AGUSTUS ini, orang Indonesia menghadapi dua hal. Hari Ulang
Tahun Proklamasi dan Ibadah Puasa. Di beberapa tempat terlihat
rakyat tetap bersemangat menyelenggarakan perayaan-perayaan
secara tradisionil. Ada yang mengadakan lomba panjat-panjatan
dengan hadiah-hadiah yang remeh namun dikerebut dengan hangat
karena nilai spirituilnya. Sementara pasar-pasar bagai diamuk
oleh kesibukan baru, karena masuknya tukang-tukang obral
menjelang Lebaran, yang membuat para pemilik toko tertegun.
Di Jakarta, Semarang, Sala, Klaten, Pontianak, Pekalongan,
barangkali di seantero negeri ini ada yang berubah. "Tahun ini
pasar ramai dikunjungi, tapi tidak semua orang berbelanja,
mereka cuma melihat-lihat saja " kata A Seng kepada TEMPO di
Pontianak. Seperti Bubuk Makan Kayu Seperempat juta rakyat
Pontianak tidak serepot tahun lalu lagi. Pasar Seroja, pusat
perbelanjaan barang kelontong, tekstii dan perlengkapan rumah
tangga menjelang Lebaran kelihatan sepi. Para pedagang tak
berani memasukkan barang baru. Siang hari mereka kelihatan
ongkang-ongkang. Yang mendingan hanya pasar. Sekayam di belakang
Pos Polisi Besar di mana para tukang obral merebut kaki lima.
Mereka menjual tekstil dengan harga: Rp 250 - Rp 300 per meter.
Atau sebuah baju lengan pendek yang berharga Rp 1000.
Di Bandung, menelang pertengahan Agustus masih terasa sepi.
"Bila dibandingkan dengan tahun lalu, memang dirasakan masih
ramai tahun lalu," ujar Ahmad, seorang penjual kain. Ia mencatat
yang lebih laku sekarang adalah pakaian jadi. "Padahai harga
kain tahun lalu dengan sekarang tidak begitu beda," ujarnya
selanjutnya. Nurdin, seorang penjual pakaian jadi membenarkan.
Barang-barangnya memang laku lebih keras ketimbang hari-hari
biasa "Mungkin disebabkan karena banyak penjahit yang sudah
tidak sanggup menjahit baju dan celana," katanya menjelaskan. Ia
masih berharap mendekati Lebaran, kelesuan itu akan segera galak
kembali seperti dulu.
Di Medan, pusat perbelanjaan seperti Pusat Pasar, Pajak Hongkong
dan Pasar Ikan Lama, suasana seperti hari-hari biasa. Tak ada
yang menyolok. Kesepian ini mungkin di sebabkan karena pegawai
negeri tidak mendapat THR. Sedangkan pembayaran gaji yang
dipercepat, (lihat gambar -- pertengahan bulan) belum mereka
terima. Jadi mungkin sekali seperti bubuk makan kayu nafsu
besar, tenaga kurang. Bahkan di Jalan Surabaya -- masih di Medan
- tempat mondar-mandir kaum elit, kelihatannya saja ramai, jual
beli masih dapat dihitung dengan jari.
Adapun di Jakarta, para tukang obral memang berkoar-koar lebih
keras. Pusat Perbelanjaan Senen misalnya diserbu. Gang-gang,
halaman-halaman yang masih kosong diduduki. Setiap hari mulut
tukang obral itu berseru atas mengatasi menarik hati pengunjung.
Mereka memakai megapun, ada juga yang menawarkan dagangannya
dengan berpantun. Hampir semuanya pakaian jadi, jean dan
kaos-kaos yang warna-warni. Kompleks perbelanjaan menjadi
sumpek dan mobil, terutama hari Minggu tidak karuan lagi
banyaknya. Sampai-sampai taksi menolak membawa penumpang
menghampiri kompleks, karena takut macet. Tapi sementara itu
kompleks perbelanjaan yang lebih elit, seperti Blok M, tak
mengalami banjir uang meski pun pengunjungnya lebih banyak.
Tapi di Semarang, pembantu TEMPO melihat kombinasi menjelang
Lebaran dan Hari Proklamasi menanjakkan kesibukan. Demikian juga
di Sala dan Klaten. Tetapi ini ada alasannya. Sepuluh hari atau
seminggu sebelum Lebaran di sana dikenal "Malam selikuran"
(Tanggal 21 bulan Puasa). Pada hari itu Taman Sriwedari di Sala
serta di Alun-Alun Klaten diselenggarakan Pasar Malam
Tradisionil yang disebut "Maleman". Para pedagang tradisionil
akan keluar menjual keramik tanah liatnya. Juga akan terlihat
tontonan rakyat seperti ketoprak, wayang wong, komedi monyet,
sulapan -- pendeknya hari yang istimewa.
Bulus Keramat
Nanti setelah Lebaran berlalu, kesibukan itu masih akan
berkepanjangan. Di Klaten sesudah Lebaran pedagang dan tontonan
itu akan berjalan ke Jimbung dekat pegunungan Tembayat -- 10 Km
dari pusat kota. Di sana mereka akan mengadakan acara
"Syawalan". Di sana ada sebuah sendang yang dihuni oleh
kura-kura keramat bernama Bulus Belang. Selama sepekan kura-kura
belang itu akan jadi "Raja", tempat meminta kekayaan bagi
orang-orang yang percaya. Kabarnya, mereka yang dikabulkan
untuk jadi kaya, mula-mula kulitnya sendiri akan belang. Tapi
pantas dicatat, banyak penduduk setempat yang berkulit belang
tetapi tidak pernah kaya.
Di Jakarta tidak ada bulus ajaib seperti itu. Rakyat mencoba
menggembirakan hatinya dalam perayaan proklamasi dengan sesuatu
yang lebih sederhana -- sekedar meramaikan. Lihatlah potret. Di
Proyek Senen, di tengah kesibukan jual beli, sejumlah lelaki
begitu bernafsu merenggutkan sapu tangan, handuk, taplak meja,
barang-barang kecil yang disangkutkan di puncak permainan
"Panjat-panjatan" itu. Barangkali hanya beberapa orang dari
mereka beruntung dengan hasil yang tidak seberapa, namun mereka
telah mendapat sedikit kegembiraan.
Sedangkan di kampung-kampung, mahkota kejuaraan kampung dalam
catur diperebutkan oleh penduduk dengan semangat yang mungkin
jauh lebih kecil dari semangat Karpov, namun kesederhanaannya
mengharukan. Apalagi di kompleks pertokoan Tanah Abang tiba-tiba
muncul "Bioskop Tancap" -- bioskop darurat untuk rakyat banyak.
Sebuah kegiatan kecil, yang juga berlangsung di berbagai pelosok
kota. Namun tetap merupakan sebuah perhatian yang langsung bisa
dinikmati, sehingga entah kenapa setiap orang merasa mendapat
perhatian dalam kerepotan yang besar ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini