Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggenggam telepon seluler, remaja 17 tahun itu duduk di ruang tamu rumahnya di Jalan Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan. Ia tengah bermain game. Bunyi derum mobil yang keluar dari game di teleponnya memecah keheningan rumah tersebut. Dari dapur, Ida Nurul sesekali keluar melongok anak tunggalnya, Fadli—bukan namanya sebenarnya—yang asyik memencet-mencet teleponnya.
Perempuan berkerudung itu memang waswas atas kondisi anaknya. Kepada Tempo, Ida mengaku, ia dan suaminya merasa anaknya tersebut masih terguncang. Beberapa bulan lalu anak mereka yang pendiam itu membuat pengakuan yang mengagetkan. Sejak kelas II SMP hingga kelas I SMA, ia mengaku mendapat pelecehan seksual dari Hasan Assegaf. Fadli kini duduk di kelas III SMA. Hasan, 33 tahun, yang kini dikenal sebagai pemimpin Majelis Taklim Nurul Musthofa, bukan orang asing bagi Ida. "Dia itu sudah seperti anak bagi kami," ujar perempuan 45-an tahun ini tentang pria yang populer dengan sebutan Habib Hasan itu.
Di rumah Ida itulah Hasan memulai kariernya sebagai pendakwah. Menurut Ida, pada 1999 orang tua Hasan, Jafar Assegaf, yang tinggal di Bogor, menitipkan Hasan kepada suaminya. Di rumah Ida, Hasan, yang saat itu berusia 20 tahun, menempati kamar depan. Lewat promosi dari mulut ke mulut yang dilakukan Ida dan suaminya, Hasan mulai memiliki murid mengaji. Di rumahnya pula Ida kerap menggelar pengajian khusus perempuan dengan maksud agar Hasan bisa mengasah kemampuannya berdakwah. Hasan tinggal bersama Ida hingga 2003. "Selama itu semua biaya hidupnya saya dan suami yang menanggung," kata Ida.
Sekarang, di rumahnya itu pula, Ida dan suaminya bertekad membalas kebejatan Hasan terhadap Fadli, yang sudah menganggapnya sebagai paman. Sejak awal tahun lalu, pasangan suami-istri itu menjadikan rumahnya sebagai posko pengaduan korban pelecehan yang diduga dilakukan Hasan. Lima belas remaja yang mengaku sebagai korban kerap berkumpul di sana bersama orang tua masing-masing. Di sana mereka berbagi cerita. "Agar tak rendah diri karena menjadi korban," kata Ida.
Kasus pelecehan yang dialami Fadli dan sejumlah remaja lain itu sudah dilaporkan ke polisi pada 26 Desember 2011. Merasa tak mendapat respons, para orang tua korban membawa kasus ini ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Di sana, Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait membeberkan peristiwa itu ke media massa. "Fokus kami hanya satu, bagaimana para remaja ini tidak trauma dan menyadarkan korban lainnya agar berani melapor," kata Arist. Para korban bersama orang tuanya juga mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga yang bertanggung jawab kepada pemerintah ini menindaklanjuti laporan tersebut dengan memanggil Hasan hingga dua kali. Namun sampai kini Hasan tak juga datang memenuhi panggilan tersebut.
Hendra, bukan nama sebenarnya, menerima notifikasi dari akun Facebook miliknya. Sebuah pesan masuk. Pengirimnya orang yang selama ini ia kagumi: Habib Hasan. Remaja 17 tahun tersebut ingat kapan pesan itu terkirim ke Facebook-nya: pukul 23.00, 9 September 2010, saat itu bulan puasa. "Ia meminta nomor telepon saya," katanya kepada Tempo. Hendra kini duduk di bangku kelas III sebuah sekolah kejuruan di Jakarta Timur. Akun Facebook milik Hasan kini sudah tak aktif.
Perasaannya campur aduk antara senang dan gugup. Beberapa bulan sebelumnya ia memang sering mengirim SMS ke telepon seluler Hasan, yang nomornya ia dapat dari teman-temannya. Tapi SMS itu tak berbalas. Remaja berkulit cokelat dan berambut ikal itu sangat mengidolakan Hasan. "Kala itu saya menganggap kemuliaannya setara dengan seorang wali," katanya. Karena sangat mengidolakan, di pengajian Nurul Mustofa yang rutin ia datangi, Hendra selalu berupaya bisa mencium jemari Hasan untuk mendapat berkah. Tapi keinginan tersebut selalu gagal karena lelaki yang diidolakannya itu senantiasa dikawal sejumlah pria berbadan tegap.
Pesan dari Facebook itu ia anggap kesempatan emas. Ia pun segera mengirim SMS kepada Hasan. Tring…, SMS itu mendapat balasan. Maka balas-berbalas pesan pendek pun terjadi. Awalnya pesan yang diterima Hendra masih seputar dakwah. Tapi, semakin lama, isi pesan yang dikirim Hasan mulai bernada aneh. "Dia bilang ada setan di tubuh saya yang mesti dikeluarkan," kata Hendra.
Hendra sempat sangsi akan identitas si pengirim pesan. Ia merasa si pengirim bukan sosok "Habib Hasan" yang selama ini ada di benaknya. Namun ia mengaku saat itu tak berani mempertanyakan kepada si pengirim. Di akhir pesan, Hasan meminta Hendra datang ke rumahnya di Jalan R.M. Kahfi Gang Manggis, Ciganjur, Jakarta Selatan. "SMS itu berhenti ketika mulai terdengar azan subuh," katanya.
Dua hari kemudian, Hendra memenuhi undangan Hasan. Saat itu sekitar pukul 22.00. Setelah dua jam menunggu, ia dipersilakan masuk ke kamar Hasan. Rumah di Ciganjur itu, yang dijuluki "Istana Assegaf", sehari-hari digunakan Hasan untuk mengajar santrinya. Saat Hendra datang, rumah itu sudah sepi, hanya beberapa santri terlihat.
Menurut Hendra, ketika itu Hasan tengah rebahan di atas kasur. Ia memanggil dan menyuruh Hendra duduk di tepi kasur. Hasan kemudian bangkit dan merapatkan tangannya ke dada Hendra. Sejurus kemudian tangan itu bergeser cepat ke bawah, ke kemaluannya. Hendra tak berani berontak. Sekitar dua jam Hasan menggerayangi bagian bawah tubuh Hendra itu. "Ketika pulang, saya diberi Rp 100 ribu," katanya.
Berbeda dengan Fadli, Hendra mengaku mendapat perlakuan tak senonoh dari Hasan hanya sekali. Seperti Fadli, ia menutup rapat pengalaman pahitnya itu. Setelah peristiwa itu, Hasan juga masih kerap mengirim SMS saru kepada dirinya. Hendra baru berani menceritakan peristiwa itu setelah seorang temannya bercerita mengalami hal yang sama. "Itu setelah saya keluar dari Majelis Nurul Musthofa," katanya.
Hendra mengaku sebelumnya ia mengidolakan Majelis Nurul Musthofa. Apalagi banyak teman yang bergabung di majelis yang namanya bermakna "cahaya pilihan" itu. Nurul Musthofa menggelar pengajian rutin setiap malam Minggu dan malam Selasa.
Selasa pekan lalu, dua korban yang mengaku mendapat pelecehan seksual dari Hasan juga mengadu ke Polda Metro Jaya. Dengan tambahan itu, total yang sudah mengadu menjadi 15 orang. Kebanyakan dari mereka duduk di bangku SMA. Edi, pendamping para korban, mengatakan korban Hasan sebenarnya lebih banyak. "Mungkin mencapai 50 anak sejak 2002," katanya. Ia mendapatkan angka ini lewat pengakuan teman-teman korban. "Namun mereka enggan mengadu ke polisi," katanya.
Sandy Arifin, pengacara Hasan, membantah kliennya memiliki kelainan seksual. Hasan, ujarnya, memiliki istri dan tiga anak. "Beliau tidak pernah melakukan apa yang mereka tuduhkan," katanya. Menurut Sandy, pihaknya kini tengah mempersiapkan saksi-saksi yang meringankan Hasan. Misalnya, kesaksian untuk membantah tuduhan Hasan sering berduaan dengan seorang santri di dalam kamarnya. Majelis taklim yang dipimpin Hasan, katanya, memiliki ratusan santri dan setiap kali menggelar majelis dipadati hingga 70 ribu pengunjung. Jadi, tak mungkin Hasan melakukan hal-hal yang pasti ia sadari bisa membubarkan majelisnya itu.
Meski korban sudah banyak dan barang bukti transkrip SMS serta pesan BlackBerry sudah disorongkan oleh para korban, polisi belum juga menetapkan Hasan sebagai tersangka. Hasan sejak dua pekan lalu sudah diperiksa polisi. "Kami masih menggali terus dari barang bukti dan keterangan yang ada," kata Kepala Satuan Kejahatan dan Kekerasan Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Helmy Santika kepada Tempo. Semua transkrip SMS itu, katanya, masih harus dibuktikan apakah benar dikirim Hasan. Keterangan para korban, ujarnya, juga perlu diuji silang. Helmy berjanji segera menuntaskan perkara ini. "Kami akan transparan mengusut kasus ini, tidak akan diskriminatif," katanya.
Mustafa Silalahi, Ninin Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo