tak mengubah keputusan resmi yang memutuskan Lebaran jatuh pada hari sesudahnya, dan K.H.A. Dahlan pun diam saja. Sikap Muhammadiyah yang - paling tidak pada lapisan atas - cukup luwes itu (ada keyakinan: "Bila kita telah menyampaikan kebenaran, diterima ataupun tidak, tugas kita selesai"), barangkali merupakan modal utama keberadaannya selama 73 tahun ini. Tapi dalam hal politik, organisasi ini bukan saja luwes ia malah boleh dikatakan netral. Kelitan Muhammadiyah dari rangkulan politik sudah dilakukannya sejak 1920-an, ketika ia berselisih paham dengan kelompok Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang juga organisasi pembaruan. Pasalnya, kelompok Thawalib menginginkan keterjunan Muhammadiyah ke bidang kebangsaan, yang tak urung berarti politik, sementara Muhammadiyah sejak mula lebih berorientasi pada kemasyarakatan dan terbukti Muhammadiyah terus berkembang ketika para penganut garis keras itu memisahkan diri dari Muhammadiyah ke dalam Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) - yang dibubarkan Belanda pada 1934. Juga terkenal perselisihan Muhammadiyah dengan Partai Sarekat Islam: H.O.S. Tjokroaminoto mengkritik sikap Muhammadiyah yang tetap mau memanfaatkan bantuan pemerintah (Belanda) bagi program sosialnya. Setelah Muhammadiyah terlibat dengan Masyumi di masa Orde Lama (tanpa menjadi partai politik tersendiri seperti NU), dan ini membuahkan kesulitan baginya di masa akhir pemerintahan Soekarno itu, dalam era Orde Baru ini ia berhasil menjauhkan diri dari kemelut PPP yang berlarut-larut: ia, berbeda dengan NU, bukan satu unsur langsung di situ. Muhammadiyah terus saja membangun sekolah, masjid, poliklinik, dan kegiatan sosial lainnya. Tak kurang dari 43 perguruan tinggi, sembilan rumah sakit, 308 klinik kesehatan, dan lebih dari 12.000 sekolah merupakan angka yang membanggakan bagi 700-an ribu anggota yang memegang kartu serta, katakanlah, "separuh umat Islam aktif" di Indonesia yang berada dalam pengaruhnya. Muhammadiyah memang bukan lagi hanya organisasi. Ia sudah sebuah kultur, dikembangkan oleh - seperti dikatakan Taufik Abdullah - organisasi pembawa tradisi pembaruan Islam di Indonesia. Dengan kata lain, agaknya, ia sudah tradisi. Bambang Harymurti Laporan Musthafa Helmy dan Kepustakaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus