Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Dari Hutan hingga Medan Tempur

Waldjinah adalah penyanyi sejati. Dia bisa menyanyi di mana saja: acara pernikahan, hutan, atau medan perang.

26 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski pernah berkali-kali menyanyi di Istana, sebenarnya saya terbiasa menyanyi di mana pun. Saya pernah menjadi penyanyi tetap di paduan suara untuk sebuah markas militer di kawasan Gladak, Surakarta, Jawa Tengah, yang saat ini telah berubah menjadi pusat belanja. Sesekali, grup keroncong kami juga diajak pergi ke medan tempur untuk menghibur tentara yang tengah istirahat. Salah satunya adalah menghibur tentara yang sedang menumpas gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Bumiayu, Jawa Tengah.

Setelah operasi selesai, kami pulang ke Solo naik truk. Perjalanan ternyata tidak selancar yang diduga. Di daerah Purwokerto, kami dihadang kelompok musuh. Terjadi baku tembak. Para penyanyi dan pemain musik menyelamatkan diri dengan bersembunyi di kolong truk. Untunglah pertempuran itu dimenangi para prajurit TNI. Kejadian ini tidak membuat kami jera menyanyi di daerah konflik.

Setelah jadi penyanyi tetap di markas tentara, saya akhirnya menjadi penyanyi tetap di RRI Solo. Namun itu tidak lama. Soalnya, ada aturan bahwa penyanyi tetap di RRI tidak boleh mencari job menyanyi di luar. Padahal saat itu banyak orkes keroncong yang mengajak saya pentas.

Saya akhirnya memutuskan menjadi penyanyi keliling, dari hajatan satu ke hajatan lain. Karena saat itu hampir tiap hajatan selalu menanggap orkes keroncong, saya hampir tidak memiliki masalah ekonomi. Bahkan, pada 1967, saya sudah mampu membeli sepeda bermesin, yang sering disebut otopet.

Order yang paling saya sukai adalah pentas di Gundi, daerah Purwodadi, Jawa Tengah. Di sana banyak hutan jati. Masyarakat di sana sering menyuguhkan makanan kepompong ulat jati yang digoreng. Meski saya sempat merasa jijik, ternyata makanan itu enak juga.

Meski pentas di kabupaten lain yang jauh dari Solo, saya selalu pulang ke rumah tiap malam. Sebab, anak-anak saya masih kecil. Saya pulang duluan dengan diantar penyanyi lain. Kami tak selalu mendapat kendaraan umum, bahkan kerap harus mencari tumpangan truk. Ada kejadian lucu tentang hal ini. Di Sragen, perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, pernah ada pengemudi truk yang ketakutan karena mengira kami kuntilanak. Maklum, saat pulang, kami tidak sempat menghapus make-up di wajah, ha-ha-ha….

Ahmad Rafiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus