USTAZ A. Gaffar Ismail memberi ceramah Nuzulul Qur'an di Masjid
Amir Hamzah Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 17 Ramadhan lalu.
Mubaligh besar dari Pekalongan ini (lahir di Bukittinggi, 1911),
dan ayah penyair Taufiq Ismail terkenal dengan 'Pengajian Malam
Selasa"nya di rumahnya yang berhadapan dengan Lapangan
Sorogenen, Pekalongan. Ada kira-kira 1.500 pengunjung tiap
minggu -- di samping memenuhi undangan ke berbagai kota.
Orang di sana bilang: kalau pengin menangis dengan khusyu',
pergilah ke pengajian Pak Gaffar. Ceramahnya (yang sudah dimulai
sejak 1932) pekat dengan tasauf, selalu menyarankan penyucian
jiwa, dengan mengambil tema Al Qur'an ayat demi ayat.
Di masjid TIM malam itu ia menuturkan, ada seorang rekannya
dulu, orang Jepang, bertanya begini: apakah Qur'an boleh
diterjemahkan ke bahasa Jepang -- oleh seorang beragama Shinto?
Soalnya, di Nippon sana kawannya sedang menterjemahkan Qur'an
semata-mata sebagai karya sastra.
Ustaz Gaffar ternyata tak bisa menjawab alias bingung. Itu waktu
tahun 1944, dan Gaffar Ismail adalah Wakil Kepala Redaksi sinaY
Baroe di Semarang. "Ini yang ingin saya ceritakan kepada Saudara
H.B. Jassin, umpama ia ada dalam pertemuan kita ini," katanya.
Sayang malam itu Jassin tak sempat hadir. Tapi Ustaz Gaffar
terus bercerita. Ia akhirnya dapat bertemu dengan penterjemah Al
Qur'an dari Nippon itu. Bulan Rajab kemarin Pak Gaffar ke Jepang
atas undangan Keluarga Islam Indonesia dan memberikan beberapa
ceramah di Tokyo dan Kobe. Dan ia, tentu saja, dihubungkan
dengan pusat-pusat Islam.
Waktu menghadiri jamuan Dr. Ahmad Syauqi Futaki, Direktor Royal
Hospital dan penggerak salah-satu organisasi pusat Islam, tuan
rumah berkata "Kami sebenarnya punya pelindung di sini" dan
disebutnya nama Alhaj Omar Mita Ryoichi, biasa dipanggil 'Mita
Sensei' (Orang Alim Mita). Nah, orang inilah yang menterjemah
Qur'an yang dulu diceritakan di zaman Nippon itu.
Ia mulai menterjemahkan kitab suci itu kira-kira tahun 1936 atau
1937 dari bahasa Cina ke bahasa Jepang. Ia menemukan Qur'an
ketika berada di Mancuria sebagai pegawai. Di tengah-tengah
penterJemahan la kemudian masuk Islam dan berhaji -- dan tentu
saja belajar Bahasa Arab.
Ia sendiri punya pembantu beberapa kawan, terdiri dari beberapa
bangsa, yang menunjukkan kepadanya terjemahan Qur'an dalam
bahasa masing-masing. Terakhir ia bahkan dibantu pemuda-pemuda
Jepang sendiri yang bersekolah di Al Azhar Kairo atau lulusan Al
Azhar Kairo. Dan terjemahan itu sebenarnya sudah agak lama
selesai. Tapi rupanya tidak bagi Haji Mita. Kenapa?
"Saya takut," katanya ketika beramah-ramahan dengan Ustaz Gaffar
di kantor Islamic Center. Padahal sudah 40 tahun! Dan padahal ia
orang terpandang dalam ilmu sastra.
"Sensei, berapa usia anda? "
"Tujuh puluh satu."
"Pada usia berapa ayah anda dahulu meninggal?" Ia tersenyum.
"Lebih muda dari saya sekarang," katanya.
"Nah, bukankah itu pertanda, barangkali Tuhan masih memberi
hidup anda supaya bisa menerbitkan terjemahan itu?"
Orang alim itu tersenyum lagi. Padahal Badan Mu'tamar Islam
Jepang sudah menyediakan dana buat menerbitkannya. Syukurlah
akhirnya ia berkata: "Mudah-mudahan bulan puasa tahun ini."
Kata Ustaz Gaffar di TIM: "Itu yang ingin saya tuturkan kepada
Saudara Jassin, sekedar oleh-oleh." Menurutnya, ia menghormati
pekerjaan Jassin itu, meski waktu yang diambilnya sungguh
terlalu singkat di samping ia sendiri punya beberapa kritik.
Tapi "H.B. Jassin tidak salah," katanya. "Yang salah ialah orang
yang mengecarnnya dan tidak membantunya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini