Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seusai jajak pendapat di Timor Timur tahun lalu, Amaral memang tinggal di negara bekas penjajah bangsanya. Istri dan dua anaknya ikut bersamanya, sementara dua anak yang lain tetap tinggal di Jakarta. Karena sangat mendadak dan tanpa pamit, kepergiannya dituding sebagai tindakan melarikan diri.
Namun, ia membantah. "Saya menghindar bertemu dengan orang Tim-Tim di Jakarta yang bertanggung jawab terhadap segala kejahatan dan pembakaran rumah di Tim-Tim. Kalau bertemu, pasti berantem. Lebih baik saya lihat dari jauh di negara netral," ujarnya kepada Diah Purnomowati dari TEMPO, yang menemuinya di Lisabon.
Pilihannya ini membuat hidupnya banyak berubah. Ia tak lagi menjadi sosok populer. Wajahnya hanya sempat muncul satu kali di koran setempat. Saat itu, ia memprotes penempatannya di apartemen sempit bersama tiga keluarga lain. Protesnya berbuah. Kini, keluarganya boleh menempati apartemen berkamar empat yang luas tanpa harus berbagi. Meskipun begitu, ia harus sangat berhemat. Tiap bulan uang pensiunnya sebagai bekas Wakil Bupati Baucau (1976-1978) hanya US$ 800, sementara subsidi pemerintah Portugal US$ 350 atau sebesar gaji minimum buruh.
Kebiasaan lama yang dipertahankan keluarga Amaral hanya masalah obat. Maklumlah, setelah 22 tahun hidup sebagai warga Indonesia, sakit Amaral dan keluarganya hanya bisa sembuh lewat obat produksi Indonesia.
Sebetulnya, Ramos Horta sudah menawarinya jabatan di pemerintahan Timor Loro Sa'e, tapi untuk sementara Amaral menolak. "Saya kan masih dianggap orang Indonesia," kata Amaral, yang kini getol menulis puisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo