HIDUP harus direkayasa, dan untuk peristiwa penting rencanakanlah terjadi di sekitar tanggal lahir. Ini bukan nasihat dukun, tapi sikap hidup Dewi Motik Pramono, pengusaha garmen, taksi, dan pemimpin sejumlah lembaga tingkat nasional. Tidak jelas sejak kapan ia bersikap seperti itu. Yang diceritakannya, ia kawin tepat sehari sebelum tanggal 10 Mei. Terakhir, pekan lalu, untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-45, ia merekayasa lahirnya "Dewi Motikisme" dalam seni lukis Indonesia. Yang pertama, soal rekayasa dan 10 Mei, itu tentu bukan gurauan. Yang kedua, soal isme baru, memang dikatakannya sambil terbahak-bahak. Tapi Dewi Motik tidak omong kosong. "Dewi Motikisme" itu dipamerkannya di Taman Ismail Marzuki, tidak tanggung-tanggung, berupa 102 lukisan. Adapun objek lukisan Dewi beragam: dari sekadar sketsa wajah, pemandangan alam, bunga, sungai, hutan, sampai tubuh telanjang wanita. Siapa model lukisan telanjang itu, atau itu sekadar fantasi, tidak diceritakannya. Yang jelas, beberapa lukisan sudah terjual, antara lain pembelinya Menteri Parpostel Joop Ave. "Saya mendapat sekitar Rp 150 juta dari pameran ini, tapi semua saya sumbangkan," kata Dewi. Adapun yang beruntung menerima sumbangan itu adalah Gabungan Koperasi Pengusaha Kecil-Menengah dan Koperasi De Mono, dua lembaga yang didirikan oleh Dewi Motik, dan didirikan tepat pada tanggal 10 Mei beberapa tahun lalu. Nah, penting, kan, 10 Mei itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini