Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir seluruh hidup Waldjinah dihabiskan untuk keroncong. Perempuan Solo kelahiran 7 November 1945 ini telah meniti karier di dunia tarik suara sejak berumur 12 tahun. Setahun kemudian, dia menjuarai Festival Ratu Kembang Katjang yang digelar RRI Solo pada 1958.
Sejak itu, Waldjinah acap mengikuti kontes menyanyi dan selalu menjadi juara. Pada 1961, ia mengikuti lomba Bintang Radio sebagai peserta termuda dan berhasil meraih gelar juara kedua. Empat tahun kemudian, ia menjadi juara pertama Festival Bintang Radio memperebutkan trofi Presiden Sukarno. Keberhasilannya di berbagai lomba ini membuatnya sering diundang berpentas di Istana, menghibur tamu negara dengan tembang-tembang keroncong.
Waldjinah pun menjadi legenda, hingga kini. Ia telah merilis puluhan album. Salah satu yang paling fenomenal adalah Walang Kekek. Album itu meledak dan menembus pasar internasional. Judul album itu juga kemudian menjadi julukannya. Selain merilis album sendiri, ia berkolaborasi dengan penyanyi dan musikus lain. Pada 1999, misalnya, ia berduet dengan Chrisye (almarhum) melantunkan tembang Semusim dalam album Badai Pasti Berlalu yang diaransemen ulang oleh Erwin Gutawa.
Di usianya yang telah menginjak 66 tahun, suara emasnya hampir tak berubah. Senin malam dua pekan lalu, Tempo menemui Waldjinah di rumahnya di Mangkuyudan, sebuah perkampungan cukup padat di pusat Kota Solo. Meski Waldjinah pernah menjadi bintang, rumahnya cukup sederhana. Dinding ruang tamunya dipenuhi pelbagai piagam penghargaan serta beberapa foto. Di sebuah lemari, terlihat piala Bintang Radio yang diperolehnya pada 1965. Di ruang tamu itu, Waldjinah bertutur tentang lika-liku kehidupannya yang penuh warna.
Saya terlahir setelah Lebaran sebagai anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Nama saya diambil dari tanggal kelahiran dan urutan dalam keluarga. Wal dari bulan Syawal, dji dari tahun Je dalam penanggalan Jawa, dan nah dari sejinah atau sepuluh. Waldjinah, itu saja, tanpa embel-embel lain.
Sebenarnya saya memiliki beberapa adik tiri. Bapak menikah lagi saat saya masih bayi. Mereka memiliki delapan anak. Meski Bapak meninggalkan keluarga untuk hidup dengan istri barunya, kami masih sering berhubungan, terutama jika saya minta uang. Hal itu saya lakukan secara sembunyi-sembunyi, jangan sampai ketahuan istri barunya.
Walau tanpa Bapak, pekerjaan Ibu sebagai tukang wedel (mewarnai) batik sudah bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Apalagi kami juga punya warung kelontong di selasar rumah. Ibu dan Bapak memang pembatik. Tepatnya, keduanya adalah buruh batik yang bekerja pada seorang pengusaha batik asal Laweyan, Solo.
Sewaktu kecil, saya hanyalah anak biasa yang menyayangi binatang. Ada 19 kucing yang dipelihara di rumah. Satu yang amat saya sayangi adalah seekor kucing berwarna hitam. Ia selalu saya gendong ke mana-mana, termasuk saat Ibu mengajak menonton wayang orang di Sriwedari. Selama pementasan, kucing itu seakan-akan ikut menikmati, tanpa sekali pun beranjak dari pangkuan.
Oleh Ibu, saya disekolahkan di sekolah rakyat yang berada di kawasan Penumping. Sempat bercita-cita menjadi guru, saya ternyata lebih berbakat di bidang seni. Hal itu terbukti dari seringnya saya diikutkan lomba menyanyi antarsekolah, dan pernah menjadi juara macapat (tembang atau puisi tradisional Jawa) se-Surakarta.
Mungkin ini sudah turunan. Meskipun bukan seniman, Bapak dan Ibu memiliki suara yang bagus. Mereka sering bersenandung lagu-lagu Jawa dengan merdu. Lagu yang Ibu dendangkan sering menemani saya saat akan beranjak tidur. Bakat ini juga menurun pada abang saya, Munadi.
Dia seorang tentara yang suka menyanyi keroncong. Bisa dibilang, Mas Munadilah guru keroncong pertama saya. Itu juga tidak disengaja. Ceritanya, suatu saat dia tengah mengajari istrinya menyanyi keroncong. Namun istrinya tidak kunjung bisa. Saya, yang hanya mendengarkan, ternyata justru bisa menyanyikan dengan suara yang bagus. "Lho, kamu malah bisa nyanyi gitu," kata Munadi.
Mas akhirnya mengajak saya berlatih menyanyi lebih serius ke beberapa sanggar keroncong. Namun aktivitas ini tidak disetujui oleh Ibu. "Kamu itu belajar nyanyi apa mau jadi ledhek?" ujar Ibu memaÂrahi. Ledhek adalah penari tayub, yang kerap dipandang negatif oleh masyarakat karena kesensualannya.
Larangan itu tak mampu memupus semangat saya. Agar tak memancing kemarahan Ibu, latihan menyanyi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Saya harus keluar dari rumah lewat jendela kamar saat akan berangkat berlatih. Lama-kelamaan, sikap Ibu sedikit melunak.
Saat berusia 12 tahun, nama saya sudah cukup dikenal oleh para pemusik keroncong. Itulah yang membuat saya "dipaksa" ikut Festival Ratu Kembang Katjang di RRI Solo pada 1958. Yang mendorong-dorong saya ikut justru panitianya. Sementara peserta lain harus membayar untuk mengikuti festival itu, saya digratiskan. Untung saja mereka memaksa, karena saya akhirnya bisa menang dalam perlombaan itu. Padahal peserta lain adalah penyanyi yang sudah profesional.
Kemenangan ini membuat saya memiliki kesempatan rekaman bersama para finalis lain. Tentu saja, masuk dapur rekaman merupakan sesuatu yang amat luar biasa. Suara saya disandingkan dengan penyanyi lain yang usia dan jam terbangnya jauh di atas. Satu hal yang paling saya ingat, saat itu saya harus berduet rekaman dengan Pak Gesang. Tidak ada rasa minder, karena saat itu Pak Gesang juga belum sangat terkenal. Yang saya tahu saat itu, Pak Gesang juga seorang penyanyi keroncong dan banyak mencipta lagu, termasuk Bengawan Solo.
Perusahaan Rekaman Lokananta yang legendaris itu dulu hanya memiliki peralatan sederhana. Di sana hanya ada satu mikrofon yang harus saya gunakan bersama Pak Gesang saat berduet. Karena postur tubuh saya masih kecil, terpaksa saya berdiri di atas bangku agar bibir saya bisa mencapai mikrofon. Rekaman pertama pun sukses. "Kamu anak kecil kok suaranya hebat to, Nduk," ujar Pak Gesang saat itu.
Honor rekaman album kompilasi seri Kembang Katjang yang saya terima cukup besar, Rp 75, bisa saya pakai untuk membeli sepeda.
Sejak saat itu, nama saya sebagai penyanyi keroncong segera melejit di Surakarta. Banyak orkes keroncong yang mengajak saya berlatih. Salah satunya orkes keroncong yang berada di kawasan Pringgading. Di sana saya bertemu dengan seorang pria bernama Soelis Moelyo Boedy Poespopranoto. Selesai berlatih, dia mengantarkan saya pulang dengan sepedanya.
Setelah itu Mas Soelis, pelajar asal Pekalongan yang indekos di Solo, sering singgah ke rumah. Kami pun menjadi pasangan kekasih. Hubungan itu kami jalin selama dua tahun. Hingga akhirnya saya dan Mas Soelis memutuskan menikah. Saat itu usia saya baru 14 tahun, duduk di bangku kelas II SMP Arjuna Solo. Saya rela keluar dari sekolah, toh sudah bisa mencari uang sendiri dari menyanyi. Meski begitu, keputusan untuk menikah tidak menemukan jalan yang mudah.
Masalah pertama adalah soal umur saya yang terlalu muda. Petugas pencatat nikah tidak mungkin bersedia menikahkan kami. Terpaksa saya mengakali tahun kelahiran, dari 1945 menjadi 1943. Dengan demikian, secara administrasi sudah tidak ada lagi masalah, karena saat itu umur 16 tahun sudah diperbolehkan menikah.
Selain usia, persetujuan keluarga sempat menjadi masalah. Keluarga Mas Soelis awalnya tidak mengizinkan. Maklum, Mas Soelis adalah putra seorang wali kota di daerah Pekalongan. Memiliki menantu seorang penyanyi keroncong barangkali tidak pernah terlintas di benak keluarga mereka.
Keluarga saya pun tidak semuanya setuju. Ibu tidak mempersoalkan, tapi salah satu saudara saya ada yang khawatir. "Tidak mudah jadi istri anak pejabat. Kamu nanti disia-siakan," kata salah seorang kakak saya.
Toh, pernikahan itu tetap berlangsung. Kami menjalani kehidupan berkeluarga dengan bahagia. Apalagi kami juga cepat dikaruniai momongan. Setiap tahun, sejak 1961 hingga 1965, saya melahirkan. Setelah anak kelima, saya dinasihati dokter agar tidak hamil lagi. Maklum, usia saya masih sangat belia saat melahirkan anak kelima. Hamil dan punya anak bayi tak menghalangi saya naik pentas dan menyanyi.
Bahkan, saat mengandung anak bungsu, saya diundang ke Istana Negara untuk menyanyi di hadapan Presiden Sukarno. Saat itu saya baru saja menang lomba Bintang Radio. Saya sempat gemetar saat Bung Karno memegang perut saya, dan memberi nama Bintang untuk jabang bayi.
Tidak hanya memberi nama, Bung Karno juga sempat memesan lagu. Dia meminta saya menyanyikan lagu keroncong berjudul Air Laut. Judul lagu itu belum pernah saya dengar. "Saya suka lagu itu saat berumur sekitar 27 tahun," kata Bung Karno saat itu. Terang saja saya tak tahu, saat Bung Karno berusia 27 tahun, barangkali saya malah belum lahir.
Selanjutnya, Istana sering mengundang saya bernyanyi, terutama pada saat pemerintahan Pak Harto. Hampir tiap tahun saya diundang ke sana. Tradisi itu terus berlanjut hingga saat ini. Dari semua presiden, hanya Bu Mega yang belum sempat mengundang. Mungkin karena masa jabatannya yang singkat. Honor menyanyi di hadapan presiden tidak besar, tapi itu sangat membanggakan.
Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo