Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Album Walang Kekek, yang dirilis pada 1969, meledak hingga menembus pasar luar negeri. Boleh dibilang, Walang Kekek telah mengubah hidup Waldjinah. Namanya kian menjulang dan dikenal di seantero Tanah Air serta mancanegara. Ia menjelma menjadi seorang superstar. Setiap kali dia berpentas, ribuan penonton mengelu-elukannya.
Walang Kekek juga ikut menerbangkan Waldjinah berpentas ke pelbagai negara, mempopulerkan keroncong, dari Singapura, Jepang, Yunani, Papua Nugini, hingga Suriname. "Sambutan penonton di Suriname sangat luar biasa. Habis pipi saya diciumi," ujarnya mengenang.
Pada 1969, pemilik studio rekaman Elshinta, Suyoso Karsono atau akrab dipanggil Mas Yos, meminta saya membuat rekaman di studionya. Dia menyampaikan keinginan itu setelah mendengar saya menyanyi di Hotel Indonesia, Jakarta. Setelah pulang ke Solo, saya mengajak anak-anak ikut ke Jakarta untuk mengantar saya rekaman. Sempat terpikir untuk mengembangkan karier menyanyi di Ibu Kota. Di sana semua kesempatan terbuka lebar.
Kami ke Jakarta naik kereta api Biru Malam (Bima)—alat transportasi yang sangat mewah untuk ukuran saat itu. Selain sudah dilengkapi penyejuk udara, kereta api itu menyediakan tempat tidur untuk istirahat. Tapi selama perjalanan saya tidak tidur. Saya mencoba membuat satu lagu yang kemudian dikenal sebagai Walang Kekek.
Meski berjudul demikian dan di liriknya ada disebut berkali-kali soal belalang hijau ini, sesungguhnya lagu itu bukan tentang belalang. Walang kekek hanya dipakai sebagai sampiran dalam lirik yang berbentuk pantun itu. Saya tak tahu dari mana kata itu muncul. Yang jelas, lagu ini mengubah hidup saya
Rekaman sekitar 10 lagu—termasuk Walang Kekek—saya jalani dengan lancar. Selain anak-anak, ada tokoh polisi yang sangat terkenal ikut menemani saya rekaman, yaitu Pak Hoegeng (mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Hoegeng Iman Santoso). Dia ternyata juga sangat suka musik keroncong.
Lagu Walang Kekek kemudian meledak di pasar. Entah berapa banyak piringan hitam yang terjual saat itu. Lagu itu selalu diputar di radio, media paling berpengaruh saat itu, karena televisi belum berjaya.
Bukan hanya stasiun radio resmi, bahkan radio amatir yang saat itu bebas siaran ikut memutarnya. Lagu Walang Kekek selalu mengalun sebelum radio menyiarkan angka undian yang keluar dari National Lottery (Nalo), yang memang ditunggu-tunggu masyarakat.
Setelah Walang Kekek, ada sejumlah rekaman yang saya buat. Saya sudah tidak begitu ingat jumlah album yang telah saya hasilkan. Selain tak pernah dicatat, koleksi album saya banyak yang hilang, termasuk album Walang Kekek. Jika dihitung-hitung, barangkali ada 1.700 lagu yang sudah saya nyanyikan. Jika satu album berisi 10 lagu, album yang saya hasilkan kira-kira 170 judul.
Selain menyanyikan lagu ciptaan sendiri, saya kerap menggunakan lagu milik Pak Gesang, Andjar Any, Darmanto, Ismanto, dan Waluyo. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Lagu ciptaan Darmanto biasanya berupa langgam murni. Lagu karya Gesang memiliki karakter yang lugu. Saya juga suka lagu-lagu Andjar Any, yang kebanyakan lucu. Sedangkan lagu ciptaan Ismanto cenderung gejulan. Saya membawakan lagu mereka hingga melejit di pasar, termasuk lagu saya yang berjudul Enthit.
Setelah rekaman Walang Kekek, rencana saya hidup di Jakarta gagal total. Saya hanya kerasan sepuluh hari di sana. Meski gagal menjadi artis Ibu Kota, kehidupan laksana seorang ratu pernah saya alami. Setiap kali pentas di suatu kota, saya selalu mendapat pengawalan voorrijder. Penonton selalu mengelu-elukan saya. Pada sebuah pentas amal di Malang, Jawa Timur, ada dua penonton yang tewas akibat membeludaknya penonton.
Popularitas membuat saya diajak oleh Golongan Karya untuk kampanye pada Pemilihan Umum 1971. Semua daerah yang saya hadiri mendapat kemenangan mutlak. Saya mendapatkan imbalan dengan pentas di Singapura pada 1971. Sekitar setahun kemudian, saya juga diajak merasakan pentas di Suriname.
Sambutan penonton di Suriname sangat luar biasa. Habis pipi saya diciumi. Perjalanan udara selama lebih dari 30 jam terbayar oleh rasa bangga. Honor yang besarnya Rp 1 juta sudah bisa untuk membeli rumah. Selanjutnya, saya juga pentas di Jepang dan Yunani. Saya menyanyi di Jepang sudah tujuh kali. Beberapa kali Pak Gesang saya ajak ke sana, karena penggemarnya memang banyak.
Masa kejayaan Waldjinah boleh dibilang mulai meredup seiring dengan era keemasan keroncong yang telah surut. Selain karena perkembangan zaman, surutnya musik keroncong disebabkan oleh terputusnya regenerasi pencipta syair lagu keroncong.
Waldjinah adalah satu di antara segelintir sosok yang mencoba mempertahankan musik keroncong. Dia terus membina bibit muda melalui Orkes Keroncong Bintang Surakarta yang dikelolanya. Bersama Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) Surakarta, dia juga menggelar Festival Keroncong Nasional setiap tahun.
Masa keemasan musik keroncong bisa dikatakan sudah lewat, berganti dengan musik-musik lain. Toh, semuanya sudah berhasil saya dapat. Penghasilan sebagai penyanyi keroncong sudah bisa mencukupi kebutuhan, termasuk menyekolahkan dan membelikan rumah semua anak saya.
Suami saya, Mas Soelis Moelyo Boedi, meninggal pada 1986. Setelah menjanda beberapa tahun, saya menikah lagi dengan Didit Hadiyanto. Sebelum menikah, saya sempatkan untuk pergi ke Tanah Suci Mekah.
Masa tua ini saya isi dengan mendengarkan lagu-lagu saya. Jujur, saya sering kagum saat mendengar lagu-lagu itu. Saya sendiri tidak menyangka bahwa suara saya bisa sebagus itu. Saya juga sering kaget saat mendengar suara saya yang kenes. Sekali lagi, selama menyanyi, saya sama sekali tidak merasa kemayu.
Banyak yang bilang, suara saya tidak berubah hingga saat ini. Tidak ada obat khusus untuk menjaganya, kecuali minum ramuan jahe dengan gula batu. Demikian juga dengan tubuh dan wajah, saya tidak pernah pergi ke salon untuk perawatan khusus. Kunci kesegaran wajah adalah sering menggunakan masker dari tomat sebelum mandi.
Tapi, saya menyadari, kemampuan saya menyanyi sudah turun. Hal itu terjadi sejak saya sakit di bagian usus, beberapa tahun lalu. Sekarang saya hanya sanggup menyanyi dengan iringan alat musik keroncong. Sedangkan untuk gamelan dan campursari, saya mulai kesulitan. Padahal dulu saya sering menyanyikan lagu campursari milik Manthous, yang baru saja wafat.
Musik keroncong memang sempat mati suri, terutama sejak Departemen Penerangan dihapus. Lomba Bintang Radio, yang merupakan ajang mencari bibit baru penyanyi keroncong, sudah tidak pernah digelar. Namun saya tetap mencoba menghidupkan keroncong melalui Hamkri. Selama saya mengurusi Hamkri, orkes keroncong di Solo yang semula tinggal 15 bisa berkembang menjadi sekitar 70 kelompok. Sekarang kursi ketua itu saya lepas lantaran saya sudah mulai tua.
Kini saya tinggal mengurusi Orkes Keroncong Bintang Surakarta, yang saya bentuk pada 1965. Sekarang personelnya muda-muda. Kami mendapat kesempatan berlatih di salah satu hotel di Solo setiap Jumat.
Ahmad Rafiq
Waldjinah
Tempat dan Tanggal Lahir:
Surakarta, Jawa Tengah, 7 November 1945
Ayah:
Wirjo Rahardjo
Ibu:
Kamini
Suami:
Anak:
Penghargaan:
Diskografi
Waldjinah telah merilis puluhan hingga ratusan album. Tak ada data pasti tentang jumlah albumnya. Waldjinah sendiri tak pernah mencatatnya. Tapi ia ingat album debutnya adalah kompilasi seri Kembang Katjang yang direkam di studio Lokananta bersama maestro keroncong, Gesang, pada 1958.
Seorang mahasiswa Institut Seni Indonesia Solo pernah meneliti album-album Waldjinah. Menurut hasil penelitian itu, 34 album piringan hitam dan 176 album kaset dibuat Waldjinah, dengan total lagu 1.766.
Berikut ini beberapa album yang dirilis oleh Waldjinah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo