Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pribumi dan sarasehan golkar

Ekonomi indonesia mayoritas dikuasai nonpribumi cina. meskipun mereka hanya 4% dari penduduk indonesia. sudah waktunya pemerintah memberikan kelonggaran kepada mereka untuk berperan di bidang birokrasi dan sektor sosial kemasyarakatan.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARASEHAN Nasional oleh Golongan Karya di Jakarta, pekan lalu, mengajukan usul pembentukan Guarantee Fund (GF). Dananya didapat dari laba bersih 1-5% BUMN untuk pengusaha kecil dan koperasi. Apa hubungan inisiatif Golkar dengan berbagai BUMN dalam lingkungan Departemen Keuangan yang merencanakan pembentukan GF. Siapa pun sulit membantah bahwa skandal Bapindo, peristiwa Medan dan persepsi adanya kesenjangan, amat berperan terhadap inisiatif pemerataan yang akhir-akhir ini muncul. Selama Orde Baru, ekonomi Indonesia melaju dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7% per tahun. Diperkirakan investasi Rp 240 triliun selama Pelita V terpenuhi, 55% bersumber dari swasta. Untuk Pelita VI, bahkan Pemerintah menyampaikan data yang lebih ambisius dengan target investasi Rp 660 triliun, dan 73% diharapkan dari swasta. Swasta mana yang mampu? Jawabnya, ya yang mampu melaksanakan akumulasi aset dan sumber ekonomi secara kontinu dan cerdik. Penerimaan pajak terbesar, terutama bersumber dari swasta besar. Perubahan struktur ekonomi ditelusuri oleh trio pakar Kuznets, Chennery, dan Syrquin. Hasilnya, ada tiga proses amat penting dalam perubahan struktural: akumulasi, distribusi, dan alokasi. Untuk tinjauan ini, proses akumulasi perlu didalami sedikit. Inilah proses di mana unit usaha atau individu menyisihkan perolehan yang dikurangi dari pengeluarannya ke dalam bentuk perluasan investasi. Proses akumulasi inilah yang kemudian mengental dalam wujud konglomerat. John Naisbitt, misalnya, dalam bukunya Global Paradox menyinggung peran yang begitu besar dari kelompok Cina, sampai menyebut abad nanti sebagai The Dragon Century. Menurut Naisbitt, kelompok Salim saja menguasai 5% dari PDB Indonesia. Kelompok bisnis Cina lain memegang 17 dari 25 konglomerasi di Indonesia. Bila diketahui bahwa nonpribumi hanya sekitar 4% dari seluruh penduduk, amat tidak tepat untuk membandingkannya dengan kelompok Cina di Malaysia yang merupakan pengelompokan bisnis dan politik yang kuat. Sebab, selain penguasaan atas bisnis di Malaysia, kelompok Cina Malaysia pun merupakan 37% dari jumlah penduduk. Tinjauan seperti itu mau tidak mau sampai kepada soal ras, yang teoretis dan empiris amat boleh jadi tak ada hubungan apa pun dengan efisiensi. Bahkan bisa ditambahkan, program KUK untuk menyalurkan 20% dari total kredit kepada usaha kecil adalah program yang tidak mendasarkan diri pada efisiensi. Efisiensi ekonomi mengajarkan bahwa yang paling efisien adalah proses mekanisme pasar yang sempurna. Bila diakui bahwa program KUK bukanlah pogram yang secara ekonomis efisien (kendati syarat pembayaran bunganya sama dengan kredit non-KUK), maka alasan satu-satunya untuk menjalankan program itu adalah keputusan politik yang ingin mengoreksi akumulasi aset yang dirasakan tidak adil. Hal yang sama juga bisa dikemukakan mengenai program penyisihan laba BUMN sebesar 1-5%. Hingga Maret 1994, dari Rp 365 miliar yang terhimpun, baru Rp 224,5 miliar yang disalurkan.... Dari segi realisasi penyaluran menurut provinsi hingga Juli 1993, bias mencolok tampak karena DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang dekat dengan kantor direksi BUMN, beroleh 45,31% dari dana yang tersalur. Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta secara bersama cuma mendapat 20,97%. Yang paling malang adalah Indonesia bagian Timur. Sulawesi Selatan cuma kecipratan 3,52%, Sulawesi Utara 1,64%, Kalimantan Barat 0,93%, dan seterusnya. Proses akumulasi yang timpang telah terjadi, dan konglomerat besar umumnya dikuasai oleh nonpri. Kenyataan itu tidak mungkin diubah. Tapi, sebagai bangsa Indonesia, kita harus menyadari bahwa trauma nonpribumi akibat peran Baperki dulu belum lenyap. Sudah masanya dibuka lembaran baru di bidang sosial ekonomi dan politik, menyangkut kesempatan yang lebih luas bagi nonpribumi untuk bergerak di sektor sosial kemasyarakatan dan birokrasi pemerintahan, dan hubungan yang lebih intensif antara nonpri dan pri di sektor tersebut. Namun, saat ini siapa pun sulit untuk tidak mengakui bahwa pengentalan kesenjangan kian terasa di sektor usaha. Seyogianya suara-suara yang muncul tidak boleh keluar dengan nada benci, karena yang dibicarakan adalah sesama bangsa Indonesia. Di saat yang sama diperlukan koreksi damai dalam menyeimbangkan proses akumulasi yang tidak adil selama ini. Pemerintah telah membuat Keppres 16/1994 yang memberikan wewenang kepada bupati dan wali kota/kepala daerah tingkat II untuk menetapkan pemenang tender proyek, dan pengadaan Pemerintah sampai senilai Rp 2 miliar. Seizin gubernur, wewenang bisa mencapai Rp 5 miliar. Dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri, wewenang pun bisa mencapai Rp 10 miliar. Keberpihakan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, termasuk koperasi, diberikan di mana down payment sampai 30% dari nilai proyek dibayarkan langsung. Yang paling menarik adalah bunyi penjelasan tentang golongan ekonomi lemah: "Karena golongan ekonomi lemah sebagian besar terdiri dari orang Indonesia asli, maka dalam rangka menciptakan pemerataan dalam pelaksanaan pembangunan, sekaligus untuk mendorong pelaksanaan pembauran, untuk sementara, pemberian kesempatan kepada golongan ekonomi lemah diberikan kepada orang Indonesia asli. Termasuk orang Indonesia asli ialah mereka yang sudah membaur sebagai orang Indonesia asli." Dengan semangat itulah, saya antara lain mengusulkan agar untuk sementara KUK diberikan kepada orang Indonesia "asli", dan yang sudah membaur, dan pribumisasi di lingkungan perusahaan konglomerat dilangsungkan dengan percepatan yang meningkat. Dengan begitu, kita mengurangi gunjingan bahwa rapat-rapat penting dari perusahaan publik konglomerat berlangsung di antara mereka dalam bahasa Mandarin. Dari analisa penyaluran laba bersih BUMN diketahui, banyak masalah yang menyangkut keterampilan dan kecakapan dari pengusaha pribumi yang perlu ditingkatkan. Usaha itu bisa tidak efisien. Tapi secara politis akan lebih mengukuhkan perekatan kebangsaan antar-suku dan etnis kelak. Integrasi yang berhasil, untuk sementara, agaknya perlu dilaksanakan melalui cara-cara "alokasi ras". Ini akan mampu memelihara stabilitas politik seraya terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang dilaksanakan dengan kebijaksanaan makro-ekonomi yang konsisten, dan deregulasi yang efektif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus